Al-Kibr (Kesombongan)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ
“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Ghafir: 35)
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Karena faktor-faktor inilah, orang-orang Yahudi terus-menerus di atas kebatilannya. Yaitu karena apa yang ada dalam hati-hati mereka seperti kesombongan, kedengkian, keras kepala, dan tabiat-tabiat jelek lainnya.” (Naqdhul Manthiq, hal. 27)
Dengan hal inilah kita mendapatkan kejelasan bahwa kesombongan itu adalah salah satu penghalang untuk menerima kebenaran.
Demikian juga apabila kesombongan itu telah memenuhi hatinya, akan menjadikan pemiliknya menganggap dirinya tinggi dan sempurna, sehingga merasa tidak membutuhkan orang lain. Hal ini juga akan menghalanginya dari evaluasi dan introspeksi diri, barangkali yang keliru adalah dirinya. Inilah keadaan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu.
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Orang yang sombong adalah orang yang menganggap dirinya lebih tinggi daripada orang lain (dalam segala perkara).” (At-Tabashshurah, 2/222)
Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu berkata: “Orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai hakim bagi dirinya, maka mereka tidak akan memedulikan apapun. Mereka tidak akan memperhitungkan hal-hal yang menyelisihi pendapatnya sama sekali. Mereka juga tidak mau introspeksi diri atau mengevaluasi pandangan-pandangannya. Tidak sebagaimana sikap orang-orang yang berusaha mencurigai dirinya sendiri (barangkali kesalahan ada di pihaknya), dan akan berhenti tatkala menimbulkan suatu permasalahan (padahal inilah sikap orang-orang yang berakal).” (Al-I’tisham, 2/269)
Orang-orang yang mengikuti kebenaran adalah orang-orang yang tawadhu’. Orang-orang yang senantiasa mengintrospeksi dirinya adalah orang-orang yang gigih mencari dan menuntut kebenaran. Oleh karena itu, mereka tidaklah enggan untuk mengevaluasi pendapatnya. Tidak enggan pula untuk menuntut hakikat kebenaran dari suatu pemasalahan. Lebih-lebih pada hal-hal yang menimbulkan masalah.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Sungguh aku telah mendengar Asy-Syaikh Muqbil lebih dari sekali berkata: ‘Demi Allah, kami tidak mengkhawatirkan dakwah ini, kecuali dari diri-diri kami.’ Aku (Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam) katakan: Demi Allah, sungguh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu memiliki firasat yang tepat, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka khutbahnya dengan ucapan:
وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
“Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan dari kejelekan amalan kami.”
Maka, jiwa kita, apapun kebaikan yang ada padanya, mesti terdapat kekurangan atau kejelekan.” (At-Tanbihul Hasan, hal. 68-69)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Seseorang beralih dari suatu pendapat kepada pendapat yang lain karena kejelasan yang dia dapatkan, adalah sikap terpuji. Berbeda dengan sikap orang yang sombong, terus-menerus di atas suatu pendapat yang tidak mengandung hujjah atau dalil yang kuat (ini adalah sikap yang tercela). Sedangkan meninggalkan suatu pendapat yang telah jelas hujjah atau dalilnya, atau berpindah dari suatu pendapat kepada pendapat lain karena adat dan mengikuti hawa nafsu, itu adalah sikap yang tercela pula.” (Al-Fatawa Al-Kubra, 5/125)
Terapi Hati dari Penyakit Sombong dan Hasad
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Makna tawadhu’ adalah menerima kebenaran dengan tunduk kepadanya, menghina diri, patuh, dan masuk di bawah perbudakannya. Di mana kebenaran itulah yang mengatur dirinya, sebagaimana seorang raja mengatur kekuasaannya. Dengan inilah seorang hamba akan mendapatkan akhlak tawadhu’. Agar bisa bersikap demikian, seorang muslim membutuhkan ilmu, ikhlas, sabar, dan latihan yang terus-menerus, diiringi doa, serta senantiasa menjaga keselamatan hati dari penyakit-penyakitnya (ujub, riya, sum’ah sombong, hasad, dll).
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)
Hammad bin Ibrahim berkata: “Kebenaran itu telah jelas dan mudah. Di mana manusia diciptakan di atas fitrahnya untuk mengetahui, mencintai, dan menerima kebenaran tersebut, kecuali orang yang telah rusak fitrahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu untuk mengatakan kebenaran walaupun pahit. Hal ini (kebenaran yang pahit rasanya) adalah bagi orang yang belum terlatih jiwanya. Demikian juga bagi ahli bid’ah serta orang yang mengikuti hawa nafsunya.” (Ash-Shawarif ‘anil Haq, hal. 41)
Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “Ucapan mereka bahwa kebenaran itu pahit, itu adalah bagi orang yang belum terlatih jiwanya (untuk menerimanya) dan hatinya sakit. Seorang penyair berkata:
فَمَنْ يَكُنْ ذَا فَمٍ مُرّ مَرِيضٍ يَجِدْ مُرًّا بِهِ الْمَاءَ الزُّلَالَا
Orang yang mulutnya pahit, dia sakit
dia merasakan pahit dengannya air yang segar.
Maka, orang yang sehat fitrahnya akan senang dengan (kebenaran) itu walaupun berat.” (Adz-Dzani’ah ila Makarisy Syari’ah, hal. 126)
Al-Khaththabi rahimahullahu berkata: “Manusia itu tidak akan berubah dari tabiat-tabiatnya yang jelek, dan tidak akan meninggalkan kesenangannya terhadap berbagai macam kebiasaan kecuali dengan latihan-latihan yang keras dan pengobatan yang serius.” (A’lamul Hadits, 1/218)
Siapapun yang jiwanya belum terlatih menerima kebenaran, maka jiwa tersebut membutuhkan latihan dan pendidikan sampai jiwa itu menuruti kebenaran dan tunduk kepadanya, senantiasa mengoreksi amalan-amalan yang telah dia lakukan, dan senantiasa mensyukuri segala nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mudah menerima al-haq.
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu adalah kebenaran dan karuniakanlah kepada kami rezeki untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kepada kami yang batil itu adalah batil dan karuniakanlah kepada kami rezeki untuk menjauhinya. Amin, ya Rabbal ‘alamin.
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Al-Ahqaf: 15)
Ya Allah, limpahkanlah qalbun salim (hati yang selamat dan bersih) kepada kami kaum muslimin, mukminin, salafiyyin, hati yang selalu menerima al-haq, mencintainya dan selalu mendahulukannya, hati yang putih bersih yang memancarkan cahaya iman, yang kokoh di atas al-haq.
Amin ya Rabbal ‘alamin.
1 Jawa: Waton suloyo, atau yang penting beda, asal mencela. –pen
jam

Kamis, 29 Oktober 2009
al hasad
Al-Hasad (Kedengkian)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Ataukah mereka (orang-orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya?” (An-Nisa’: 54)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تَحَاسَدُوا
“Janganlah kalian saling iri dan dengki.” (HR. Muslim)
Dalil-dalil di atas menunjukkan haramnya hasad (iri dan dengki). Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk bersungguh-sungguh menjaga dirinya dari penyakit tersebut, serta khawatir dirinya akan terjatuh padanya. Juga senantiasa berupaya membersihkan diri darinya. Karena hasad itu sangat tersembunyi di dalam jiwa, sewaktu-waktu bisa muncul dan membinasakan dirinya. Wal ‘iyadzu billah.
Al-Allamah Abdurrahman Al-Mu’allimi rahimahullahu berkata: “Hasad itu hakikatnya adalah apabila orang lain yang menerangkan kebenaran, maka dia (orang yang dalam hatinya ada iri dan dengki) menganggap bahwa bila dia meyakini kebenaran tersebut berarti dia mengakui kelebihan ilmu dan keutamaan orang itu, serta mengakui kebenaran yang ada pada diri orang tersebut. Sehingga akan semakin membesarkan kewibawaannya di mata umat. Barangkali orang yang mengikuti dia akan semakin banyak. Sungguh engkau akan dapati sebagian orang yang berambisi menyalahkan orang lain adalah dari kalangan ulama, walaupun dengan cara yang batil sekalipun. Hal itu terjadi karena kedengkiannya dan upaya menjatuhkan kedudukannya di mata umat. Kebanyakan terjadinya saling iri dan dengki itu adalah di antara orang-orang yang seusia, sederajat, seprofesi, atau sekelas (aqran dari kalangan penuntut ilmu).” (At-Tankil, 2/190)
Oleh karena itulah, kebanyakan orang menolak (tidak mau menerima) kebenaran apabila orang yang membawa kebenaran itu adalah orang yang dianggap sederajat dengannya. Padahal dia akan menerima kebenaran tersebut kalau yang menyampaikan adalah gurunya atau orang yang lebih tinggi darinya.
Abu Hatim Ibnu Hibban rahimahullahu berkata: “Kebanyakan hasad (iri dan dengki) itu terjadi di antara aqran (orang-orang yang seumur, sekelas, seprofesi). Orang-orang yang sama profesinya, seperti para penulis, tidak akan hasad kepadanya kecuali para penulis juga. Sebagaimana para hafizh itu tidak akan hasad kepadanya kecuali para hafizh pula. Dan seseorang tidak akan mencapai suatu kedudukan dari berbagai kedudukan dunia kecuali dia pasti akan mendapati orang yang membenci dirinya karena kedudukan tersebut (karena iri dan dengki kepadanya). Maka, orang yang hasad adalah lawan yang senantiasa berusaha menentang.” (Raudhatul ‘Uqala, hal. 136)
Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Di antara sebab yang menghalangi seseorang bersikap inshaf (adil dan ilmiah) adalah apa yang terjadi di antara orang-orang yang berlomba-lomba mendapatkan keutamaan di antara aqran (selevel). Hal itu terjadi pula dalam urusan kepemimpinan dunia maupun agama. Maka apabila setan telah mengembuskan (api hasad) pada dirinya, persaingan pun semakin sengit, sampai pada suatu tingkatan yang bisa menjerumuskan masing-masingnya untuk menolak segala sesuatu yang dibawa oleh lawannya (walaupun berupa kebenaran yang sangat jelas).
Dalam perseteruan ini, sungguh kita menyaksikan dan mendengarkan peristiwa-peristiwa yang mengherankan yang dilakukan oleh segolongan orang-orang yang berilmu layaknya perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman. Mereka menolak kebenaran yang dibawa pihak lawannya serta membantah dengan cara yang batil1.” (Adabuth Thalib, hal. 91-92)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya, hasad adalah akhlak yang tercela. Yang sungguh memprihatinkan adalah bahwa kebanyakan hasad tersebut terjadi di antara para ulama dan thalabatul ilmi (penuntut ilmu). Terjadi pula hasad di antara para pedagang. Orang-orang yang memiliki profesi yang sama akan hasad terhadap orang-orang yang seprofesi dengannya. Namun yang paling memprihatinkan adalah hasad di antara para ulama lebih dahsyat. Hasad di antara para penuntut ilmu juga lebih dahsyat. Padahal semestinya orang-orang yang berilmu adalah orang yang paling jauh dari penyakit ini. Mereka mestinya adalah orang yang paling baik akhlaknya. (Kitabul ‘Ilmi, hal. 74)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Ataukah mereka (orang-orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya?” (An-Nisa’: 54)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تَحَاسَدُوا
“Janganlah kalian saling iri dan dengki.” (HR. Muslim)
Dalil-dalil di atas menunjukkan haramnya hasad (iri dan dengki). Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk bersungguh-sungguh menjaga dirinya dari penyakit tersebut, serta khawatir dirinya akan terjatuh padanya. Juga senantiasa berupaya membersihkan diri darinya. Karena hasad itu sangat tersembunyi di dalam jiwa, sewaktu-waktu bisa muncul dan membinasakan dirinya. Wal ‘iyadzu billah.
Al-Allamah Abdurrahman Al-Mu’allimi rahimahullahu berkata: “Hasad itu hakikatnya adalah apabila orang lain yang menerangkan kebenaran, maka dia (orang yang dalam hatinya ada iri dan dengki) menganggap bahwa bila dia meyakini kebenaran tersebut berarti dia mengakui kelebihan ilmu dan keutamaan orang itu, serta mengakui kebenaran yang ada pada diri orang tersebut. Sehingga akan semakin membesarkan kewibawaannya di mata umat. Barangkali orang yang mengikuti dia akan semakin banyak. Sungguh engkau akan dapati sebagian orang yang berambisi menyalahkan orang lain adalah dari kalangan ulama, walaupun dengan cara yang batil sekalipun. Hal itu terjadi karena kedengkiannya dan upaya menjatuhkan kedudukannya di mata umat. Kebanyakan terjadinya saling iri dan dengki itu adalah di antara orang-orang yang seusia, sederajat, seprofesi, atau sekelas (aqran dari kalangan penuntut ilmu).” (At-Tankil, 2/190)
Oleh karena itulah, kebanyakan orang menolak (tidak mau menerima) kebenaran apabila orang yang membawa kebenaran itu adalah orang yang dianggap sederajat dengannya. Padahal dia akan menerima kebenaran tersebut kalau yang menyampaikan adalah gurunya atau orang yang lebih tinggi darinya.
Abu Hatim Ibnu Hibban rahimahullahu berkata: “Kebanyakan hasad (iri dan dengki) itu terjadi di antara aqran (orang-orang yang seumur, sekelas, seprofesi). Orang-orang yang sama profesinya, seperti para penulis, tidak akan hasad kepadanya kecuali para penulis juga. Sebagaimana para hafizh itu tidak akan hasad kepadanya kecuali para hafizh pula. Dan seseorang tidak akan mencapai suatu kedudukan dari berbagai kedudukan dunia kecuali dia pasti akan mendapati orang yang membenci dirinya karena kedudukan tersebut (karena iri dan dengki kepadanya). Maka, orang yang hasad adalah lawan yang senantiasa berusaha menentang.” (Raudhatul ‘Uqala, hal. 136)
Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Di antara sebab yang menghalangi seseorang bersikap inshaf (adil dan ilmiah) adalah apa yang terjadi di antara orang-orang yang berlomba-lomba mendapatkan keutamaan di antara aqran (selevel). Hal itu terjadi pula dalam urusan kepemimpinan dunia maupun agama. Maka apabila setan telah mengembuskan (api hasad) pada dirinya, persaingan pun semakin sengit, sampai pada suatu tingkatan yang bisa menjerumuskan masing-masingnya untuk menolak segala sesuatu yang dibawa oleh lawannya (walaupun berupa kebenaran yang sangat jelas).
Dalam perseteruan ini, sungguh kita menyaksikan dan mendengarkan peristiwa-peristiwa yang mengherankan yang dilakukan oleh segolongan orang-orang yang berilmu layaknya perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman. Mereka menolak kebenaran yang dibawa pihak lawannya serta membantah dengan cara yang batil1.” (Adabuth Thalib, hal. 91-92)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya, hasad adalah akhlak yang tercela. Yang sungguh memprihatinkan adalah bahwa kebanyakan hasad tersebut terjadi di antara para ulama dan thalabatul ilmi (penuntut ilmu). Terjadi pula hasad di antara para pedagang. Orang-orang yang memiliki profesi yang sama akan hasad terhadap orang-orang yang seprofesi dengannya. Namun yang paling memprihatinkan adalah hasad di antara para ulama lebih dahsyat. Hasad di antara para penuntut ilmu juga lebih dahsyat. Padahal semestinya orang-orang yang berilmu adalah orang yang paling jauh dari penyakit ini. Mereka mestinya adalah orang yang paling baik akhlaknya. (Kitabul ‘Ilmi, hal. 74)
kebenaran tercampakkan
Nikmat-nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada umat manusia tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di antara nikmat paling agung yang Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan adalah diciptakan-Nya mereka di atas fitrah yang mulia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30)
Di antara fitrah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan umat manusia di atasnya adalah mencintai kebenaran dan mencarinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Hati adalah makhluk yang mencintai kebenaran, menginginkan dan mencarinya.” (Majmu’ Fatawa, 10/88)
Beliau pun berkata: “Maka sesungguhnya al-haq (kebenaran) itu dicintai fitrah yang baik, dan dia (al-haq) itu lebih dicintai, lebih dimuliakan, lebih lezat bagi fitrah dibandingkan kebatilan yang tidak ada hakikatnya. Sungguh fitrah tidak mencintai hal ini.” (Majmu’ Fatawa, 16/338)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Agama Islam itu adalah agama yang hikmah. Maknanya, mengilmui kebenaran dan mengamalkannya dalam seluruh perkara.” (Taisirul Lathifil Mannan, hal. 58)
Sehingga apabila jiwa itu tetap di atas fitrahnya, maka tidak akan menuntut kecuali kebenaran. Sedangkan kebenaran itu telah jelas dan terang, tidak ada kesamaran atasnya.
Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan seseorang itu berkisar pada dua hal:
1. Kemampuan membedakan antara kebenaran dan kebatilan
2. Lebih memilih kebenaran tersebut daripada kebatilan.
Tidaklah kedudukan makhluk di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali ditentukan oleh kadar perbedaan mereka dalam dua perkara tersebut. Karena dua perkara inilah, para nabi dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang memiliki kekuatan dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45)
الْأَيْدِي maknanya kuat dalam melaksanakan kebenaran, الْأَبْصَارُ maknanya kemampuan membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dalam urusan agama.
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati mereka, para nabi, dengan kesempurnaan memahami kebenaran dan kesempurnaan dalam mengamalkannya.” (Al-Jawabul Kafi, hal. 139)
Oleh karena itulah, setiap hamba wajib berpegang teguh dengan fitrahnya dan berhati-hati terhadap sebab-sebab yang akan menghalanginya dari kebenaran (al-haq), serta takut terhadap segala sesuatu yang akan menyimpangkannya. Apabila ada suatu hal yang telah menggelincirkannya dari kebenaran tersebut, dia segera kembali kepada al-haq itu dan berusaha memeganginya dengan kuat.
Adapun faktor-faktor yang akan menghalangi dan menyimpangkan seorang hamba dari al-haq banyak sekali jumlahnya. Bisa berasal dari diri sendiri, seperti kebodohan dan hawa nafsunya. Bisa juga dari luar dirinya, seperti setan dari golongan jin dan manusia.
Di antara sekian banyak faktor tadi, yang paling banyak menggelincirkan makhluk dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah al-kibr (kesombongan) dan al-hasad (kedengkian) yang ada pada dirinya.
Kesombongan dan kedengkian inilah yang menyeret Iblis la’natullah alaih untuk durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedurhakaan Iblis ini adalah yang pertama kali dalam alam semesta. Hal itu terjadi karena Iblis iri dan dengki dengan keutamaan serta kedudukan Adam q. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih beliau untuk menjadi khalifah di muka bumi, Allah Subhanahu wa Ta’ala ajari beliau berbagai nama (benda) seluruhnya, serta Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya. Hal inilah yang menyeret Iblis untuk durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian pula, kesombongan dan kedengkianlah yang menyeret Yahudi untuk tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengingkari kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah ahlul kitab, yang mengetahui berita akan diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui kitab Taurat dan Injil. Sebelum beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, mereka juga sering menceritakan kepada orang-orang Arab bahwa waktu diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dekat. Setelah diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka juga betul-betul yakin bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yakinnya mereka terhadap anak-anak mereka sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 146)
Yang menyeret mereka untuk mendustakan dan enggan untuk beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kesombongan dan kedengkian. Hal ini terjadi karena beliau bukan berasal dari bangsa mereka, di mana mereka merasa lebih mulia daripada bangsa Arab.
Apabila kesombongan dan kedengkian itu mampu menyeret manusia ke dalam kekafiran, padahal dosa ini adalah dosa yang paling besar, maka bagaimana tidak mungkin akan menyeret kepada dosa-dosa lain yang lebih kecil? Tentunya sangat mudah, kecuali orang-orang yang mendapatkan perlindungan dan hidayah taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30)
Di antara fitrah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan umat manusia di atasnya adalah mencintai kebenaran dan mencarinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Hati adalah makhluk yang mencintai kebenaran, menginginkan dan mencarinya.” (Majmu’ Fatawa, 10/88)
Beliau pun berkata: “Maka sesungguhnya al-haq (kebenaran) itu dicintai fitrah yang baik, dan dia (al-haq) itu lebih dicintai, lebih dimuliakan, lebih lezat bagi fitrah dibandingkan kebatilan yang tidak ada hakikatnya. Sungguh fitrah tidak mencintai hal ini.” (Majmu’ Fatawa, 16/338)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Agama Islam itu adalah agama yang hikmah. Maknanya, mengilmui kebenaran dan mengamalkannya dalam seluruh perkara.” (Taisirul Lathifil Mannan, hal. 58)
Sehingga apabila jiwa itu tetap di atas fitrahnya, maka tidak akan menuntut kecuali kebenaran. Sedangkan kebenaran itu telah jelas dan terang, tidak ada kesamaran atasnya.
Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan seseorang itu berkisar pada dua hal:
1. Kemampuan membedakan antara kebenaran dan kebatilan
2. Lebih memilih kebenaran tersebut daripada kebatilan.
Tidaklah kedudukan makhluk di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali ditentukan oleh kadar perbedaan mereka dalam dua perkara tersebut. Karena dua perkara inilah, para nabi dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang memiliki kekuatan dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45)
الْأَيْدِي maknanya kuat dalam melaksanakan kebenaran, الْأَبْصَارُ maknanya kemampuan membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dalam urusan agama.
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati mereka, para nabi, dengan kesempurnaan memahami kebenaran dan kesempurnaan dalam mengamalkannya.” (Al-Jawabul Kafi, hal. 139)
Oleh karena itulah, setiap hamba wajib berpegang teguh dengan fitrahnya dan berhati-hati terhadap sebab-sebab yang akan menghalanginya dari kebenaran (al-haq), serta takut terhadap segala sesuatu yang akan menyimpangkannya. Apabila ada suatu hal yang telah menggelincirkannya dari kebenaran tersebut, dia segera kembali kepada al-haq itu dan berusaha memeganginya dengan kuat.
Adapun faktor-faktor yang akan menghalangi dan menyimpangkan seorang hamba dari al-haq banyak sekali jumlahnya. Bisa berasal dari diri sendiri, seperti kebodohan dan hawa nafsunya. Bisa juga dari luar dirinya, seperti setan dari golongan jin dan manusia.
Di antara sekian banyak faktor tadi, yang paling banyak menggelincirkan makhluk dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah al-kibr (kesombongan) dan al-hasad (kedengkian) yang ada pada dirinya.
Kesombongan dan kedengkian inilah yang menyeret Iblis la’natullah alaih untuk durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedurhakaan Iblis ini adalah yang pertama kali dalam alam semesta. Hal itu terjadi karena Iblis iri dan dengki dengan keutamaan serta kedudukan Adam q. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih beliau untuk menjadi khalifah di muka bumi, Allah Subhanahu wa Ta’ala ajari beliau berbagai nama (benda) seluruhnya, serta Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya. Hal inilah yang menyeret Iblis untuk durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian pula, kesombongan dan kedengkianlah yang menyeret Yahudi untuk tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengingkari kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah ahlul kitab, yang mengetahui berita akan diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui kitab Taurat dan Injil. Sebelum beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, mereka juga sering menceritakan kepada orang-orang Arab bahwa waktu diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dekat. Setelah diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka juga betul-betul yakin bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yakinnya mereka terhadap anak-anak mereka sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 146)
Yang menyeret mereka untuk mendustakan dan enggan untuk beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kesombongan dan kedengkian. Hal ini terjadi karena beliau bukan berasal dari bangsa mereka, di mana mereka merasa lebih mulia daripada bangsa Arab.
Apabila kesombongan dan kedengkian itu mampu menyeret manusia ke dalam kekafiran, padahal dosa ini adalah dosa yang paling besar, maka bagaimana tidak mungkin akan menyeret kepada dosa-dosa lain yang lebih kecil? Tentunya sangat mudah, kecuali orang-orang yang mendapatkan perlindungan dan hidayah taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Senin, 26 Oktober 2009
perikanan sebagai ketahanan pangan
PERIKANAN SEBAGAI PILAR KETAHANAN PANGAN
Permintaan Indonesia agar peran sektor perikanan dapat dimasukan ke dalam draft deklarasi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ketahanan Pangan atau World Summit on Food Security (WSFS) tersebut, disampaikan dalam pertemuan ke-137 Dewan Food and Agriculture Organization (FAO) awal Oktober lalu. Permintaan tersebut didasari atas pentingnya sektor perikanan sebagai salah satu pilar untuk meningkatkan ketahanan pangan dunia. Dalam pertemuan tersebut Indonesia juga menekankan agar pembahasan dalam WSFS tidak saja menitikberatkan pada pemenuhan ketahanan pangan secara kualitatif tetapi juga harus fokus pada pentingnya pemenuhan kualitas gizi yang dikonsumsi.
Pemenuhan gizi sebagaimana yang ditekankan Delegasi RI (Delri) dalam pertemuan ke-137 Dewan FAO tersebut dapat diperoleh dari sektor perikanan sebagai salah satu sumber pemenuhan gizi dan protein. Selain itu Indonesia juga menekankan mengenai eratnya keterkaitan antara konsep ketahanan pangan dengan program pencapaian Millennium Development Goals (MDGs), khususnya mengenai pengentasan kemiskinan dan kelaparan.
Peran sektor perikanan bagi ketahanan pangan, karena ikan sebagai protein hewani yang universal, tidak menimbulkan penyakit (flu babi, flu burung, atau anthrax), mencerdaskan dan menyehatkan. Berdasarkan statistik antara tahun 2005 hingga 2008, produksi perikanan Indonesia mengalami kenaikan rata-rata pertahun sebesar 8,24% dari 6,87 juta ton pada tahun 2005 menjadi 8,71 juta ton pada tahun 2008. Produksi perikanan tersebut sebagian besar digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan telah diolah menjadi produk olahan. Sedangkan penyediaan ikan untuk konsumsi meningkat rata-rata pertahun 7,78% dari 23,95 kg/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi 29,98 kg/kapita/tahun pada tahun 2008. Diharapkan penyediaan ikan untuk konsumsi dapat sejajar dengan negara asia lainnya , seperti Jepang sebesar 110 kg/kapita/tahun, Korea Selatan sebesar 85 kg/kapita/tahun dan Thailand sebesar 35 kg/kapita/tahun.
Sebelumnya, dalam Workshop D-8 Working Group on Marine and Fisheries (WGMF) yang dilaksanakan pertengahan Mei 2009 lalu, masuknya sektor kelautan dan perikanan dalam bahasan ketahanan pangan didasari atas kaitan erat dengan dominannya ikan sebagai bahan pakan ternak (animal feed). Selain itu, ketahanan pangan juga ditafsirkan tidak hanya beras. Guna meningkatkan gizi masyarakat dibutuhkan cukup banyak asupan protein, dengan demikian peran perikanan sangatlah dominan. Pemahaman ketahanan pangan tidak bisa ditafsirkan secara kuantitatif saja, namun juga harus diartikan pemenuhan kualitas gizi yang dikonsumsi.
Permintaan Indonesia agar peran sektor perikanan dapat dimasukan ke dalam draft deklarasi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ketahanan Pangan atau World Summit on Food Security (WSFS) tersebut, disampaikan dalam pertemuan ke-137 Dewan Food and Agriculture Organization (FAO) awal Oktober lalu. Permintaan tersebut didasari atas pentingnya sektor perikanan sebagai salah satu pilar untuk meningkatkan ketahanan pangan dunia. Dalam pertemuan tersebut Indonesia juga menekankan agar pembahasan dalam WSFS tidak saja menitikberatkan pada pemenuhan ketahanan pangan secara kualitatif tetapi juga harus fokus pada pentingnya pemenuhan kualitas gizi yang dikonsumsi.
Pemenuhan gizi sebagaimana yang ditekankan Delegasi RI (Delri) dalam pertemuan ke-137 Dewan FAO tersebut dapat diperoleh dari sektor perikanan sebagai salah satu sumber pemenuhan gizi dan protein. Selain itu Indonesia juga menekankan mengenai eratnya keterkaitan antara konsep ketahanan pangan dengan program pencapaian Millennium Development Goals (MDGs), khususnya mengenai pengentasan kemiskinan dan kelaparan.
Peran sektor perikanan bagi ketahanan pangan, karena ikan sebagai protein hewani yang universal, tidak menimbulkan penyakit (flu babi, flu burung, atau anthrax), mencerdaskan dan menyehatkan. Berdasarkan statistik antara tahun 2005 hingga 2008, produksi perikanan Indonesia mengalami kenaikan rata-rata pertahun sebesar 8,24% dari 6,87 juta ton pada tahun 2005 menjadi 8,71 juta ton pada tahun 2008. Produksi perikanan tersebut sebagian besar digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan telah diolah menjadi produk olahan. Sedangkan penyediaan ikan untuk konsumsi meningkat rata-rata pertahun 7,78% dari 23,95 kg/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi 29,98 kg/kapita/tahun pada tahun 2008. Diharapkan penyediaan ikan untuk konsumsi dapat sejajar dengan negara asia lainnya , seperti Jepang sebesar 110 kg/kapita/tahun, Korea Selatan sebesar 85 kg/kapita/tahun dan Thailand sebesar 35 kg/kapita/tahun.
Sebelumnya, dalam Workshop D-8 Working Group on Marine and Fisheries (WGMF) yang dilaksanakan pertengahan Mei 2009 lalu, masuknya sektor kelautan dan perikanan dalam bahasan ketahanan pangan didasari atas kaitan erat dengan dominannya ikan sebagai bahan pakan ternak (animal feed). Selain itu, ketahanan pangan juga ditafsirkan tidak hanya beras. Guna meningkatkan gizi masyarakat dibutuhkan cukup banyak asupan protein, dengan demikian peran perikanan sangatlah dominan. Pemahaman ketahanan pangan tidak bisa ditafsirkan secara kuantitatif saja, namun juga harus diartikan pemenuhan kualitas gizi yang dikonsumsi.
berita DKP
Peneliti BROK Turut Serta Scientific Visit Ke Jepang
(Warta Riset KP no. 295)
Dalam rangka kerjasama riset tentang Penguatan Iptek Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim dengan topik Observasi dan Identifikasi Kenaikan Suhu Muka Laut Indonesia antara P3TISDA-BPPT, BROK-BRKP, BMKG dan LAPAN didanai Kementerian Ristek, salah satu kegiatannya adalah pertemuan ilmiah, training dan scientific visit di Tohoku University, Sendai dan JAXA, Tokyo, Jepang.Personil yang terlibat dalam kegiatan perjalanan ini adalah; Dr. Nani Hendiarti (BPPT, Ketua Tim); Dr. Ir. Teddy W. Sudinda, M. Eng. (RISTEK); Medi Eka Suryana (RISTEK); Retno Andiastuti (BPPT) dan B. Realino (BROK-BRKP).
Tujuan utama kegiatan perjalanan ini adalah untuk melakukan pertemuan dan diskusi guna mengetahui lebih mendalam serta pelatihan tentang proses pembuatan NGSST (New Generation Sea Surface Temperature) dari Profesor Hiroshi Kawamura dan tim dari Universitas Tohoku, Sendai, Jepang.
Dalam kegiatan meeting tersebut, Prof. Kawamura didampingi oleh tim yaitu ; Dr. Kotaro Hosoda, Graduate School of Science, Tohoku University; Dr. Huiling Qin, Graduate School of Science, Tohoku Univerty; Dr. Rahmat Hidayat, Graduate School of Science, Tohoku Univerty; Mr. Yuta Matsuoka, Graduate School of Science, Tohoku Univerty; Professor Jianyu Hu, State Key Laboratory of Marine Environmental Science, Xianmen University, Cina. (observer) dan Associate Professor Yu-Wu JIANG, State Key Laboratory of Marine Enviromental Science, Xiamen University, Cina (Observer).
Prof. Kawamura dan tim telah berhasil mengembangkan NGSST untuk wilayah perairan jepang. NGSST adalah jenis data SST dengan keunggulan bebas awan yang diperoleh dari hasil pengolahan lebih lanjut dengan metode object analysis dari SST yang berasal dari satelit Radar dan satelit NOAA dan MODIS.
Salah satu luaran dari kerjasama riset ini adalah NGSST untuk wilayah perairan Indonesia. Pertemuan dan diskusi dilaksanakan di Universitas Tohoku selam 4 hari (3-6 Agustus 2009), dimana Prof. Kawamura dan tim memberikan paparan saintifik tentang NGSST, khususnya; General Lecture on Satellite SST and NGSST (Prof. Kawamura); OI SST Methodology (Dr. Huiling Qin).
Tahap akhir dari pertemuan ini adalah kesepakatan untuk membuat draft awal proposal kerjasama riset antara pihak Indonesia (BPPT, RISTEK, LAPAN dan BRKP) dengan pihak Jepang (Universitas Tohoku dan JAXA) untuk diusulkan kepada pihak JICA.
Di JAXA, tim Indonesia diterima oleh Dr. Tamotsu Igarashi dan Mrs. Yoko Inomata. Dalam kunjungan tersebut diperoleh penjelasan tentang program-program JAXA dilanjutkan dengan tinjauan berbagai fasilitas diantaranya adalah pengolahan data satelit dan museum pengembangan teknologi satelit JAXA.(BROK)
(Warta Riset KP no. 295)
Dalam rangka kerjasama riset tentang Penguatan Iptek Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim dengan topik Observasi dan Identifikasi Kenaikan Suhu Muka Laut Indonesia antara P3TISDA-BPPT, BROK-BRKP, BMKG dan LAPAN didanai Kementerian Ristek, salah satu kegiatannya adalah pertemuan ilmiah, training dan scientific visit di Tohoku University, Sendai dan JAXA, Tokyo, Jepang.Personil yang terlibat dalam kegiatan perjalanan ini adalah; Dr. Nani Hendiarti (BPPT, Ketua Tim); Dr. Ir. Teddy W. Sudinda, M. Eng. (RISTEK); Medi Eka Suryana (RISTEK); Retno Andiastuti (BPPT) dan B. Realino (BROK-BRKP).
Tujuan utama kegiatan perjalanan ini adalah untuk melakukan pertemuan dan diskusi guna mengetahui lebih mendalam serta pelatihan tentang proses pembuatan NGSST (New Generation Sea Surface Temperature) dari Profesor Hiroshi Kawamura dan tim dari Universitas Tohoku, Sendai, Jepang.
Dalam kegiatan meeting tersebut, Prof. Kawamura didampingi oleh tim yaitu ; Dr. Kotaro Hosoda, Graduate School of Science, Tohoku University; Dr. Huiling Qin, Graduate School of Science, Tohoku Univerty; Dr. Rahmat Hidayat, Graduate School of Science, Tohoku Univerty; Mr. Yuta Matsuoka, Graduate School of Science, Tohoku Univerty; Professor Jianyu Hu, State Key Laboratory of Marine Environmental Science, Xianmen University, Cina. (observer) dan Associate Professor Yu-Wu JIANG, State Key Laboratory of Marine Enviromental Science, Xiamen University, Cina (Observer).
Prof. Kawamura dan tim telah berhasil mengembangkan NGSST untuk wilayah perairan jepang. NGSST adalah jenis data SST dengan keunggulan bebas awan yang diperoleh dari hasil pengolahan lebih lanjut dengan metode object analysis dari SST yang berasal dari satelit Radar dan satelit NOAA dan MODIS.
Salah satu luaran dari kerjasama riset ini adalah NGSST untuk wilayah perairan Indonesia. Pertemuan dan diskusi dilaksanakan di Universitas Tohoku selam 4 hari (3-6 Agustus 2009), dimana Prof. Kawamura dan tim memberikan paparan saintifik tentang NGSST, khususnya; General Lecture on Satellite SST and NGSST (Prof. Kawamura); OI SST Methodology (Dr. Huiling Qin).
Tahap akhir dari pertemuan ini adalah kesepakatan untuk membuat draft awal proposal kerjasama riset antara pihak Indonesia (BPPT, RISTEK, LAPAN dan BRKP) dengan pihak Jepang (Universitas Tohoku dan JAXA) untuk diusulkan kepada pihak JICA.
Di JAXA, tim Indonesia diterima oleh Dr. Tamotsu Igarashi dan Mrs. Yoko Inomata. Dalam kunjungan tersebut diperoleh penjelasan tentang program-program JAXA dilanjutkan dengan tinjauan berbagai fasilitas diantaranya adalah pengolahan data satelit dan museum pengembangan teknologi satelit JAXA.(BROK)
Minggu, 11 Oktober 2009
thailand mencuri ikan Indonesia
Pemerintah Thailand belum mengkonfirmasi nelayannya yang telah tertangkap petugas pengawas perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Penyidik pengawas perikanan masih membuat berita acara penangkapan 13 kapal tersebut. Petugas masih menahan 21 nahkoda dan kepala kamar mesin (KKM) beserta 11 kapal (dua kapal dipulangkan untuk mengangkut 127 anak buah kapal).
"Kami belum mendapat konfirmasi dari Thailand. Pemeriksaan masih kami jalankan. Setelah berkas pemeriksaan penangkapan selesai, kami akan memberi tahu ke pemerintah Thailand," kata Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Belawan, Slamet, Minggu (11/10) di Medan.
Pemberitahuan ke Pemerintah Thailand akan disampaikan menyangkut penangkapan nelayan Thailand di perairan Selat Malaka. Mereka diduga kuat melakukan pencurian ikan di wilayah RI tanpa mempunyai dokumen resmi.
Tidak hanya pihak pemerintah, tutur Slamet, pemilik kapal juga belum memberikan konfirmasi. Padahal sebelumnya petugas pengawas perikanan memulangkan 127 anak buah kapal ke daerah asalnya. Dari pengakuan nelayan yang tertangkap, mereka baru pertama kali mencuri ikan di wilayah RI. Petugas tidak meyakini pengakuan itu karena dari laporan nelayan RI mereka sering melihat kapal Thailand di wilayah laut RI.
Penangkapan 13 kapal Thailand berlangsung pada Rabu (7/10) dan Kamis (8/10) pekan lalu. Peristiwa ini berlangsung dramatis di sekitar koordinat 03° 17 900 Lintang Utara (LU) dan 100° 17 500 utara Tanjung Balai, Sumatera Utara. Kapal pengawas perikanan Hiu 08 berhasil menangkap seluruh kapal itu meski nelayan Thailand berusaha kabur.
Berbeda
Slamet mengatakan nelayan Thailand kali ini berbeda dengan nelayan yang ditangkap petugas sebelumnya. Seluruh kapal nelayan ini tidak mempunyai radar di masing-masing kapal. Mereka merasa mempunyai izin resmi. "Kami menduga mereka merupakan nelayan kampung yang tidak mengerti dokumen pelayaran," katanya.
Saat dihubungi, Konsul Kehormatan Thailand di Medan, Abidin Surtijo tidak bersedia memberi komentar banyak. Abidin mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi dari pihak Departemen Kelautan dan Perikanan. "Tentunya kami harus mendapat pemberitahuan terlebih dahulu. Pemberitahuan itu harus resmi," katanya. Dia mengatakan sikap resmi Pemerintah Thailand baru keluar jika ada pemberitahuan resmi. Dia mengaku baru mengetahui hal ini dari wartawan.
"Kami belum mendapat konfirmasi dari Thailand. Pemeriksaan masih kami jalankan. Setelah berkas pemeriksaan penangkapan selesai, kami akan memberi tahu ke pemerintah Thailand," kata Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Belawan, Slamet, Minggu (11/10) di Medan.
Pemberitahuan ke Pemerintah Thailand akan disampaikan menyangkut penangkapan nelayan Thailand di perairan Selat Malaka. Mereka diduga kuat melakukan pencurian ikan di wilayah RI tanpa mempunyai dokumen resmi.
Tidak hanya pihak pemerintah, tutur Slamet, pemilik kapal juga belum memberikan konfirmasi. Padahal sebelumnya petugas pengawas perikanan memulangkan 127 anak buah kapal ke daerah asalnya. Dari pengakuan nelayan yang tertangkap, mereka baru pertama kali mencuri ikan di wilayah RI. Petugas tidak meyakini pengakuan itu karena dari laporan nelayan RI mereka sering melihat kapal Thailand di wilayah laut RI.
Penangkapan 13 kapal Thailand berlangsung pada Rabu (7/10) dan Kamis (8/10) pekan lalu. Peristiwa ini berlangsung dramatis di sekitar koordinat 03° 17 900 Lintang Utara (LU) dan 100° 17 500 utara Tanjung Balai, Sumatera Utara. Kapal pengawas perikanan Hiu 08 berhasil menangkap seluruh kapal itu meski nelayan Thailand berusaha kabur.
Berbeda
Slamet mengatakan nelayan Thailand kali ini berbeda dengan nelayan yang ditangkap petugas sebelumnya. Seluruh kapal nelayan ini tidak mempunyai radar di masing-masing kapal. Mereka merasa mempunyai izin resmi. "Kami menduga mereka merupakan nelayan kampung yang tidak mengerti dokumen pelayaran," katanya.
Saat dihubungi, Konsul Kehormatan Thailand di Medan, Abidin Surtijo tidak bersedia memberi komentar banyak. Abidin mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi dari pihak Departemen Kelautan dan Perikanan. "Tentunya kami harus mendapat pemberitahuan terlebih dahulu. Pemberitahuan itu harus resmi," katanya. Dia mengatakan sikap resmi Pemerintah Thailand baru keluar jika ada pemberitahuan resmi. Dia mengaku baru mengetahui hal ini dari wartawan.
tentang rokok
Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, F.A Moeloek mengatakan, Indonesia merupakan negara perokok terbesar di lingkungan negara-negara ASEAN.
"Hal itu berdasarkan data dari The ASEAN Tobacco Control Report tahun 2007. "The ASEAN Tobacco Control Report Card tahun 2007 menyebutkan jumlah perokok di ASEAN mencapai 124.691 juta orang dan Indonesia menyumbang perokok terbesar, yakni, 57.563 juta orang atau sekitar 46,16 persen," ungkapnya dalam jumpa pers di Gedung Kebangkitan Nasional Stovia, Jakarta, Minggu (11/10).
Menurutnya, pada tahun 2008 Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan Indonesia sebagai negara terbesar ke tiga sebagai pengguna rokok. Lebih dari 60 juta penduduk Indonesia pun, menurutnya, mengalami ketidak berdayaan akibat dari adiksi nikotin rokok. "Dan kematian akibat konsumsi rokok tercatat lebih dari 400 ribu orang per-tahun," ujarnya.
Prevalensi perokok di Indonesia kian hari semakin meningkat dan memprihatinkan. , peningkatan tertinggi perokok di Indonesia terjadi pada kelompok remaja umur 15-19 tahun, yaitu, dari 7,1 persen pada tahun 1995 menjadi 17,3 persen pada tahun 2004, atau naik 144 persen selama 9 tahun.
Tak hanya itu, konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 240 miliar batang atau setara dengan 658 juta batang rokok perhari-nya yang berarti uang senilai Rp 330 miliar 'dibakar' oleh para perokok di Indonesia dalam satu harinya. Bahkan menurut data Susenas 2006 menunjukan bahwa pengeluaran untuk membeli rokok adalah 5 kali lebih besar dari pengeluaran untuk telur dan susu (2,3 persen), 2 kali lipat pengeluaran untuk ikan (6,8 persen), dam 17 kali lipat pengeluaran membeli daging (0,7 persen).
"Hal itu berdasarkan data dari The ASEAN Tobacco Control Report tahun 2007. "The ASEAN Tobacco Control Report Card tahun 2007 menyebutkan jumlah perokok di ASEAN mencapai 124.691 juta orang dan Indonesia menyumbang perokok terbesar, yakni, 57.563 juta orang atau sekitar 46,16 persen," ungkapnya dalam jumpa pers di Gedung Kebangkitan Nasional Stovia, Jakarta, Minggu (11/10).
Menurutnya, pada tahun 2008 Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan Indonesia sebagai negara terbesar ke tiga sebagai pengguna rokok. Lebih dari 60 juta penduduk Indonesia pun, menurutnya, mengalami ketidak berdayaan akibat dari adiksi nikotin rokok. "Dan kematian akibat konsumsi rokok tercatat lebih dari 400 ribu orang per-tahun," ujarnya.
Prevalensi perokok di Indonesia kian hari semakin meningkat dan memprihatinkan. , peningkatan tertinggi perokok di Indonesia terjadi pada kelompok remaja umur 15-19 tahun, yaitu, dari 7,1 persen pada tahun 1995 menjadi 17,3 persen pada tahun 2004, atau naik 144 persen selama 9 tahun.
Tak hanya itu, konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 240 miliar batang atau setara dengan 658 juta batang rokok perhari-nya yang berarti uang senilai Rp 330 miliar 'dibakar' oleh para perokok di Indonesia dalam satu harinya. Bahkan menurut data Susenas 2006 menunjukan bahwa pengeluaran untuk membeli rokok adalah 5 kali lebih besar dari pengeluaran untuk telur dan susu (2,3 persen), 2 kali lipat pengeluaran untuk ikan (6,8 persen), dam 17 kali lipat pengeluaran membeli daging (0,7 persen).
Jumat, 09 Oktober 2009
Bombardir atas nama Jihad = Pengikut Setan
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, anggota Hai’ah Kibarul Ulama (Majlis Ulama Besar Saudi Arabia) menegaskan bahwa orang-orang yang menyerukan jihad fi sabilillah dengan cara membunuh diri-diri mereka adalah pelaku bunuh diri (bukan jihad) dan mujahid fi sabilis-syaithan (di jalan syaithan).
Beliau mengatakan bahwa orang-orang yang terjatuh ke dalam fitnah ini tidak bertanya kepada ulama dan tidak belajar kepada mereka melainkan mereka memisahkan diri dari ummat Islam dan berafiliasi kepada pihak-pihak yang mereka adalah thaghut-thaghut dari bangsa manusia yang mencuci otak mereka sehingga tampil dalam bentuk yang berbeda, mengkafirkan kaum muslimin, membunuhi mereka, menghancurkan gedung-gedung, meledakkan dan membunuh anak-anak, orang-orang tua, laki-laki, perempuan, orang Islam, kafir mu’ahad, ahlu dzimmah dan kafir musta’man disebabkan pemikiran sesat ini. Dan ini akibat yang dirasakan oleh orang-orang yang condong kepada pelaku kejahatan dan da’i-da’i yang diceritakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika beliau ditanya tentang fitnah-fitnah akhir zaman, beliau berkata, “(mereka) da’i-da’i kepada pint-pintu jahannam siapasaja yang mengikuti mereka akan dilemparkan ke dalamnya (jahannam).”
Dan inilah realitanya sekarang, benarlah sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, ketika mereka condong kepada da’i-da’i sesat, jadilah mereka dilemparkan ke dalam jahannam. Dan semua pihak geram terhadap mereka dan membenci perbuatan mereka sampai orang-orang kafir, apalagi kaum muslimin, tidak seorangpun senang dengan apa yang mereka buat kecuali orang-orang yang sepaham dengan mereka dan seperti mereka.
Beliau juga menjelaskan bahwa fitnah ini amatlah besar, wajib bagi seorang muslim untuk memiliki bashirah terhadapnya dan tidak tergesa-gesa dan bertanya kepada ulama dan meminta kepada Allah keselamatan dan jangan gampang mempercayai seseorang sebelum mengerti betul hakikat dia yang sesungguhnya dan seberapa jauh keistiqamahan dia di atas al-hak, meskipun menampakkan kebaikan atau rajin ibadah dan memiliki pembelaan terhadap Islam.
Adapun orang yang menampakkan kebaikan dan kebenaran tapi tidak diketahui hakikat sesungguhnya, kita tidak tergesa-gesa memvonisnya sekaligus jangan langsung mempercayainya, sampai kita kenal hakikat sebenarnya, adabnya, kehidupannya. Karena tidaklah terjadi bencana ini melainkan bersumber dari sikap husnuz-zan tanpa landasan ilmu dan tanpa bertanya kepada ulama dan ahlinya. Dari sinilah terjadi bencana-bencana ini sumbernya adalah ketergesa-gesaan dan kebodohan serta hasil dari bergaul dengan orang-orang jahat dan sembarangan mempercayai mereka serta menjauh dari kaum muslimin dan ulama mereka.
Mereka telah menjauh dari belajar melalui sekolah-sekolah dan dari para ulama sehingga terjatuh ke jurang-jurang sebagaimana mereka menjauh dari keluarga dan rumah-rumah mereka.
Maka yang wajib bagi pemuda-pemuda Islam adalah mengambil pelajaran dari kejadian ini karena orang yang bahagia adalah yang mengambil pelajaran dari peristiwa yang menimpa orang lain.
Sebagaimana wajib bagi kita mengambil dari kejadian ini ibrah bagi kita dan tetap bergabung dengan jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka dan tidak nyempal dari mereka kepada kelompok-kelompok yang bermacam-macam.
Sumber: Harian Al-‘Ukkadz, sahab.net
Beliau mengatakan bahwa orang-orang yang terjatuh ke dalam fitnah ini tidak bertanya kepada ulama dan tidak belajar kepada mereka melainkan mereka memisahkan diri dari ummat Islam dan berafiliasi kepada pihak-pihak yang mereka adalah thaghut-thaghut dari bangsa manusia yang mencuci otak mereka sehingga tampil dalam bentuk yang berbeda, mengkafirkan kaum muslimin, membunuhi mereka, menghancurkan gedung-gedung, meledakkan dan membunuh anak-anak, orang-orang tua, laki-laki, perempuan, orang Islam, kafir mu’ahad, ahlu dzimmah dan kafir musta’man disebabkan pemikiran sesat ini. Dan ini akibat yang dirasakan oleh orang-orang yang condong kepada pelaku kejahatan dan da’i-da’i yang diceritakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika beliau ditanya tentang fitnah-fitnah akhir zaman, beliau berkata, “(mereka) da’i-da’i kepada pint-pintu jahannam siapasaja yang mengikuti mereka akan dilemparkan ke dalamnya (jahannam).”
Dan inilah realitanya sekarang, benarlah sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, ketika mereka condong kepada da’i-da’i sesat, jadilah mereka dilemparkan ke dalam jahannam. Dan semua pihak geram terhadap mereka dan membenci perbuatan mereka sampai orang-orang kafir, apalagi kaum muslimin, tidak seorangpun senang dengan apa yang mereka buat kecuali orang-orang yang sepaham dengan mereka dan seperti mereka.
Beliau juga menjelaskan bahwa fitnah ini amatlah besar, wajib bagi seorang muslim untuk memiliki bashirah terhadapnya dan tidak tergesa-gesa dan bertanya kepada ulama dan meminta kepada Allah keselamatan dan jangan gampang mempercayai seseorang sebelum mengerti betul hakikat dia yang sesungguhnya dan seberapa jauh keistiqamahan dia di atas al-hak, meskipun menampakkan kebaikan atau rajin ibadah dan memiliki pembelaan terhadap Islam.
Adapun orang yang menampakkan kebaikan dan kebenaran tapi tidak diketahui hakikat sesungguhnya, kita tidak tergesa-gesa memvonisnya sekaligus jangan langsung mempercayainya, sampai kita kenal hakikat sebenarnya, adabnya, kehidupannya. Karena tidaklah terjadi bencana ini melainkan bersumber dari sikap husnuz-zan tanpa landasan ilmu dan tanpa bertanya kepada ulama dan ahlinya. Dari sinilah terjadi bencana-bencana ini sumbernya adalah ketergesa-gesaan dan kebodohan serta hasil dari bergaul dengan orang-orang jahat dan sembarangan mempercayai mereka serta menjauh dari kaum muslimin dan ulama mereka.
Mereka telah menjauh dari belajar melalui sekolah-sekolah dan dari para ulama sehingga terjatuh ke jurang-jurang sebagaimana mereka menjauh dari keluarga dan rumah-rumah mereka.
Maka yang wajib bagi pemuda-pemuda Islam adalah mengambil pelajaran dari kejadian ini karena orang yang bahagia adalah yang mengambil pelajaran dari peristiwa yang menimpa orang lain.
Sebagaimana wajib bagi kita mengambil dari kejadian ini ibrah bagi kita dan tetap bergabung dengan jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka dan tidak nyempal dari mereka kepada kelompok-kelompok yang bermacam-macam.
Sumber: Harian Al-‘Ukkadz, sahab.net
KUALITAS RUMAH RAMAH BENCANA TERUJI DI SUMBAR
KUALITAS RUMAH RAMAH BENCANA TERUJI DI SUMBAR
Gempa bumi yang mencapai 7,6 skala Richter akhir bulan September di Sumatera Barat telah mengakibatkan kerusakan sarana dan prasarana terutama rumah penduduk. Dan banyak juga rumah ibadah, gedung sekolah dan kantor yang rusak. Rumah penduduk di Sumatera Barat yang rusak berat diperkirakan 88.272 buah, rusak sedang 43.323 buah, dan rusak ringan 47.078 buah, termasuk didalamnya tentu rumah nelayan. Sebagai contoh, di Kabupaten Pasaman Barat, secara rinci rumah nelayan yang rusak berat adalah sebagai berikut. Di Jorong Pondok sebanyak 188 buah, Jorong Pasar Lamo 74 buah, Jorong Maligi 162 buah, Jorong Padang Halaban 126 buah, dan Katiagan 26 buah.
Di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia dan beberapa negara Eropa telah menerapkan peraturan pembangunan perumahan di pinggir pantai yang ramah bencana, misalnya ada building code yang menetapkan jarak minimal dari pantai, berbentuk panggung, berkonstruksi khusus sehingga kalau ada gempa bisa "elastis" dan sebagainya. DKP sudah membuat teknis pengaturan dan pembuatan rumah ramah bencana. Kiranya pemerintah daerah perlu mengadopsi tatanan tersebut untuk diterapkan di wilayahnya.
Pada gempa Sumatera Barat kali ini, disamping rumah penduduk juga terdapat fasilitas kelautan dan perikanan yang mengalami kerusakan. Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat yang terletak di JI. Koto Tinggi, Padang, mengalami rusak berat. Fasilitas pendidikan di Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri, Padang Pariaman, yang mengalami rusak parah adalah aula, gedung ruang makan taruna, laboratorium kimia, dan bengkel latih. Adapun kantor dan rumah guru hanya mengalami rusak ringan.
Selama ini, dalam rangka mengantisipasi dampak bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, rob dan tsunami, DKP telah mensosialisasikan pembangunan kawasan pesisir berbasis mitigasi bencana, antara lain meliputi tata ruang pesisir,
zonasi untuk berbagai keperluan di pesisir (termasuk perumahan) dan konstruksi rumah ramah bencana (building code). Pad a tahun 2009, melalui dana stimulus DKP membangun 2.075 unit rumah ramah bencana yang terdistribusi pada 50 kabupaten pada 21 propinsi dengan anggaran Rp 100 mi/yar. Secara keseluruhan, selama tahun 2006-2009 DKP telah membangun 2.609 unit rumah ramah bencana, dimana 261 unit diantaranya dibangun di Provinsi Sumatera Barat, yaitu Kabupaten Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Pasaman Barat.
Kondisi rumah ramah bencana di Sumatera Barat terbukti tetap berdiri kokoh pasca gempa bumi tanggal 30 September lalu di wilayah tersebut. Keberadaan rumah ramah bencana telah memberikan manfaat bagi masyarakat nelayan, yaitu menurunnya kerugian dan kerusakan pemukiman akibat bencana. Pada tahun 2010, DKP akan tetap mengalokasikan dana APBN untuk pembangunan rumah ramah bencana, dan pembangunannya akan diprioritaskan pada daerah yang terkena gempa bumi, seperti wi/ayah pesisir selatan Jawa Barat, dan Sumatera Barat.
Pembangunan rumah ramah bencana memiliki 3 (tiga) rancangan. Pertama, rumah panggung yang tahan gempa dan tsunami, fokus dilaksanakan di Pantai Barat Sumatera, Pantai Selatan Jawa, Pantai Selatan Nusa Tenggara Barat, Papua dan Sulawesi bagian Utara. Kedua, rumah panggung yang tahan banjir dan rob (air pasang) fokus pembangunannya di Pantai Utara Jawa, Madura dan Sulawesi Selatan. Ketiga, rumah tahan gempa dan tsunami yang dibangun jauh dari bibir pantai.
Disamping kerugian fisik, keluarga kelautan dan perikanan juga prihatin atas terjadinya musibah yang dialami di Hotel Ambacang, Padang. Hari itu (30/10) Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat, Ir. Yosmeri baru saja membuka pelatihan atau bimbingan teknis tentang Produk Perikanan Nilai Tambah, yakni upaya pengembangan pengolahan hasi/ laut guna meningkatkan pendapatan nelayan atau pengolah ikan. Pelatihan tersebut diikuti oleh 30 orang nelayan dari Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat. Pada saat istirahat menunggu acara pelatihan berikutnya, terjadi gempa 7,6 skala richter tersebut. Hotel Ambacang, Padang, sebagai tempat berlangsungnya kegiatan tersebut runtuh, lantai 3 sampai dengan 6 menindih lantai di bawahnya. Sampai saat ini, yang dinyatakan meninggal adalah sebanyak 17 orang, 15 orang luka berat, 4 orang luka ringan, dan 1 orang masih belum ditemukan, yakni Azrina Chaidir, SPi, MSi, dari Departemen Kelautan dan Perikanan.
Sebagai ungkapan duka, karyawan dan karyawati Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta telah menyampaikan dana sumbangan untuk sementara sebesar Rp. 108 juta kepada keluarga korban. Saat ini pengumpulan dana masih berlangsung, termasuk untuk keluarga nelayan. Untuk tujuan yang sama, Asosiasi Kepala Dinas KP provinsi se Indonesia (AKADIN PROP KP) dan Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) juga sedang menggalang dana bantuan, terutama untuk masyarakat pesisir dan korban musibah lainnya.
Gempa bumi yang mencapai 7,6 skala Richter akhir bulan September di Sumatera Barat telah mengakibatkan kerusakan sarana dan prasarana terutama rumah penduduk. Dan banyak juga rumah ibadah, gedung sekolah dan kantor yang rusak. Rumah penduduk di Sumatera Barat yang rusak berat diperkirakan 88.272 buah, rusak sedang 43.323 buah, dan rusak ringan 47.078 buah, termasuk didalamnya tentu rumah nelayan. Sebagai contoh, di Kabupaten Pasaman Barat, secara rinci rumah nelayan yang rusak berat adalah sebagai berikut. Di Jorong Pondok sebanyak 188 buah, Jorong Pasar Lamo 74 buah, Jorong Maligi 162 buah, Jorong Padang Halaban 126 buah, dan Katiagan 26 buah.
Di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia dan beberapa negara Eropa telah menerapkan peraturan pembangunan perumahan di pinggir pantai yang ramah bencana, misalnya ada building code yang menetapkan jarak minimal dari pantai, berbentuk panggung, berkonstruksi khusus sehingga kalau ada gempa bisa "elastis" dan sebagainya. DKP sudah membuat teknis pengaturan dan pembuatan rumah ramah bencana. Kiranya pemerintah daerah perlu mengadopsi tatanan tersebut untuk diterapkan di wilayahnya.
Pada gempa Sumatera Barat kali ini, disamping rumah penduduk juga terdapat fasilitas kelautan dan perikanan yang mengalami kerusakan. Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat yang terletak di JI. Koto Tinggi, Padang, mengalami rusak berat. Fasilitas pendidikan di Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri, Padang Pariaman, yang mengalami rusak parah adalah aula, gedung ruang makan taruna, laboratorium kimia, dan bengkel latih. Adapun kantor dan rumah guru hanya mengalami rusak ringan.
Selama ini, dalam rangka mengantisipasi dampak bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, rob dan tsunami, DKP telah mensosialisasikan pembangunan kawasan pesisir berbasis mitigasi bencana, antara lain meliputi tata ruang pesisir,
zonasi untuk berbagai keperluan di pesisir (termasuk perumahan) dan konstruksi rumah ramah bencana (building code). Pad a tahun 2009, melalui dana stimulus DKP membangun 2.075 unit rumah ramah bencana yang terdistribusi pada 50 kabupaten pada 21 propinsi dengan anggaran Rp 100 mi/yar. Secara keseluruhan, selama tahun 2006-2009 DKP telah membangun 2.609 unit rumah ramah bencana, dimana 261 unit diantaranya dibangun di Provinsi Sumatera Barat, yaitu Kabupaten Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Pasaman Barat.
Kondisi rumah ramah bencana di Sumatera Barat terbukti tetap berdiri kokoh pasca gempa bumi tanggal 30 September lalu di wilayah tersebut. Keberadaan rumah ramah bencana telah memberikan manfaat bagi masyarakat nelayan, yaitu menurunnya kerugian dan kerusakan pemukiman akibat bencana. Pada tahun 2010, DKP akan tetap mengalokasikan dana APBN untuk pembangunan rumah ramah bencana, dan pembangunannya akan diprioritaskan pada daerah yang terkena gempa bumi, seperti wi/ayah pesisir selatan Jawa Barat, dan Sumatera Barat.
Pembangunan rumah ramah bencana memiliki 3 (tiga) rancangan. Pertama, rumah panggung yang tahan gempa dan tsunami, fokus dilaksanakan di Pantai Barat Sumatera, Pantai Selatan Jawa, Pantai Selatan Nusa Tenggara Barat, Papua dan Sulawesi bagian Utara. Kedua, rumah panggung yang tahan banjir dan rob (air pasang) fokus pembangunannya di Pantai Utara Jawa, Madura dan Sulawesi Selatan. Ketiga, rumah tahan gempa dan tsunami yang dibangun jauh dari bibir pantai.
Disamping kerugian fisik, keluarga kelautan dan perikanan juga prihatin atas terjadinya musibah yang dialami di Hotel Ambacang, Padang. Hari itu (30/10) Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat, Ir. Yosmeri baru saja membuka pelatihan atau bimbingan teknis tentang Produk Perikanan Nilai Tambah, yakni upaya pengembangan pengolahan hasi/ laut guna meningkatkan pendapatan nelayan atau pengolah ikan. Pelatihan tersebut diikuti oleh 30 orang nelayan dari Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat. Pada saat istirahat menunggu acara pelatihan berikutnya, terjadi gempa 7,6 skala richter tersebut. Hotel Ambacang, Padang, sebagai tempat berlangsungnya kegiatan tersebut runtuh, lantai 3 sampai dengan 6 menindih lantai di bawahnya. Sampai saat ini, yang dinyatakan meninggal adalah sebanyak 17 orang, 15 orang luka berat, 4 orang luka ringan, dan 1 orang masih belum ditemukan, yakni Azrina Chaidir, SPi, MSi, dari Departemen Kelautan dan Perikanan.
Sebagai ungkapan duka, karyawan dan karyawati Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta telah menyampaikan dana sumbangan untuk sementara sebesar Rp. 108 juta kepada keluarga korban. Saat ini pengumpulan dana masih berlangsung, termasuk untuk keluarga nelayan. Untuk tujuan yang sama, Asosiasi Kepala Dinas KP provinsi se Indonesia (AKADIN PROP KP) dan Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) juga sedang menggalang dana bantuan, terutama untuk masyarakat pesisir dan korban musibah lainnya.
Senin, 05 Oktober 2009
tentang terorisme
Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadukan segala fitnah dan ujian yang mendera, akibat ulah sekolompok anak muda yang hanya bermodalkan semangat belaka dalam beragama namun tanpa disertai kajian ilmu syar’i yang mendalam dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta bimbingan para Ulama, kini ummat Islam secara umum dan Ahlus Sunnah (orang-orang yang komitmen dengan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) secara khusus harus menanggung akibatnya berupa celaan dan citra negatif sebagai pendukung terorisme.
Aksi-aksi terorisme yang sejatinya sangat ditentang oleh syari’at Islam yang mulia ini justru dianggap sebagai bagian dari jihad di jalan Allah, sehingga pelakunya digelari sebagai mujahid, apabila ia mati menjadi syahid, pengantin surga dan calon suami bidadari...
Demi Allah, akal dan agama mana yang mengajarkan terorisme itu jihad...?! Akal dan agama mana yang mengajarkan buang bom di sembarang tempat itu amal saleh...?!
Maka berikut ini kami akan menunjukkan beberapa penyimpangan terorisme dari Syari’at Islam dan menjelaskan beberapa hukum jihad syar’i yang diselisihi para Teroris, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta keterangan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut generasi Salaf (generasi Sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).
Pelanggaran-pelanggaran hukum Jihad Islami yang dilakukan Teroris:
Pelanggaran Pertama: Tidak memenuhi syarat-syarat Jihad Islami
Jihad melawan orang kafir terbagi dua bentuk; jihad difa’ (defensif, membela diri) dan jihad tholab (ofensif, memulai penyerangan lebih dulu), adapun yang dilakukan oleh para Teroris tidak diragukan lagi adalah jihad ofensif, sebab jelas sekali mereka yang lebih dulu menyerang, bahkan menyerang orang yang tidak bersenjata.
Dalam jihad defensif, ketika ummat Islam diserang oleh musuh maka kewajiban mereka untuk membela diri tanpa ada syarat-syarat jihad yang harus dipenuhi (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah hal. 532 dan Al-Fatawa Al-Kubrô 4/608).
Namun untuk ketegori jihad ofensif terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum melakukan jihad tersebut. Disinilah salah satu perbedaan mendasar antara jihad dan terorisme. Bahwa jihad terikat dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah Ta’ala dalam syari’at-Nya, sedangkan terorisme justru menerjang aturan-aturan tersebut. Maka inilah syarat-syarat jihad ofensif kepada orang-orang kafir yang dijelaskan para Ulama:
Syarat Pertama: Jihad tersebut dipimpin oleh seorang kepala negara
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah, dan siapa yang bermaksiat terhadapku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pemimpin maka sungguh ia telah taat kepadaku, dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng, dilakukan peperangan dibelakangnya, dan dijadikan sebagai pelindung.” (HR. Al-Bukhary no. 2957 (konteks di atas milik Al-Bukhary), Muslim no. 1835, 1841, Abu Daud no. 2757 dan An-Nasa`i 7/155).
Berkata al-Imam an-Nawawy rahimahullah, “Dan makna “dilakukan peperangan di belakangnya” yaitu dilakukan peperangan bersamanya melawan orang-orang kafir, Al-Bughôt (para pembangkang terhadap penguasa), kaum khawarij dan seluruh pengekor kerusakan dan kezholiman.” (Syarah Muslim 12/230).
Syarat Kedua: Jihad tersebut harus didukung dengan kekuatan yang cukup untuk menghadapi musuh. Sehingga apabila kaum Muslimin belum memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi musuh, maka gugurlah kewajiban tersebut dan yang tersisa hanyalah kewajiban untuk mempersiapkan kekuatan.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan (yang juga) musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Anfâl : 60)
Diantara dalil akan gugurnya kewajiban jihad bila tidak ada kemampuan, adalah hadits An-Nawwâs bin Sam’ân radhiyallâhu ‘anhu tentang kisah Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm membunuh Dajjal…, kemudian disebutkan keluarnya Ya`jûj dan Ma`jûj,
…فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذْ أَوْحَى اللهُ إِلَى عِيْسَى: إِنِّيْ قَدْ أَخْرَجْتُ عِبَاداً لِيْ لَا يَدَانِ لِأَحَدٍ بِقِتَالِهِمْ، فَحَرِّزْ عِبَادِيْ إِلَى الطُّوْرِ وَيَبْعَثُ اللَّهُ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ …
“…Dan tatkala (Nabi ‘Isâ) dalam keadaan demikian, maka Allah mewahyukan kepada (Nabi) ‘Isâ, “Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan sekelompok hamba yang tiada tangan (baca: kekuatan) bagi seorangpun untuk memerangi mereka, maka bawalah hamba-hamba-Ku berlindung ke (bukit) Thûr.” Kemudian Allah mengeluarkan Ya`jûj dan Ma`jûj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi….” (HR. Muslim no. 2937 dan Ibnu Majah no. 4075).
Perhatikan hadits ini, tatkala kekuatan Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm dan kaum muslimin yang bersama beliau waktu itu lemah untuk menghadapi Ya`jûj dan Ma`jûj, maka Allah tidak memerintah mereka untuk mengobarkan peperangan dan menegakkan jihad bahkan mereka diperintah untuk berlindung ke bukit Thûr.
Demikian pula, ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabat masih lemah di Makkah, Allah Ta’ala melarang kaum Muslimin untuk berjihad, padahal ketika itu kaum Muslimin mendapatkan berbagai macam bentuk kezhaliman dari orang-orang kafir.
Berkata Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Dan beliau (Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam) diperintah untuk menahan (tangan) dari memerangi orang-orang kafir karena ketidakmampuan beliau dan kaum muslimin untuk menegakkan hal tersebut. Tatkala beliau hijrah ke Madinah dan mempunyai orang-orang yang menguatkan beliau, maka beliaupun diizinkan untuk berjihad.” (Al-Jawâb Ash-Shohîh 1/237).
Syarat Ketiga: Jihad tersebut dilakukan oleh kaum Muslimin yang memiliki wilayah kekuasaan
Perkara ini nampak jelas dari sejarah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bahwa Beliau diizinkan berjihad oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika telah terbentuknya satu kepemimpinan dengan Madinah sebagai wilayahnya dan beliau sendiri sebagai pimpinannya.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.” (Fathul Bari 6/4-5 dan Nailul Authar 7/246-247).
Demikianlah syarat-syarat jihad dalam syari’at Islam. Adapun dari sisi akal sehat, bahwa tujuan jihad adalah untuk meninggikan agama Allah Ta’ala sehingga Islam menjadi terhormat dan berwibawa di hadapan musuh, hal ini tidak akan tercapai apabila tidak dipersiapkan dengan matang dengan suatu kekuatan, persiapan dan pengaturan yang baik. Maka ketika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, sebagaimana dalam aksi-aksi terorisme, hasilnya justru bukan membuat Islam menjadi tinggi, malah memperburuk citra Islam, sebagaimana yang kita saksikan saat ini.
Pelanggaran Kedua: Memerangi orang kafir sebelum didakwahi dan ditawarkan apakah memilih Islam, membayar jizyah atau perang
Pelanggaran ini menunjukkan kurangnya semangat para Teroris untuk mengusahakan hidayah kepada manusia dan semakin jauh dari tujuan jihad itu sendiri, padahal hakekat jihad hanyalah sarana untuk menegakkan dakwah kepada Allah Ta’ala.
Ini juga merupakan bukti betapa jauhnya mereka dari pemahaman yang benar tentang jihad, sebagaimana tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada para Mujahid yang sebenarnya, yaitu para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dalam hadits Buraidah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa âlihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata, “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsîl (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”. (HR. Muslim no. 1731, Abu Dâud no. 2613, At-Tirmidzy no. 1412, 1621, An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô no. 8586, 8680, 8765, 8782 dan Ibnu Mâjah no. 2857, 2858).
Pelanggaran Ketiga: Membunuh orang Muslim dengan sengaja
Kami katakan bahwa mereka sengaja membunuh orang Muslim yang tentu sangat mungkin berada di lokasi pengeboman karena jelas sekali bahwa negeri ini adalah negeri mayoritas Muslim, dan mereka sadar betul di sini bukan medan jihad seperti di Palestina dan Afganistan, bahkan mereka tahu dengan pasti kemungkinan besar akan ada korban Muslim yang meninggal.
Tidakkah mereka mengetahui adab Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebelum menyerang musuh di suatu daerah?! Disebutkan dalam hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَزَا بِنَا قَوْمًا لَمْ يَكُنْ يَغْزُوْ بِنَا حَتَّى يُصْبِحَ وَيَنْظُرَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ عَنْهُمْ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam apabila bersama kami untuk memerangi suatu kaum, beliau tidak melakukan perang tersebut hingga waktu pagi, kemudian beliau menunggu, apabila beliau mendengar adzan maka beliau menahan diri dari mereka dan apabila beliau tidak mendengar adzan maka beliau menyerang mereka secara tiba-tiba. ”(HR. Al-Bukhâri no. 610, 2943, Muslim no. 382, Abu Daud no. 2634, dan At-Tirmidzy no. 1622).
Tidakkah mereka mengetahui betapa terhormatnya seorang Muslim itu?! Tidakkah mereka mengetahui betapa besar kemarahan Allah Ta’ala atas pembunuh seorang Muslim?!
Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisâ` : 93)
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Sungguh sirnanya dunia lebih ringan di sisi Allah dari membunuh (jiwa) seorang muslim.” (Hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma riwayat At-Tirmidzy no. 1399, An-Nasa`i 7/ 82, Al-Bazzar no. 2393, Ibnu Abi ‘ashim dalam Az-Zuhd no. 137, Al-Baihaqy 8/22, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/270 dan Al-Khathib 5/296. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullah dalam Ghayatul Maram no. 439).
Pelanggaran Keempat: Membunuh orang kafir tanpa pandang bulu
Inilah salah satu pelanggaran Teroris dalam berjihad yang menunjukkan pemahaman mereka yang sangat dangkal tentang hukum-hukum agama dan penjelasan para Ulama.
Ketahuilah, para Ulama dari masa ke masa telah menjelaskan bahwa tidak semua orang kafir yang boleh untuk dibunuh, maka pahamilah jenis-jenis orang kafir berikut ini:
Pertama, kafir harbiy, yaitu orang kafir yang memerangi kaum Muslimin, inilah orang kafir yang boleh untuk dibunuh.
Kedua, kafir dzimmy, yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum Muslimin, tunduk dengan aturan-aturan yang ada dan membayar jizyah (sebagaimana dalam hadits Buraidah di atas), maka tidak boleh dibunuh.
Ketiga, kafir mu’ahad, yaitu orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum Muslimin untuk tidak saling berperang, selama ia tidak melanggar perjanjian tersebut maka tidak boleh dibunuh.
Keempat, kafir musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum Muslimin, atau sebagian kaum Muslimin, maka tidak boleh kaum Muslimin yang lainnya untuk membunuh orang kafir jenis ini. Dan termasuk dalam kategori ini adalah para pengunjung suatu negara yang diberi izin masuk oleh pemerintah kaum Muslimin untuk memasuki wilayahnya.
Banyak dalil yang melarang pembunuhan ketiga jenis orang kafir di atas, bahkan terdapat ancaman yang keras dalam sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”. (HR. Al-Bukhary no. 3166, 6914, An-Nasa`i 8/25 dan Ibnu Majah no. 2686).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa kata mu’ahad dalam hadits di atas mempunyai cakupan yang lebih luas. Beliau berkata, “Dan yang diinginkan dengan (mu’ahad) adalah setiap yang mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin, baik dengan akad jizyah (kafir dzimmy), perjanjian dari penguasa (kafir mu’ahad), atau jaminan keamanan dari seorang muslim (kafir musta’man).” (Fathul Bary 12/259).
(Disarikan dari buku Meraih Kemuliaan melalui Jihad Bukan Kenistaan, karya Al-Ustadz Dzulqarnain hafizhahullah. Semua dalil, takhrij hadits dan perkataan Ulama di atas dikutip melalui perantara buku tersebut, jazallahu muallifahu khairon).
Aksi-aksi terorisme yang sejatinya sangat ditentang oleh syari’at Islam yang mulia ini justru dianggap sebagai bagian dari jihad di jalan Allah, sehingga pelakunya digelari sebagai mujahid, apabila ia mati menjadi syahid, pengantin surga dan calon suami bidadari...
Demi Allah, akal dan agama mana yang mengajarkan terorisme itu jihad...?! Akal dan agama mana yang mengajarkan buang bom di sembarang tempat itu amal saleh...?!
Maka berikut ini kami akan menunjukkan beberapa penyimpangan terorisme dari Syari’at Islam dan menjelaskan beberapa hukum jihad syar’i yang diselisihi para Teroris, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta keterangan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut generasi Salaf (generasi Sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).
Pelanggaran-pelanggaran hukum Jihad Islami yang dilakukan Teroris:
Pelanggaran Pertama: Tidak memenuhi syarat-syarat Jihad Islami
Jihad melawan orang kafir terbagi dua bentuk; jihad difa’ (defensif, membela diri) dan jihad tholab (ofensif, memulai penyerangan lebih dulu), adapun yang dilakukan oleh para Teroris tidak diragukan lagi adalah jihad ofensif, sebab jelas sekali mereka yang lebih dulu menyerang, bahkan menyerang orang yang tidak bersenjata.
Dalam jihad defensif, ketika ummat Islam diserang oleh musuh maka kewajiban mereka untuk membela diri tanpa ada syarat-syarat jihad yang harus dipenuhi (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah hal. 532 dan Al-Fatawa Al-Kubrô 4/608).
Namun untuk ketegori jihad ofensif terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum melakukan jihad tersebut. Disinilah salah satu perbedaan mendasar antara jihad dan terorisme. Bahwa jihad terikat dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah Ta’ala dalam syari’at-Nya, sedangkan terorisme justru menerjang aturan-aturan tersebut. Maka inilah syarat-syarat jihad ofensif kepada orang-orang kafir yang dijelaskan para Ulama:
Syarat Pertama: Jihad tersebut dipimpin oleh seorang kepala negara
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah, dan siapa yang bermaksiat terhadapku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pemimpin maka sungguh ia telah taat kepadaku, dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng, dilakukan peperangan dibelakangnya, dan dijadikan sebagai pelindung.” (HR. Al-Bukhary no. 2957 (konteks di atas milik Al-Bukhary), Muslim no. 1835, 1841, Abu Daud no. 2757 dan An-Nasa`i 7/155).
Berkata al-Imam an-Nawawy rahimahullah, “Dan makna “dilakukan peperangan di belakangnya” yaitu dilakukan peperangan bersamanya melawan orang-orang kafir, Al-Bughôt (para pembangkang terhadap penguasa), kaum khawarij dan seluruh pengekor kerusakan dan kezholiman.” (Syarah Muslim 12/230).
Syarat Kedua: Jihad tersebut harus didukung dengan kekuatan yang cukup untuk menghadapi musuh. Sehingga apabila kaum Muslimin belum memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi musuh, maka gugurlah kewajiban tersebut dan yang tersisa hanyalah kewajiban untuk mempersiapkan kekuatan.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan (yang juga) musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Anfâl : 60)
Diantara dalil akan gugurnya kewajiban jihad bila tidak ada kemampuan, adalah hadits An-Nawwâs bin Sam’ân radhiyallâhu ‘anhu tentang kisah Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm membunuh Dajjal…, kemudian disebutkan keluarnya Ya`jûj dan Ma`jûj,
…فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذْ أَوْحَى اللهُ إِلَى عِيْسَى: إِنِّيْ قَدْ أَخْرَجْتُ عِبَاداً لِيْ لَا يَدَانِ لِأَحَدٍ بِقِتَالِهِمْ، فَحَرِّزْ عِبَادِيْ إِلَى الطُّوْرِ وَيَبْعَثُ اللَّهُ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ …
“…Dan tatkala (Nabi ‘Isâ) dalam keadaan demikian, maka Allah mewahyukan kepada (Nabi) ‘Isâ, “Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan sekelompok hamba yang tiada tangan (baca: kekuatan) bagi seorangpun untuk memerangi mereka, maka bawalah hamba-hamba-Ku berlindung ke (bukit) Thûr.” Kemudian Allah mengeluarkan Ya`jûj dan Ma`jûj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi….” (HR. Muslim no. 2937 dan Ibnu Majah no. 4075).
Perhatikan hadits ini, tatkala kekuatan Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm dan kaum muslimin yang bersama beliau waktu itu lemah untuk menghadapi Ya`jûj dan Ma`jûj, maka Allah tidak memerintah mereka untuk mengobarkan peperangan dan menegakkan jihad bahkan mereka diperintah untuk berlindung ke bukit Thûr.
Demikian pula, ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabat masih lemah di Makkah, Allah Ta’ala melarang kaum Muslimin untuk berjihad, padahal ketika itu kaum Muslimin mendapatkan berbagai macam bentuk kezhaliman dari orang-orang kafir.
Berkata Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Dan beliau (Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam) diperintah untuk menahan (tangan) dari memerangi orang-orang kafir karena ketidakmampuan beliau dan kaum muslimin untuk menegakkan hal tersebut. Tatkala beliau hijrah ke Madinah dan mempunyai orang-orang yang menguatkan beliau, maka beliaupun diizinkan untuk berjihad.” (Al-Jawâb Ash-Shohîh 1/237).
Syarat Ketiga: Jihad tersebut dilakukan oleh kaum Muslimin yang memiliki wilayah kekuasaan
Perkara ini nampak jelas dari sejarah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bahwa Beliau diizinkan berjihad oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika telah terbentuknya satu kepemimpinan dengan Madinah sebagai wilayahnya dan beliau sendiri sebagai pimpinannya.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.” (Fathul Bari 6/4-5 dan Nailul Authar 7/246-247).
Demikianlah syarat-syarat jihad dalam syari’at Islam. Adapun dari sisi akal sehat, bahwa tujuan jihad adalah untuk meninggikan agama Allah Ta’ala sehingga Islam menjadi terhormat dan berwibawa di hadapan musuh, hal ini tidak akan tercapai apabila tidak dipersiapkan dengan matang dengan suatu kekuatan, persiapan dan pengaturan yang baik. Maka ketika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, sebagaimana dalam aksi-aksi terorisme, hasilnya justru bukan membuat Islam menjadi tinggi, malah memperburuk citra Islam, sebagaimana yang kita saksikan saat ini.
Pelanggaran Kedua: Memerangi orang kafir sebelum didakwahi dan ditawarkan apakah memilih Islam, membayar jizyah atau perang
Pelanggaran ini menunjukkan kurangnya semangat para Teroris untuk mengusahakan hidayah kepada manusia dan semakin jauh dari tujuan jihad itu sendiri, padahal hakekat jihad hanyalah sarana untuk menegakkan dakwah kepada Allah Ta’ala.
Ini juga merupakan bukti betapa jauhnya mereka dari pemahaman yang benar tentang jihad, sebagaimana tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada para Mujahid yang sebenarnya, yaitu para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dalam hadits Buraidah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa âlihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata, “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsîl (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”. (HR. Muslim no. 1731, Abu Dâud no. 2613, At-Tirmidzy no. 1412, 1621, An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô no. 8586, 8680, 8765, 8782 dan Ibnu Mâjah no. 2857, 2858).
Pelanggaran Ketiga: Membunuh orang Muslim dengan sengaja
Kami katakan bahwa mereka sengaja membunuh orang Muslim yang tentu sangat mungkin berada di lokasi pengeboman karena jelas sekali bahwa negeri ini adalah negeri mayoritas Muslim, dan mereka sadar betul di sini bukan medan jihad seperti di Palestina dan Afganistan, bahkan mereka tahu dengan pasti kemungkinan besar akan ada korban Muslim yang meninggal.
Tidakkah mereka mengetahui adab Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebelum menyerang musuh di suatu daerah?! Disebutkan dalam hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَزَا بِنَا قَوْمًا لَمْ يَكُنْ يَغْزُوْ بِنَا حَتَّى يُصْبِحَ وَيَنْظُرَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ عَنْهُمْ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam apabila bersama kami untuk memerangi suatu kaum, beliau tidak melakukan perang tersebut hingga waktu pagi, kemudian beliau menunggu, apabila beliau mendengar adzan maka beliau menahan diri dari mereka dan apabila beliau tidak mendengar adzan maka beliau menyerang mereka secara tiba-tiba. ”(HR. Al-Bukhâri no. 610, 2943, Muslim no. 382, Abu Daud no. 2634, dan At-Tirmidzy no. 1622).
Tidakkah mereka mengetahui betapa terhormatnya seorang Muslim itu?! Tidakkah mereka mengetahui betapa besar kemarahan Allah Ta’ala atas pembunuh seorang Muslim?!
Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisâ` : 93)
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Sungguh sirnanya dunia lebih ringan di sisi Allah dari membunuh (jiwa) seorang muslim.” (Hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma riwayat At-Tirmidzy no. 1399, An-Nasa`i 7/ 82, Al-Bazzar no. 2393, Ibnu Abi ‘ashim dalam Az-Zuhd no. 137, Al-Baihaqy 8/22, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/270 dan Al-Khathib 5/296. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullah dalam Ghayatul Maram no. 439).
Pelanggaran Keempat: Membunuh orang kafir tanpa pandang bulu
Inilah salah satu pelanggaran Teroris dalam berjihad yang menunjukkan pemahaman mereka yang sangat dangkal tentang hukum-hukum agama dan penjelasan para Ulama.
Ketahuilah, para Ulama dari masa ke masa telah menjelaskan bahwa tidak semua orang kafir yang boleh untuk dibunuh, maka pahamilah jenis-jenis orang kafir berikut ini:
Pertama, kafir harbiy, yaitu orang kafir yang memerangi kaum Muslimin, inilah orang kafir yang boleh untuk dibunuh.
Kedua, kafir dzimmy, yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum Muslimin, tunduk dengan aturan-aturan yang ada dan membayar jizyah (sebagaimana dalam hadits Buraidah di atas), maka tidak boleh dibunuh.
Ketiga, kafir mu’ahad, yaitu orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum Muslimin untuk tidak saling berperang, selama ia tidak melanggar perjanjian tersebut maka tidak boleh dibunuh.
Keempat, kafir musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum Muslimin, atau sebagian kaum Muslimin, maka tidak boleh kaum Muslimin yang lainnya untuk membunuh orang kafir jenis ini. Dan termasuk dalam kategori ini adalah para pengunjung suatu negara yang diberi izin masuk oleh pemerintah kaum Muslimin untuk memasuki wilayahnya.
Banyak dalil yang melarang pembunuhan ketiga jenis orang kafir di atas, bahkan terdapat ancaman yang keras dalam sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”. (HR. Al-Bukhary no. 3166, 6914, An-Nasa`i 8/25 dan Ibnu Majah no. 2686).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa kata mu’ahad dalam hadits di atas mempunyai cakupan yang lebih luas. Beliau berkata, “Dan yang diinginkan dengan (mu’ahad) adalah setiap yang mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin, baik dengan akad jizyah (kafir dzimmy), perjanjian dari penguasa (kafir mu’ahad), atau jaminan keamanan dari seorang muslim (kafir musta’man).” (Fathul Bary 12/259).
(Disarikan dari buku Meraih Kemuliaan melalui Jihad Bukan Kenistaan, karya Al-Ustadz Dzulqarnain hafizhahullah. Semua dalil, takhrij hadits dan perkataan Ulama di atas dikutip melalui perantara buku tersebut, jazallahu muallifahu khairon).
DPR sahkan UU perikanan
DPR SAHKAN PERUBAHAN UU PERIKANAN
Dalam rangka menempatkan perikanan sebagai sektor yang strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, rapat paripurna DPR hari ini secara resmi mengesahkan perubahan UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan. Penyempurnaan UU ini dilakukan untuk lebih mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan, perluasan lapangan pekerjaan, menurunkan tingkat illegal fishing, dan peningkatan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan pesisir, sehingga pengelolaan sumberdaya ikan kedepan dapat dilakukan secara lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi saat memberikan sambutan pada rapat paripurna DPR mengenai pengesahaan perubahan UU No.31/2004 tentang Perikanan di Gedung Nusantara DPR, Jakarta (30/9).
Masih maraknya praktek illegal fishing, terutama yang dilakukan kapal-kapal penangkap ikan berbendera asing di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia diyakini dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan merugikan perekonomian nasional. Berpijak pada kondisi ini, Departemen Kelautan dan Perikanan bersama DPR sepakat untuk mengenakan sanksi berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal kapal perikanan berbedera asing yang melakukan tindak pidana perikanan berdasarkan bukti permulaan yang cukup oleh penyisik perikanan sehingga dapat memberikan efek jera.
Berdasarkan usul inisiatif perubahan rancangan UU No.31/2004, dibahas 43 pokok bahasan yang meliputi: penambahan pasal/ayat (21 perubahan), penghapusan pasal/ayat (4 perubahan), dan penyempurnaan pasal/ayat (18 perubahan). Hasil pembahasan yang dilakukan secara marathon dengan DPR disepakati beberapa pokok-pokok perubahan, yaitu: penyempurnaan definisi nelayan kecil menjadi orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menggunakan kapal perikanan maksimal berukuran 5 GT; penambahan asas pengelolaan perikanan, yaitu asas kebersamaan, asas kemandirian dan asas pembangunan perikanan yang berkelanjutan; penyempurnaan ketentuan mengenai pengendalian pemasukan dan/atau pengeluaran ikan jenis baru dari dan ke luar negeri; pengendalian mutu induk dan benih ikan yang dibudidayakan; pengaturan mengenai penggunaan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia pada kapal perikanan; penyempurnaan ketentuan mengenai pendaftaran kapal perikanan; dan penyempurnaan fungsi pelabuhan.
Selain itu, dalam penyempurnaan UU Perikanan juga disepakati mengenai penyempurnaan ketentuan pungutan perikanan; pemanfaatan pungutan perikanan untuk konservasi SDI; pengaturan tugas dan wewenang pengawas perikanan; pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana perikanan; kewenangan penyidik; pengurangan sanksi terhadap nelayan dan pembudidaya ikan kecil; dan pengaturan keputusan pengadilan berupa denda dan lelang barang bukti sebagai PNBP Departemen Kelautan dan Perikanan.
Dalam upaya menindaklanjuti penyempurnaan UU No.31/2004 tentang Perikanan ini, Departemen Kelautan dan Perikanan dalam waktu dekat akan segera menyelesaikan berbagai peraturan pendukung, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri.
Jakarta, September 2009
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi
ttd
Dr. Soen’an H. Poernomo, M.Ed.
Dalam rangka menempatkan perikanan sebagai sektor yang strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, rapat paripurna DPR hari ini secara resmi mengesahkan perubahan UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan. Penyempurnaan UU ini dilakukan untuk lebih mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan, perluasan lapangan pekerjaan, menurunkan tingkat illegal fishing, dan peningkatan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan pesisir, sehingga pengelolaan sumberdaya ikan kedepan dapat dilakukan secara lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi saat memberikan sambutan pada rapat paripurna DPR mengenai pengesahaan perubahan UU No.31/2004 tentang Perikanan di Gedung Nusantara DPR, Jakarta (30/9).
Masih maraknya praktek illegal fishing, terutama yang dilakukan kapal-kapal penangkap ikan berbendera asing di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia diyakini dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan merugikan perekonomian nasional. Berpijak pada kondisi ini, Departemen Kelautan dan Perikanan bersama DPR sepakat untuk mengenakan sanksi berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal kapal perikanan berbedera asing yang melakukan tindak pidana perikanan berdasarkan bukti permulaan yang cukup oleh penyisik perikanan sehingga dapat memberikan efek jera.
Berdasarkan usul inisiatif perubahan rancangan UU No.31/2004, dibahas 43 pokok bahasan yang meliputi: penambahan pasal/ayat (21 perubahan), penghapusan pasal/ayat (4 perubahan), dan penyempurnaan pasal/ayat (18 perubahan). Hasil pembahasan yang dilakukan secara marathon dengan DPR disepakati beberapa pokok-pokok perubahan, yaitu: penyempurnaan definisi nelayan kecil menjadi orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menggunakan kapal perikanan maksimal berukuran 5 GT; penambahan asas pengelolaan perikanan, yaitu asas kebersamaan, asas kemandirian dan asas pembangunan perikanan yang berkelanjutan; penyempurnaan ketentuan mengenai pengendalian pemasukan dan/atau pengeluaran ikan jenis baru dari dan ke luar negeri; pengendalian mutu induk dan benih ikan yang dibudidayakan; pengaturan mengenai penggunaan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia pada kapal perikanan; penyempurnaan ketentuan mengenai pendaftaran kapal perikanan; dan penyempurnaan fungsi pelabuhan.
Selain itu, dalam penyempurnaan UU Perikanan juga disepakati mengenai penyempurnaan ketentuan pungutan perikanan; pemanfaatan pungutan perikanan untuk konservasi SDI; pengaturan tugas dan wewenang pengawas perikanan; pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana perikanan; kewenangan penyidik; pengurangan sanksi terhadap nelayan dan pembudidaya ikan kecil; dan pengaturan keputusan pengadilan berupa denda dan lelang barang bukti sebagai PNBP Departemen Kelautan dan Perikanan.
Dalam upaya menindaklanjuti penyempurnaan UU No.31/2004 tentang Perikanan ini, Departemen Kelautan dan Perikanan dalam waktu dekat akan segera menyelesaikan berbagai peraturan pendukung, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri.
Jakarta, September 2009
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi
ttd
Dr. Soen’an H. Poernomo, M.Ed.
gurita...musik....
Tidak Cuma manusia yang menggemari musik. Gurita pun menyukai nada-nada indah. Tentu saja jenis musik manusia berbeda dari musik yang disukai gurita. Si tangan delapan yang hidup di dasar laut itu menyukai nada sinyal dengan frekuensi rendah (subtronik).
Perilaku Gurita ini mengilhami Agus Cahyadi. Peneliti di Pusat Riset Teknologi Kelautan Badan Riset kelautan dan perikanan (BRKP) Departemen Kelautan Dan Perikanan(DKP) itu akhirnya berhasil menciptakan alat pancing Gurita modern untuk menggantikan cara tradisional yang menggunakan tombak sambil menyelam. Cara tradisional ini dianggap merusak karang tempat persembunyian Gurita.
Disamping itu, metode lain yang menggunakan claypot (kendi tanah liat) atau trap (perangkap) jarang digunakan karena kompleks.Dengan alat buatan Agus, yang disebut ACAH (Atraktor Cephalopoda Harian), yang dilengkapi sinyal subtronik sebagai atraktor atau penarik, Gurita akan datang sendiri dan masuk jebakan.
Alat yang memiliki bentuk pancing dengan umpan dari bahan-bahan buatan yang memiliki motif berbagai warna itu efektif menarik perhatian Gurita. ACAH dapat dioperasikan dengan mudah pada saat perahu atau kapal dalam kondisi diam. Hasil tangkapannya pun lebih banyak, tanpa merusak daging Gurita dan karang tempat hidup si tangan delapan itu.
Dari hasil inovasi tersebut, maka pada tanggal 17 Agustus 2009 di undang Presiden RI ke istana negara, untuk mendapat penghargaan dari Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Atas Karya Inovasi Alat Pancing Gurita Elektonik. Sebagai satu satu dari 101 Inovasi paling prospektif – 2009.
Perilaku Gurita ini mengilhami Agus Cahyadi. Peneliti di Pusat Riset Teknologi Kelautan Badan Riset kelautan dan perikanan (BRKP) Departemen Kelautan Dan Perikanan(DKP) itu akhirnya berhasil menciptakan alat pancing Gurita modern untuk menggantikan cara tradisional yang menggunakan tombak sambil menyelam. Cara tradisional ini dianggap merusak karang tempat persembunyian Gurita.
Disamping itu, metode lain yang menggunakan claypot (kendi tanah liat) atau trap (perangkap) jarang digunakan karena kompleks.Dengan alat buatan Agus, yang disebut ACAH (Atraktor Cephalopoda Harian), yang dilengkapi sinyal subtronik sebagai atraktor atau penarik, Gurita akan datang sendiri dan masuk jebakan.
Alat yang memiliki bentuk pancing dengan umpan dari bahan-bahan buatan yang memiliki motif berbagai warna itu efektif menarik perhatian Gurita. ACAH dapat dioperasikan dengan mudah pada saat perahu atau kapal dalam kondisi diam. Hasil tangkapannya pun lebih banyak, tanpa merusak daging Gurita dan karang tempat hidup si tangan delapan itu.
Dari hasil inovasi tersebut, maka pada tanggal 17 Agustus 2009 di undang Presiden RI ke istana negara, untuk mendapat penghargaan dari Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Atas Karya Inovasi Alat Pancing Gurita Elektonik. Sebagai satu satu dari 101 Inovasi paling prospektif – 2009.
Noordin......
NORDIN TEWAS, SUKA CITA KAUM MUSLIMIN
DAN KESEDIHAN KAUM TERORIS KHAWARIJ
Sebagai seorang muslim yang masih berada diatas fitrahnya yang suci, sudah tentu merasakan kegembiraan ketika mendengarkan berita tentang tewasnya seseorang yang dikenal sebagai salah satu gembong teroris Khawarij di masa kini, yang gemar melakukan tindakan kejahatan dan menumpahkan darah manusia, tidak terlepas pula tertumpahnya darah-darah kaum muslimin. Namun berbeda halnya dengan seorang yang telah tertanam padanya benih-benih pemikiran khawarij, dia tentu akan merasa sedih dengan terbunuhnya salah satu dari tokoh mereka,yang selama ini dianggap “berjihad” dengan cara-caranya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menggelarinya dengan sebutan “mujahid” atau “mati syahid”.
Kaum Muslimin yang kami muliakan, termasuk diantara petunjuk didalam Islam yang diajarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam dan para sahabatnya adalah tidak menampakkan kesedihan dengan tewasnya tokoh-tokoh teroris khawarij. Bagaimana mungkin seseorang bersedih, sementara mereka dengan melakukan tindakan membabi buta tanpa mengikuti koridor syari’at Islam yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya dan melakukan berbagai tindakan teror yang menyebabkan ketakutan kaum muslimin yang hidup di dalam negeri mereka sendiri. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti seorang muslim lainnya.”
(HR.Abu Dawud (5004) dari beberapa sahabat Nabi )
Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dengan tegas menyebut mereka kaum khawarij sebagai anjing-anjing neraka. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ
“Khawarij adalah anjing-anjing neraka.”
(HR.Ibnu Majah:173, dari Ibnu Abi Aufa radhiallahu anhu)
Demikian pula halnya para sahabat Nabi –semoga Allah meridhai mereka- tidak merasa sedih dengan meninggalnya tokoh-tokoh teroris khawarij, bahkan sebaliknya dengan menampakkan perasaan gembira dan bersyukur atas meninggalnya. Diriwayatkan dari Abu Ghalib berkata: Abu Umamah –radhiallahu anhu- melihat kepala-kepala (kaum khawarij) yang dipajang ditangga masjid Damaskus, lalu Abu Umamah berkata:
كِلَابُ النَّارِ شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ خَيْرُ قَتْلَى من قَتَلُوهُ
“Anjing-anjing neraka, (mereka) seburuk-buruk yang terbunuh di bawah kolong langit,dan sebaik-baik yang terbunuh adalah yang mereka bunuh.”
Lalu Abu Umamah berkata: "Sekiranya aku tidak mendengar hadits ini (dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam) sekali, dua kali sampai tujuh kali, aku tidak akan memberitakannya kepada kalian.”
(HR.Tirmidzi:3000)
Perhatikanlah hadits ini yang menunjukkan betapa seringnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam memberi peringatan kepada umatnya dari bahaya kaum khawarij ini.
Demikian pula yang dilakukan Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu,sebagaimana yang diriwayatkan oleh Zabban bin Shabirah Al-Hanafi bahwa ia berkata ketika menceritakan keikutsertaannya dalam perang Nahrawan dalam menumpas kaum Khawarij:
“Aku termasuk yang menemukan dzu tsadyah, lalu menyampaikan berita gembira ini kepada Ali radhiallahu anhu dan aku melihatnya sujud yang menunjukkan kegembiraannya.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf: 8424)
Yang dimaksud Dzu tsadyah adalah salah seorang dari kalangan khawarij yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, Dzu tsadyah artinya yang memiliki benjolan pada bagian tangannya yang menyerupai payudara, bagian atasnya seperti puting payudara yang memiliki bulu-bulu kecil mirip kumis kucing. (Fathul Bari:12/298)
Demikianlah sikap para ulama salaf dalam menyikapi kaum teroris khawarij.Semoga Allah memelihara kita semua dari kejahatan dan makar mereka, dan semoga Allah menyelamatkan kaum muslimin dari berbagai pemikiran dan syubhat mereka yang menyesatkan manusia dari jalan Allah Azza Wajalla. Benarlah ucapan Abul ‘Aliyah rahimahullah:
إن علي لنعمتين ما أدري أيتهما أعظم أن هداني الله للإسلام ولم يجعلني حروريا
“Sesungguhnya aku merasakan dua kenikmatan yang aku tidak mengetahui manakah diantara dua kenikmatan tersebut yang terbesar: ketika Allah memberi hidayah kepadaku untuk memeluk islam, dan tidak menjadikan aku sebagai haruri (khawarij).”
(diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf:18667)
Ditulis oleh:
Abu Karimah Askari bin Jamal
28 Ramadhan 1430 H.
DAN KESEDIHAN KAUM TERORIS KHAWARIJ
Sebagai seorang muslim yang masih berada diatas fitrahnya yang suci, sudah tentu merasakan kegembiraan ketika mendengarkan berita tentang tewasnya seseorang yang dikenal sebagai salah satu gembong teroris Khawarij di masa kini, yang gemar melakukan tindakan kejahatan dan menumpahkan darah manusia, tidak terlepas pula tertumpahnya darah-darah kaum muslimin. Namun berbeda halnya dengan seorang yang telah tertanam padanya benih-benih pemikiran khawarij, dia tentu akan merasa sedih dengan terbunuhnya salah satu dari tokoh mereka,yang selama ini dianggap “berjihad” dengan cara-caranya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menggelarinya dengan sebutan “mujahid” atau “mati syahid”.
Kaum Muslimin yang kami muliakan, termasuk diantara petunjuk didalam Islam yang diajarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam dan para sahabatnya adalah tidak menampakkan kesedihan dengan tewasnya tokoh-tokoh teroris khawarij. Bagaimana mungkin seseorang bersedih, sementara mereka dengan melakukan tindakan membabi buta tanpa mengikuti koridor syari’at Islam yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya dan melakukan berbagai tindakan teror yang menyebabkan ketakutan kaum muslimin yang hidup di dalam negeri mereka sendiri. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti seorang muslim lainnya.”
(HR.Abu Dawud (5004) dari beberapa sahabat Nabi )
Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dengan tegas menyebut mereka kaum khawarij sebagai anjing-anjing neraka. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ
“Khawarij adalah anjing-anjing neraka.”
(HR.Ibnu Majah:173, dari Ibnu Abi Aufa radhiallahu anhu)
Demikian pula halnya para sahabat Nabi –semoga Allah meridhai mereka- tidak merasa sedih dengan meninggalnya tokoh-tokoh teroris khawarij, bahkan sebaliknya dengan menampakkan perasaan gembira dan bersyukur atas meninggalnya. Diriwayatkan dari Abu Ghalib berkata: Abu Umamah –radhiallahu anhu- melihat kepala-kepala (kaum khawarij) yang dipajang ditangga masjid Damaskus, lalu Abu Umamah berkata:
كِلَابُ النَّارِ شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ خَيْرُ قَتْلَى من قَتَلُوهُ
“Anjing-anjing neraka, (mereka) seburuk-buruk yang terbunuh di bawah kolong langit,dan sebaik-baik yang terbunuh adalah yang mereka bunuh.”
Lalu Abu Umamah berkata: "Sekiranya aku tidak mendengar hadits ini (dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam) sekali, dua kali sampai tujuh kali, aku tidak akan memberitakannya kepada kalian.”
(HR.Tirmidzi:3000)
Perhatikanlah hadits ini yang menunjukkan betapa seringnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam memberi peringatan kepada umatnya dari bahaya kaum khawarij ini.
Demikian pula yang dilakukan Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu,sebagaimana yang diriwayatkan oleh Zabban bin Shabirah Al-Hanafi bahwa ia berkata ketika menceritakan keikutsertaannya dalam perang Nahrawan dalam menumpas kaum Khawarij:
“Aku termasuk yang menemukan dzu tsadyah, lalu menyampaikan berita gembira ini kepada Ali radhiallahu anhu dan aku melihatnya sujud yang menunjukkan kegembiraannya.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf: 8424)
Yang dimaksud Dzu tsadyah adalah salah seorang dari kalangan khawarij yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, Dzu tsadyah artinya yang memiliki benjolan pada bagian tangannya yang menyerupai payudara, bagian atasnya seperti puting payudara yang memiliki bulu-bulu kecil mirip kumis kucing. (Fathul Bari:12/298)
Demikianlah sikap para ulama salaf dalam menyikapi kaum teroris khawarij.Semoga Allah memelihara kita semua dari kejahatan dan makar mereka, dan semoga Allah menyelamatkan kaum muslimin dari berbagai pemikiran dan syubhat mereka yang menyesatkan manusia dari jalan Allah Azza Wajalla. Benarlah ucapan Abul ‘Aliyah rahimahullah:
إن علي لنعمتين ما أدري أيتهما أعظم أن هداني الله للإسلام ولم يجعلني حروريا
“Sesungguhnya aku merasakan dua kenikmatan yang aku tidak mengetahui manakah diantara dua kenikmatan tersebut yang terbesar: ketika Allah memberi hidayah kepadaku untuk memeluk islam, dan tidak menjadikan aku sebagai haruri (khawarij).”
(diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf:18667)
Ditulis oleh:
Abu Karimah Askari bin Jamal
28 Ramadhan 1430 H.
FATWA UNTUK PARA TERORIS.....
Dalam Keputusan Majelis Hai‘ah Kibar ‘Ulama (Lembaga Ulama Besar) No.148 tanggal 12/1/1409 H yang dimuat oleh majalah Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy edisi 2 hal.181 dan majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah edisi 24 hal.384-387, dikeluarkan keputusan dari Majelis Hai‘ah Kibar ‘Ulama dan kemudian keputusan ini disetujuhi oleh para anggota majelis seperti syeikh Ibnu Bazz, syeikh Ibnu ’Utsaimin, syeikh ’Abdul ’Aziz Alu Syeikh, syeikh Sholih Al-Fauzan, syeikh Sholih Al-Luhaidan dan 12 anggota yang lainnya.
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ أَجْمَعِيْنَ ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنِ اهْتَدَى بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . وَبَعْدُ:
Majelis Hai‘ah Kibar ‘Ulama dalam sidangnya yang ke-32 yang diselenggarakan di kota Thaif dari tanggal 8/1/1409 – 12/1/1409 H, berdasarkan bukti-bukti yang kuat berkaitan dengan banyaknya aksi-aksi perusakan yang telah menelan korban yang sangat banyak dari kalangan orang-orang yang tidak berdosa dan telah rusak karenanya (sesuatu yang) banyak dari harta benda, hak-hak milik maupun fasilitas-fasilitas umum baik di negeri-negeri Islam maupun yang di negeri lain yang dilakukan oleh orang-orang yang lemah atau hilang imannya dari orang-orang yang memiliki jiwa yang sakit dan dendam. Diantaranya menghancurkan rumah-rumah dan membakarnya baik tempat-tempat umum maupun yang khusus, menghancurkan jembatan-jembatan dan terowongan-terowongan, peledakan pesawat atau membajaknya. Melihat kejadian-kejadian seperti ini, beberapa negara baik yang dekat maupun yang jauh dan karena Arab Saudi sama seperti negara-negara lainnya, memiliki kemungkinan akan diserbu oleh aksi-aksi perusakan ini. Maka Majelis Hai‘ah Kibar ‘Ulama melihat sangat pentingnya untuk menetapkan hukuman bagi pelakunya sebagai langkah preventif untuk mencegah orang-orang dari melakukan gerakan perusakan baik gerakan tersebut dilakukan terhadap tempat-tempat umum dan sarana-sarana milik pemerintah maupun ditujukan kepada yang lainnya dengan tujuan untuk merusak dan mengganggu keamanan dan ketentraman.
Majelis telah meneliti apa yang disebutkan oleh para ulama bahwa hukum-hukum syari’at secara umum mewajibkan untuk menjaga 5 perkara pokok dan memperhatikan sebab-sebab yang menjaga kelestarian dan keselamatannya, yaitu : agama, jiwa, kehormatan, akal dan harta. Dan Majelis telah memperoleh gambaran akan bahaya-bahaya yang sangat besar yang timbul akibat Jarimah (perbuatan keji) pelampauan batas terhadap Hurumat (hak-hak suci) kaum muslimin pada jiwa, kehormatan dan harta mereka dan apa-apa yang disebabkan oleh aksi-aksi perusakan ini berupa hilangnya rasa keamanan umum dalam negara, timbulnya kekacauan dan kegoncangan dan membuat takut kaum muslimin atas dirinya maupun harta bendanya.
Allah ‘Azza wa Jalla menjaga manusia ; agama, badan, jiwa, kehormatan, akal dan harta bendanya dengan disyari’atkannya hudud (hukum-hukum ganjaran) dan uqubah (hukuman balasan) yang akan menciptakan keamanan secara umum dan khusus.
Dan di antara yang menjelaskan hal tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa : barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”. (QS. Al-Ma`idah : 32).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلاَفٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara bersilangan), atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan bagi mereka di akhirat siksaan yang besar”. (QS. Al-Ma`idah : 33).
Dan penerapan hal tersebut merupakan jaminan untuk meratakan (menyebarkan) rasa aman dan ketentraman dan mencegah orang yang akan menjerumuskan dirinya dalam perbuatan dosa dan melampaui batas tehadap kaum muslimin pada jiwa-jiwa dan harta benda mereka. Dan jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat bahwasanya hukum muharabah (memerangi pembuat kerusakan) di kota-kota dan selainnya adalah sama, dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا
“Dan berupaya membuat kerusakan di muka bumi”.
Dan Allah Ta’ala berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan membinasakan tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai perusakan”. (QS. Al-Baqarah : 204-205). Dan (Allah) Ta’ala berfirman :
وَلاَ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”.(QS. Al-A’raf : 56,85).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu Ta’ala : “(Allah) telah melarang membuat kerusakan di muka bumi dan apa-apa yang membahayakannya setelah diperbaikinya karena sesungguhnya apabila perkara-perkara berjalan di atas As-Sadad (lurus dan baik) kemudian terjadi kerusakan setelah itu maka itu adalah sesuatu yang paling berbahaya atas para hamba maka (Allah) Ta’ala melarang hal tersebut”.
Dan berkata Al-Qurthuby : “(Allah) Subhanahu Wa Ta’ala melarang setiap kerusakan sedikit maupun banyak setelah perbaikan yang sedikit maupun banyak maka hal ini (berlaku)
secara umum menurut (pendapat) yang benar dari berbagai pendapat (yang ada)”.
Berdasarkan penjelasan di atas dan karena apa yang telah lalu penjelasannya melampaui perbuatan-perbuatan para perusak yang mereka itu memiliki target-target khusus dimana mereka mengejar hasilnya berupa harta benda atau kehormatan. Dan sasaran mereka (para pelaku teror itu-pen.) adalah mengganggu keamanan dan merobohkan bangunan umat dan membongkar aqidahnya dan melencengkannya dari manhaj Rabbany (manhaj yang haq).
Maka majelis dengan sepakat memutuskan (hal-hal) sebagai berikut :
Pertama : Siapa yang terbukti secara syar’i melakukan perbuatan dari perbuatan-perbuatan terorisme dan membuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan gangguan keamanan dan menganiaya jiwa-jiwa dan harta benda baik milik khusus maupun yang milik umum seperti menghancurkan rumah-rumah, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah atau rumah sakit, pabrik-pabrik, jembatan-jembatan, gudang-gudang senjata, penampungan-penampungan air, fasilitas-fasilitas umum untuk baitul mal seperti saluran-saluran/pipa-pipa minyak dan menghancurkan pesawat atau membajaknya dan yang semacamnya, maka hukumannya adalah dibunuh berdasarkan kandungan ayat-ayat di atas bahwasanya perusakan di muka bumi yang seperti ini mengharuskan penumpahan darah si perusak. Dan karena bahaya dan kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan perusakan adalah lebih besar dari bahaya dan kerusakan pembegal jalanan yang melampaui batas kepada seseorang lalu membunuh dan merampas hartanya,maka Allah telah menetapkan hukumannya dalam apa yang tersebut dalam ayat Al-Harabah (QS. Al-Ma`idah : 33 di atas-pen.).
Kedua : Bahwasanya sebelum menjatuhkan hukuman sebagaimana point di atas (yaitu dibunuh-pen), harus menyempurnakan Al-Ijra`at (urusan, administrasi) pembuktian yang lazim di Pengadilan-Pengadilan syari’at, Hai‘ah At-Tamyiz dan Mahkamah Agung dalam rangka bara`atun lidzdzimmah (pertanggungjawaban di hadapan Allah) dan kehati-hatian terhadap nyawa. Dan untuk menunjukkan bahwasanya negeri ini (Arab Saudi-pen.) terikat dengan segala ketentuan syari’at untuk membuktikan kejahatan dan menetapkan hukumannya.
Ketiga : Majelis memandang perlunya menyebarkan hukuman ini melalui media massa.
Dan salam dan shalawat semoga senantiasa terlimpahkan kepada hamba dan Rasul-Nya, Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga dan shahabatnya.
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ أَجْمَعِيْنَ ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنِ اهْتَدَى بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . وَبَعْدُ:
Majelis Hai‘ah Kibar ‘Ulama dalam sidangnya yang ke-32 yang diselenggarakan di kota Thaif dari tanggal 8/1/1409 – 12/1/1409 H, berdasarkan bukti-bukti yang kuat berkaitan dengan banyaknya aksi-aksi perusakan yang telah menelan korban yang sangat banyak dari kalangan orang-orang yang tidak berdosa dan telah rusak karenanya (sesuatu yang) banyak dari harta benda, hak-hak milik maupun fasilitas-fasilitas umum baik di negeri-negeri Islam maupun yang di negeri lain yang dilakukan oleh orang-orang yang lemah atau hilang imannya dari orang-orang yang memiliki jiwa yang sakit dan dendam. Diantaranya menghancurkan rumah-rumah dan membakarnya baik tempat-tempat umum maupun yang khusus, menghancurkan jembatan-jembatan dan terowongan-terowongan, peledakan pesawat atau membajaknya. Melihat kejadian-kejadian seperti ini, beberapa negara baik yang dekat maupun yang jauh dan karena Arab Saudi sama seperti negara-negara lainnya, memiliki kemungkinan akan diserbu oleh aksi-aksi perusakan ini. Maka Majelis Hai‘ah Kibar ‘Ulama melihat sangat pentingnya untuk menetapkan hukuman bagi pelakunya sebagai langkah preventif untuk mencegah orang-orang dari melakukan gerakan perusakan baik gerakan tersebut dilakukan terhadap tempat-tempat umum dan sarana-sarana milik pemerintah maupun ditujukan kepada yang lainnya dengan tujuan untuk merusak dan mengganggu keamanan dan ketentraman.
Majelis telah meneliti apa yang disebutkan oleh para ulama bahwa hukum-hukum syari’at secara umum mewajibkan untuk menjaga 5 perkara pokok dan memperhatikan sebab-sebab yang menjaga kelestarian dan keselamatannya, yaitu : agama, jiwa, kehormatan, akal dan harta. Dan Majelis telah memperoleh gambaran akan bahaya-bahaya yang sangat besar yang timbul akibat Jarimah (perbuatan keji) pelampauan batas terhadap Hurumat (hak-hak suci) kaum muslimin pada jiwa, kehormatan dan harta mereka dan apa-apa yang disebabkan oleh aksi-aksi perusakan ini berupa hilangnya rasa keamanan umum dalam negara, timbulnya kekacauan dan kegoncangan dan membuat takut kaum muslimin atas dirinya maupun harta bendanya.
Allah ‘Azza wa Jalla menjaga manusia ; agama, badan, jiwa, kehormatan, akal dan harta bendanya dengan disyari’atkannya hudud (hukum-hukum ganjaran) dan uqubah (hukuman balasan) yang akan menciptakan keamanan secara umum dan khusus.
Dan di antara yang menjelaskan hal tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa : barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”. (QS. Al-Ma`idah : 32).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلاَفٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara bersilangan), atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan bagi mereka di akhirat siksaan yang besar”. (QS. Al-Ma`idah : 33).
Dan penerapan hal tersebut merupakan jaminan untuk meratakan (menyebarkan) rasa aman dan ketentraman dan mencegah orang yang akan menjerumuskan dirinya dalam perbuatan dosa dan melampaui batas tehadap kaum muslimin pada jiwa-jiwa dan harta benda mereka. Dan jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat bahwasanya hukum muharabah (memerangi pembuat kerusakan) di kota-kota dan selainnya adalah sama, dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا
“Dan berupaya membuat kerusakan di muka bumi”.
Dan Allah Ta’ala berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan membinasakan tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai perusakan”. (QS. Al-Baqarah : 204-205). Dan (Allah) Ta’ala berfirman :
وَلاَ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”.(QS. Al-A’raf : 56,85).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu Ta’ala : “(Allah) telah melarang membuat kerusakan di muka bumi dan apa-apa yang membahayakannya setelah diperbaikinya karena sesungguhnya apabila perkara-perkara berjalan di atas As-Sadad (lurus dan baik) kemudian terjadi kerusakan setelah itu maka itu adalah sesuatu yang paling berbahaya atas para hamba maka (Allah) Ta’ala melarang hal tersebut”.
Dan berkata Al-Qurthuby : “(Allah) Subhanahu Wa Ta’ala melarang setiap kerusakan sedikit maupun banyak setelah perbaikan yang sedikit maupun banyak maka hal ini (berlaku)
secara umum menurut (pendapat) yang benar dari berbagai pendapat (yang ada)”.
Berdasarkan penjelasan di atas dan karena apa yang telah lalu penjelasannya melampaui perbuatan-perbuatan para perusak yang mereka itu memiliki target-target khusus dimana mereka mengejar hasilnya berupa harta benda atau kehormatan. Dan sasaran mereka (para pelaku teror itu-pen.) adalah mengganggu keamanan dan merobohkan bangunan umat dan membongkar aqidahnya dan melencengkannya dari manhaj Rabbany (manhaj yang haq).
Maka majelis dengan sepakat memutuskan (hal-hal) sebagai berikut :
Pertama : Siapa yang terbukti secara syar’i melakukan perbuatan dari perbuatan-perbuatan terorisme dan membuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan gangguan keamanan dan menganiaya jiwa-jiwa dan harta benda baik milik khusus maupun yang milik umum seperti menghancurkan rumah-rumah, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah atau rumah sakit, pabrik-pabrik, jembatan-jembatan, gudang-gudang senjata, penampungan-penampungan air, fasilitas-fasilitas umum untuk baitul mal seperti saluran-saluran/pipa-pipa minyak dan menghancurkan pesawat atau membajaknya dan yang semacamnya, maka hukumannya adalah dibunuh berdasarkan kandungan ayat-ayat di atas bahwasanya perusakan di muka bumi yang seperti ini mengharuskan penumpahan darah si perusak. Dan karena bahaya dan kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan perusakan adalah lebih besar dari bahaya dan kerusakan pembegal jalanan yang melampaui batas kepada seseorang lalu membunuh dan merampas hartanya,maka Allah telah menetapkan hukumannya dalam apa yang tersebut dalam ayat Al-Harabah (QS. Al-Ma`idah : 33 di atas-pen.).
Kedua : Bahwasanya sebelum menjatuhkan hukuman sebagaimana point di atas (yaitu dibunuh-pen), harus menyempurnakan Al-Ijra`at (urusan, administrasi) pembuktian yang lazim di Pengadilan-Pengadilan syari’at, Hai‘ah At-Tamyiz dan Mahkamah Agung dalam rangka bara`atun lidzdzimmah (pertanggungjawaban di hadapan Allah) dan kehati-hatian terhadap nyawa. Dan untuk menunjukkan bahwasanya negeri ini (Arab Saudi-pen.) terikat dengan segala ketentuan syari’at untuk membuktikan kejahatan dan menetapkan hukumannya.
Ketiga : Majelis memandang perlunya menyebarkan hukuman ini melalui media massa.
Dan salam dan shalawat semoga senantiasa terlimpahkan kepada hamba dan Rasul-Nya, Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga dan shahabatnya.
Langganan:
Postingan (Atom)