jam

Jumat, 08 Mei 2009

Diplomasi untuk Cegah Perubahan Iklim

Pemerintah diminta menempuh tiga agenda diplomasi untuk mencegah dampak buruk perubahan iklim secara ekstrim dan menyelamatkan para nelayan. Jika tidak ditempuh, iklim nusantara bakal makin buruk dan makin menyulitkan masyarakat termasuk nelayan.

Ketiga agenda diplomasi tersebut, di antaranya mengungkap akar persoalan kelautan nasional dan global dengan berlandaskan azas keberlanjutan lingkungan serta pelindungan hal-hak tradisional. Mengajak tindakan kolektif masyarakat dunia untuk memberikan sanksi kolektif pada aktor penyebab krisis laut dan iklim, dengan mengedepankan nilai kesetaraan dan keadilan di depan hukum.


“Yang ketiga adalah membangun kesadaran kolektif guna memberikan perlindungan lebih terhadap hak-hak masyarakat nelayan tradisional,” ujar M Riza Damanik, Sekretaris Jenderal KIARA mengawali perbincangan disela-sela peringatan Hari Bumi 2009, di Jakarta, Selasa (22/4).

Menurut dia, krisis ekologi yang bermuara pada perubahan iklim lebih disebabkan derajat eksploitasi berlebih dari negara-negara industri seperti Jepang, Amerika Serikat (AS), Australia, dan sebagainya. Untuk itu, pemerintah harus lebih sigap mengantisipasi. Salah satunya melalui tiga agenda diplomasi tadi.

“Negara-negara yang saya katakan itu bertindak dengan tidak mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan hidup dan kelangsungan hidup umat manusia. Pemerintah harus berhasil berdiplomasi menyelamtakan laut dan nelayan tradisional dalam Konferensi Kelautan Dunia (KKD) atau World Ocean Conference di Manado 11-15 Mei mendatang,” kata.

Selain ketiga agenda tersebut, juga cukup penting bagi kedaulatan dan kemandirian ekonomi bangsa. Sebab sudah saatnya Indonesia mempraktikkan pesan-pesan keadilan ekonomi sebagaimana diasaskan dalam Pasal 33 (3) UUD 1945. Dan akar persoalan kelautan di dunia salah satunya praktik pertambangan di kawasan pesisir dan pembuangan limbah tambang di laut. Kegiatan ektraksi di darat pun cukup menunjang terjadinya krisis ekologi di laut Indonesia.

“Menurut data yang saya tahu, sekitar 30%-50% merupakan total potensi perikanan tangkap nasional yang diperdagangkan di pasar global secara ilegal setiap tahunnya. Bahkan 90% produksi udang nasional bukan untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri. Hal inilah salah satu yang mesti diperhatikan pemerintah agar bisa menyelamatkan iklim dan nasib nelayan. Sebab, fakta terkini menegaskan dampak perubahan iklim semakin nyata dan mengancam keberadaan nelayan tradisional sebagai masyarakat yang rentan menerima,” tandasnya.

Siti Maimunah, Kordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menambahkan, pemerintah harus memperhatikan kegiatan ekstraksi pertambangan seperti logam, batubara, dan migas. Industri pertambangan juga membuang limbah ke laut dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut yang mematikan hak kelola nelayan tradisional. O dra

Tidak ada komentar: