Para peneliti dari Pusat Penelitian Kimia LIPI berhasil membuat minyak kelapa dengan teknik fermentasi ragi tempe. Selain bisa sebagai minyak goreng yang lebih sehat dibanding minyak goreng dari kelapa sawit, minyak ini juga baik untuk bahan baku industri kosmetik.
Indonesia yang beriklim tropis dan berbentuk kepulauan memang kaya dengan berbagai alttumbuhan khasnya. Salah satunya adalah pohon kelapa. Bahkan, Indonesia memiliki kebun kelapa terluas di dunia, mencapai 3.745.000 hektare. Kelapa pun menjadi komoditas ekspor yang menyumbang devisa bagi Indonesia, kendati untuk ekspor minyak kelapa Indonesia porsinya hanya sekitar 20 persen, sedangkan 80 persen sisanya untuk konsumsi domestik. Hal ini berkebalikan dengan Filipina yang ekspor minyak kelapanya sebesar 80 persen dan konsumsi domestik hanya 20 persen.
Memang sungguh disayangkan potensi kelapa yang sangat besar ini masih dianggap sebagai komoditas “nomor dua” jika dibandingkan dengan sawit atau minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Oleh karena itu, perlu dikembangkan lagi inovasi produk-produk berbasiskan kelapa yang memiliki nilai tambah. Salah satunya adalah minyak kelapa “organik” yang dikembangkan oleh tim yang terdiri dari Tami Indiyanti, Leonardus Broto S. Kardono, Lindajati Tanuwidjaja, dan Roy Heru Trisnamurti. Memang banyak produk serupa di pasaran, tetapi produk besutan tim empat sekawan ini memiliki perbedaan sekaligus keunggulan, yaitu mampu menciptakan proses pembuatan minyak kelapa berbasiskan fermentasi dengan ragi tempe.
Fermentasi dengan Ragi Tempe
Para peneliti dari Pusat Penelitian Kimia LIPI itu berhasil melakukan inovasi proses pembuatan minyak kelapa. Empat sekawan itu mampu menciptakan proses bioproduksi dengan memanfaatkan ragi (inokulum) tempe untuk proses pembuatan minyak kelapa. Kalau selama ini proses pembuatan minyak kelapa (virgin coconut oil/VCO) dilakukan dengan cara fermentasi, maka, tak berbeda jauh, minyak kelapa “organik” ini dibuat dengan teknik fermentasi ragi tempe.
Mengapa ragi tempe? “Kami sudah melakukan percobaan dengan berbagai macam ragi ataupun inokulum. Namun, kami berkesimpulan memang ragi tempe sebagai perombak santan yang lebih aman sehingga bisa menghasilkan minyak kelapa yang sangat baik,” jelas Leonardus Broto S. Kardono. Tidak hanya itu kelebihannya, ragi tempe ini juga mudah ditemukan di pasaran dengan harga yang terjangkau sehingga bisa diproduksi oleh industri UMKM.
Cara kerjanya cukup sederhana dan mudah. Langkah awalnya adalah memilih kelapa tua berusia 10–12 bulan, lalu dibuatlah santan. Kemudian santan tersebut ditaburi dengan inokulum tempe tanpa diaduk. Lalu, santan diinkubasi selama kurang lebih 16 jam dalam suhu kamar (30°–37°). Pada akhir proses fermentasi ini akan didapat tiga lapisan terpisah hasil fermentasi yang terdiri dari air, minyak kelapa “organik” atau VCO, dan lapisan solid protein. Proses pemisahannya pun terhitung mudah karena di dalam boks plastik terdapat empat buah keran yang berfungsi untuk memisahkan lapisan air dengan VCO tersebut. Perhitungannya, untuk satu boks plastik santan kelapa ukuran 100–120 liter diperlukan 200 gram ragi tempe dan akan menghasilkan 8–10 liter VCO.
Manfaat
Minyak kelapa hasil fermentasi ragi tempe itu bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik sebagai altbahan baku industri kosmetik maupun minyak goreng. Hanya saja, proses pembuatan minyak kelapa hasil fermentasi ragi tempe untuk bahan baku kosmetik dan untuk minyak goreng berbeda. Untuk minyak goreng, santan kelapa harus diinkubasi selama 24 jam lagi hingga endapannya sesuai dengan yang disyaratkan. “Minyak goreng berbahan baku kelapa jauh lebih baik bagi kesehatan bila dibandingkan dengan minyak sawit,” ungkap pria yang akrab dipanggil Broto ini. Minyak kelapa memiliki asam lemak jenuh menengah (medium chain fatty acid/MCFA) dengan rantai pendek yakni 12–16 rantai karbon. Sifat dari MCFA ini mudah diserap sampai mitokondria dan berefek pada peningkatan metabolisme tubuh. Selain itu, kelebihan dari rantai karbon pendek ini adalah memiliki sifat antimikrobial dan menunjang sistem kekebalan tubuh sehingga dapat menjaga tubuh dari virus, jamur, dan bakteri patogen lainnya. Rantai karbon pendek ini mampu menguraikan karbon menjadi energi sehingga tidak disimpan oleh tubuh dalam bentuk lemak ataupun kolesterol. Berbeda halnya dengan minyak kelapa sawit ataupun minyak dari lemak hewani yang memiliki struktur rantai karbon yang lebih panjang. “Itulah yang membedakan antara minyak sawit dengan minyak kelapa. Tidak heran mengapa minyak kelapa lebih menyehatkan dibanding minyak sawit,” terang Broto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar