Festival Budaya Teluk Humbolday di Dengan Lomba Menu Masak Ikan
Dalam rangka memperingati 64 Kemerdekaan RI dan Festival budaya teluk Humbold Humboldbay Cultur Festival) yang di sponsori oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua merangkaikan kegiatan festival tersebut dengan lomba menu masak ikan yang di ikuti oleh sejumlah cief-cief terkemuka di Kota Jayapura.
Lomba menu masak yang serba ikan itu merupakan program tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua dalam rangka kampanye gemar makan ikan bagi masyarakat Provinsi Papua.
Lomba yang di ikuti oleh 40 kelompok chief tersebut di sponsori oleh : ICA (Indonesia Cief Association), Pitza Huut, Indomie, SwissBell Hotel, Yasmin Hotel, Yudisha Hotel, Permata Hotel, Salon Sari, Dinas Periwisata Kota Jayapura, terbentuk dalam dua ketegori antara lain Lomba Masak (Live Cooking) dan Penataan meja (FoodRijtsafel) berlangsung di Taman Mesran Kota Jayapura Sabtu (8/8) Kemarin.
Dalam kesempatan tersebut turut hadir Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua yang diwakili oleh Kepala Bidang Usaha Perikanan dan Kelautan Ir. Sihar Simatupang. Dalam kesempatan yang sama Ir. Sihar Simatupang mengatakan dengan makan ikan bisa meningkatkan kesehatan, kecerdasan dan ketahanan tubuh yang lebih baik.
Tidak hanya itu kata dia, salah satu untuk meningkatkan kecerdasan otak sesuai hasil penelitian, yaitu dengan memakan ikan. Sehingga dengan adanya lomba masak serba ikan ini diharapkan bisa menjadi motivasi agar masyarakat Papua menjadi gemar makan ikan.
Di Jelaskan bahwa, Kegiatan Gemar Ikan (Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan) dimaksudkan untuk meningkatkan konsumsi gizi di masyarakat. Keuntungan Makan Ikan adalah terhindar dari serangan penyakit penyakit degeranatif seperti jantung koroner, tekanan darah tinggi, stroke dan kanker, akibat kandungan gizinya yang sangat berguna bagi manusia.
Taklupa pula, Kandungan protein pada ikan sangat baik karena ditunjang dengan dengan asam amino dan kadar lisin yang tinggi yang berfungsi untuk meningkatkan ketahanan tubuh.
Ikan laut kaya akan lemak, vitamin dan mineral, sedangkan ikan tawar banyak mengandung karbohidrat. Ikan laut memiliki kandungan yodium tinggi yang bisa mencapai 830 mikro gram per kilogram. ikan laut mengandung omega-3 yang bermanfaat menurunkan kadar kolestrol dalam darah.
” Jadi Asam lemak omega-3 dan omega-6 pada ikan dapat meningkatkan kecerdasan anak. Asam lemak ini juga sangat membantu bagi ibu hamil yang dapat membentuk otot janin, ” Imbuhnya.
Makanya, disarankan ibu hamil banyak mengkonsumsi ikan. Minyak hati ikan laut juga menjadi sumber vitamin A dan D.
Sekali lagi, Dengan adanya Kampanye Gemar Ikan dan Lomba Masak ikan, diharapkan dapat memotivasi masyarakat Papua di manapun berada untuk mengkonsumsi ikan dan ibu-ibu dapat lebih menyukai ikan sebagai menu dalam keluarga dengan berbagai macam olahan
jam

Senin, 10 Agustus 2009
Sabtu, 08 Agustus 2009
ghuluw...
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah golongan yang selamat. Di dalam segala hal, mereka selalu berada pada sikap yang dilandaskan oleh hujjah dan dalil. Berada di atas manhaj wasathiyyah (pertengahan). Tidak berlebihan, tidak pula menggampangkan.
Merekalah yang dimaksud oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah:143)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mengikuti jalan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain). Karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am:153)
Mengapa Ahlus Sunnah yang berhak menyandang kemuliaan ini? Karena mereka adalah golongan yang selalu berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah dengan penuh ilmu, bashirah, fiqih, dan hikmah. Oleh karena itu, mereka benar-benar jauh dari sikap ghuluw, dalam rangka mengamalkan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap sederhana di dalam beribadah.
Dalil tentang Wajibnya Beribadah Tanpa Disertai Ghuluw
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu di dalam Shahihnya membuat sebuah bab dengan judul Dibencinya beribadah secara berlebihan. Kemudian beliau membawakan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ، قَالَ: مَنْ هَذِهِ؟ قَالَتْ: فُلَانَةُ تَذْكُرُ مِنْ صَلَاتِهَا. قَالَ: مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ فَوَاللهِ لاَ يَملُّ الله حَتَّى تَملُّوا. وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْه صَاحِبُهُ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari masuk menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha. Pada waktu itu ada seorang wanita di sisinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah wanita itu?” Aisyah menjawab, “Fulanah, dia sedang menceritakan tentang (lamanya) shalat malamnya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing, “Cegahlah dia, hendaknya kalian beramal sesuai dengan kemampuan. Demi Allah, Allah tidak akan jemu sampai kalian sendiri yang merasa jemu.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan juga bahwa ibadah yang paling beliau senangi adalah ibadah yang selalu dijaga oleh pelakunya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Tentang alasan dibencinya beribadah secara berlebihan, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menukil pernyataan Ibnu Bathal rahimahullahu sebagaimana dalam Fathul Bari, “Hal tersebut dibenci karena dikhawatirkan munculnya sikap jenuh sehingga malah meninggalkan ibadah tersebut secara keseluruhan.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu ketika menjelaskan hadits ini berkata, “Di dalam hadits ini pun terdapat penjelasan bahwa sudah seyogianya seorang hamba tidak memaksakan diri dalam ketaatan dan banyaknya amal. Karena hal tersebut akan menimbulkan kejenuhan yang justru berakibat ia meninggalkan ibadah tersebut. Keberadaan dirinya yang selalu menjaga amalan walaupun sedikit tentu lebih afdhal.
Telah sampai berita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma berkeinginan, “Sungguh aku akan selalu berpuasa setiap hari dan melaksanakan qiyaamullail selama aku masih hidup.” Beliau mengucapkan hal ini karena benar-benar mencintai kebaikan. Namun, setelah berita ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau ditanya, “Apakah engkau benar-benar mengucapkan hal tersebut?” Abdullah bin ‘Amr menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Nabi membimbing, “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu melaksanakan hal tersebut.” Lantas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk berpuasa tiga hari setiap bulannya. Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya saya mampu untuk berpuasa lebih dari itu.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengarahkan, “Berpuasalah sehari dan berbukalah pada hari berikutnya.” Abdullah radhiyallahu ‘anhu masih saja mengatakan, “Sesungguhnya saya mampu untuk berpuasa lebih dari itu.” Pada akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada puasa yang lebih afdhal dari ini. Inilah puasa Nabi Dawud.” Pada masa tuanya, Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma merasakan betapa beratnya berpuasa sehari dan berbuka pada hari berikutnya. Lalu ia pun berkata, “Duhai kiranya aku mau menerima keringanan yang diberikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Sehingga, Abdullah pun berpuasa selama lima belas hari secara berturut-turut dan berbuka selama limabelas hari berturut-turut juga.
Di dalam kisah ini terdapat dalil bahwa semestinya seorang hamba beribadah dengan cara yang sederhana. Tidak ghuluw dan tidak pula memandang remeh. Sehingga dia mampu melaksanakannya secara kontinyu. Dan, amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang pelaksanaannya kontinu walaupun sedikit. Wallahu Al-Muwaffiq.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Dalil berikutnya yang memerintahkan kita untuk beribadah tanpa disertai sikap ghuluw adalah sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim rahimahumallah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
Tiga orang sahabat datang ke rumah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ingin menanyakan tentang ibadah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mereka memperoleh kabar tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka merasa seakan-akan ibadah Nabi sedikit. Mereka menyatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi? Padahal Nabi telah mendapatkan ampunan untuk dosa yang telah lewat dan yang akan terjadi.”
Akhirnya salah seorang di antara mereka berkata, “Adapun saya, saya akan menegakkan shalat malam selamanya (tidak akan tidur malam).”
Yang kedua berkata lain, “Sedangkan saya akan berpuasa selamanya dan tidak ingin berbuka walau sehari.”
Adapun sahabat terakhir bertekad, “Saya akan menjauhi wanita dan tidak ingin menikah selamanya.”
Kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui mereka dan bertanya:
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ، إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Apakah benar kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah manusia yang paling takut kepada Allah dibandingkan kalian. Aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah dibandingkan kalian. Akan tetapi, aku berpuasa dan tetap berbuka. Aku shalat malam dan terkadang juga tidur. Aku pun menikahi kaum wanita. Maka, barangsiapa membenci sunnahku, dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam syarah hadits menyatakan, “(Alasan kedatangan ketiga sahabat tersebut) karena amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang zhahir diketahui oleh kaum muslimin secara umum. Seperti amalan beliau di dalam masjid, di pasar, atau yang dilakukan beliau di tengah masyarakat bersama para sahabat. Jenis amalan seperti ini zhahir dan telah diketahui oleh kebanyakan sahabat di kota Madinah. Ada pula amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sifatnya sirr (tersembunyi). Sehingga hanya keluarga beliau yang mengetahuinya. Demikian pula diketahui oleh sebagian sahabat yang melayani kebutuhan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, dan lain-lain g. Maka, datanglah ketiga sahabat tersebut ke rumah istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan ibadah beliau ketika berada di dalam rumah.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Dikarenakan para sahabat memiliki semangat tinggi untuk berbuat kebajikan, maka mereka menganggap kecil ibadah yang telah mereka lakukan selama ini. Sehingga masing-masing bertekad untuk memilih satu bentuk ibadah. Salah seorang dari mereka bertekad untuk berpuasa setiap hari, yang kedua hendak qiyamul lail sepanjang malam, adapun yang ketiga hendak menjauhi wanita dan tidak akan menikah.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata, “Sederhana di dalam menjalankan ibadah merupakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya tidak seharusnya engkau, wahai hamba, memberat-beratkan diri. Berjalanlah dengan perlahan sebagaimana pembahasan yang lalu.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Dalil berikutnya tentang wajibnya beribadah tanpa sikap ghuluw adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim.
دَخَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْمَسْجِدَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَّتَيْنِ فَقَالَ: مَا هَذَا الْحَبْلُ؟ قَالُوا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ. فَقَالَ النَّبِيُّ n: لاَ، حَلُّوهُ لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ
Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid. Beliau mendapatkan seutas tali terikat di antara dua tiang masjid. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Tali untuk apa ini?” Para sahabat menjawab, “Tali ini milik Zainab. Apabila dia merasa capek shalat, dia pun bergantung dengan tali.” Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Lepaskan tali ini, hendaknya siapapun di antara kalian menegakkan shalat dalam keadaan giat. Apabila dia merasa capek, hendaknya dia tidur.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan hadits ini, “Di dalam hadits ini terdapat dalil tentang tidak semestinya seorang hamba terlalu berdalam dan berlebihan di dalam ibadah. Ia memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu ia lakukan. Seharusnya ia menegakkan shalat ketika dalam keadaan semangat. Apabila ia merasa lelah hendaknya ia berhenti dan tidur. Karena, seseorang yang shalat dalam keadaan lelah, konsentrasinya akan buyar, jenuh, dan jemu. Bahkan mungkin saja dia akan membenci ibadah tersebut. Mungkin juga dia ingin mendoakan kebaikan untuk dirinya, ternyata malah ia mendoakan kejelekan untuk dirinya sendiri.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kita untuk beristirahat dan tidur apabila rasa kantuk benar-benar mengganggu. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلىَّ وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian merasakan kantuk sementara ia sedang shalat, hendaknya dia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Karena, mungkin saja ada di antara kalian yang shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak menyadari, inginnya dia memohon maghfirah. Ternyata malah mendoakan celaka untuk dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikian juga persaksian para sahabat tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat beliau benar-benar sederhana, tidak terlalu dan tidak selalu panjang, tidak pula terlalu pendek. Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan sebuah hadits di dalam Shahihnya dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita:
كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَكَانَتْ صَلاَتُهُ قَصْدًا وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا
“Aku selalu melaksanakan shalat bersama Rasulullah, dan shalat beliau selalu sederhana (tidak terlalu panjang juga tidak terlalu singkat), khutbah beliau pun demikian.” (HR. Muslim)
Saudaraku, hafizhakallah. Sungguh para pendahulu kita dari generasi salaf telah menuntun kita untuk menjauhi sikap ghuluw di dalam beribadah. Di dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 1968) disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan Salman Al-Farisi dengan Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhuma. Suatu hari Salman datang berkunjung ke rumah Abu Ad-Darda’. Ketika itu Salman melihat Ummu Ad-Darda’, istri Abu Ad-Darda’, menggunakan pakaian sederhana sekali dan tidak berhias.1
Lalu Salman bertanya, “Ada masalah apa?” Ia menjawab, “Saudaramu, Abu Ad-Darda’, dia tidak lagi membutuhkan dunia.”
Kemudian datanglah Abu Ad-Darda’ untuk membuatkan makanan dan mempersilakan Salman untuk menyantap hidangan. Sementara Abu Ad-Darda’ tidak menyentuh hidangan tersebut karena sedang berpuasa. Salman berkata, “Saya tidak akan menyantap makanan ini kecuali engkau harus menemaniku makan.” Abu Ad-Darda’ kemudian menyantap makanan tersebut. Di saat tiba malam hari, Abu Ad-Darda’ bangkit untuk melaksanakan qiyamullail. Salman memberikan nasihat agar Abu Ad-Darda’ istirahat dan tidur. Abu Ad-Darda’ pun menurut dan segera tidur. Di pertengahan malam, Abu Darda ingin melaksanakan qiyamullail. Salman masih memberikan nasihat yang sama, agar Abu Ad-Darda’ istirahat dan tidur. Setelah masuk akhir malam, Salman pun membangunkan Abu Ad-Darda’, “Bangunlah sekarang.” Mereka berdua lalu menegakkan qiyamullail.
Setelah itu Salman menyampaikan:
إِنّ لِرَبَِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak darimu, dirimu pun memiliki hak juga. Demikian pula keluargamu memiliki hak yang harus engkau tunaikan. Maka, tunaikanlah hak masing-masing.”
Setelah itu, ia menemui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan kisahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salman memang benar.”
Betapa rahmatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segenap hamba-Nya yang telah menjadikan syariat ini mudah. Jangan nodai keagungan rahmat-Nya dengan sikap-sikap ghuluw. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah:185)
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berwudhu dan mandi karena janabah. Demikian pula bertayammum ketika sakit atau tidak mendapatkan air. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (Al-Ma’idah: 6)
Demikian pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan hal yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَجَاهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj:78)
Penutup
Kita menutup pembahasan ini dengan menukilkan sebuah wasiat yang telah dititipkan oleh Salafunaa Ash-Shalih agar kita meraih kemuliaan di sisi Allah Rabbul ‘Alamin.
Al-Imam Qatadah bin Di’amah As-Sadusi rahimahullahu berpesan, “Waspadalah dan berhati-hatilah dari sikap memberat-beratkan diri, berlebih-lebihan, dan ghuluw serta merasa ujub sendiri. Hendaknya kalian bersikap tawadhu’, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meninggikan derajat kalian.” (Siyar A’lam An-Nubala’)
1 Hal ini terjadi sebelum turunnya ayat hijab.
Merekalah yang dimaksud oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah:143)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mengikuti jalan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain). Karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am:153)
Mengapa Ahlus Sunnah yang berhak menyandang kemuliaan ini? Karena mereka adalah golongan yang selalu berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah dengan penuh ilmu, bashirah, fiqih, dan hikmah. Oleh karena itu, mereka benar-benar jauh dari sikap ghuluw, dalam rangka mengamalkan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap sederhana di dalam beribadah.
Dalil tentang Wajibnya Beribadah Tanpa Disertai Ghuluw
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu di dalam Shahihnya membuat sebuah bab dengan judul Dibencinya beribadah secara berlebihan. Kemudian beliau membawakan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ، قَالَ: مَنْ هَذِهِ؟ قَالَتْ: فُلَانَةُ تَذْكُرُ مِنْ صَلَاتِهَا. قَالَ: مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ فَوَاللهِ لاَ يَملُّ الله حَتَّى تَملُّوا. وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْه صَاحِبُهُ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari masuk menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha. Pada waktu itu ada seorang wanita di sisinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah wanita itu?” Aisyah menjawab, “Fulanah, dia sedang menceritakan tentang (lamanya) shalat malamnya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing, “Cegahlah dia, hendaknya kalian beramal sesuai dengan kemampuan. Demi Allah, Allah tidak akan jemu sampai kalian sendiri yang merasa jemu.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan juga bahwa ibadah yang paling beliau senangi adalah ibadah yang selalu dijaga oleh pelakunya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Tentang alasan dibencinya beribadah secara berlebihan, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menukil pernyataan Ibnu Bathal rahimahullahu sebagaimana dalam Fathul Bari, “Hal tersebut dibenci karena dikhawatirkan munculnya sikap jenuh sehingga malah meninggalkan ibadah tersebut secara keseluruhan.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu ketika menjelaskan hadits ini berkata, “Di dalam hadits ini pun terdapat penjelasan bahwa sudah seyogianya seorang hamba tidak memaksakan diri dalam ketaatan dan banyaknya amal. Karena hal tersebut akan menimbulkan kejenuhan yang justru berakibat ia meninggalkan ibadah tersebut. Keberadaan dirinya yang selalu menjaga amalan walaupun sedikit tentu lebih afdhal.
Telah sampai berita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma berkeinginan, “Sungguh aku akan selalu berpuasa setiap hari dan melaksanakan qiyaamullail selama aku masih hidup.” Beliau mengucapkan hal ini karena benar-benar mencintai kebaikan. Namun, setelah berita ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau ditanya, “Apakah engkau benar-benar mengucapkan hal tersebut?” Abdullah bin ‘Amr menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Nabi membimbing, “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu melaksanakan hal tersebut.” Lantas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk berpuasa tiga hari setiap bulannya. Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya saya mampu untuk berpuasa lebih dari itu.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengarahkan, “Berpuasalah sehari dan berbukalah pada hari berikutnya.” Abdullah radhiyallahu ‘anhu masih saja mengatakan, “Sesungguhnya saya mampu untuk berpuasa lebih dari itu.” Pada akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada puasa yang lebih afdhal dari ini. Inilah puasa Nabi Dawud.” Pada masa tuanya, Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma merasakan betapa beratnya berpuasa sehari dan berbuka pada hari berikutnya. Lalu ia pun berkata, “Duhai kiranya aku mau menerima keringanan yang diberikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Sehingga, Abdullah pun berpuasa selama lima belas hari secara berturut-turut dan berbuka selama limabelas hari berturut-turut juga.
Di dalam kisah ini terdapat dalil bahwa semestinya seorang hamba beribadah dengan cara yang sederhana. Tidak ghuluw dan tidak pula memandang remeh. Sehingga dia mampu melaksanakannya secara kontinyu. Dan, amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang pelaksanaannya kontinu walaupun sedikit. Wallahu Al-Muwaffiq.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Dalil berikutnya yang memerintahkan kita untuk beribadah tanpa disertai sikap ghuluw adalah sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim rahimahumallah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
Tiga orang sahabat datang ke rumah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ingin menanyakan tentang ibadah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mereka memperoleh kabar tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka merasa seakan-akan ibadah Nabi sedikit. Mereka menyatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi? Padahal Nabi telah mendapatkan ampunan untuk dosa yang telah lewat dan yang akan terjadi.”
Akhirnya salah seorang di antara mereka berkata, “Adapun saya, saya akan menegakkan shalat malam selamanya (tidak akan tidur malam).”
Yang kedua berkata lain, “Sedangkan saya akan berpuasa selamanya dan tidak ingin berbuka walau sehari.”
Adapun sahabat terakhir bertekad, “Saya akan menjauhi wanita dan tidak ingin menikah selamanya.”
Kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui mereka dan bertanya:
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ، إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Apakah benar kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah manusia yang paling takut kepada Allah dibandingkan kalian. Aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah dibandingkan kalian. Akan tetapi, aku berpuasa dan tetap berbuka. Aku shalat malam dan terkadang juga tidur. Aku pun menikahi kaum wanita. Maka, barangsiapa membenci sunnahku, dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam syarah hadits menyatakan, “(Alasan kedatangan ketiga sahabat tersebut) karena amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang zhahir diketahui oleh kaum muslimin secara umum. Seperti amalan beliau di dalam masjid, di pasar, atau yang dilakukan beliau di tengah masyarakat bersama para sahabat. Jenis amalan seperti ini zhahir dan telah diketahui oleh kebanyakan sahabat di kota Madinah. Ada pula amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sifatnya sirr (tersembunyi). Sehingga hanya keluarga beliau yang mengetahuinya. Demikian pula diketahui oleh sebagian sahabat yang melayani kebutuhan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, dan lain-lain g. Maka, datanglah ketiga sahabat tersebut ke rumah istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan ibadah beliau ketika berada di dalam rumah.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Dikarenakan para sahabat memiliki semangat tinggi untuk berbuat kebajikan, maka mereka menganggap kecil ibadah yang telah mereka lakukan selama ini. Sehingga masing-masing bertekad untuk memilih satu bentuk ibadah. Salah seorang dari mereka bertekad untuk berpuasa setiap hari, yang kedua hendak qiyamul lail sepanjang malam, adapun yang ketiga hendak menjauhi wanita dan tidak akan menikah.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata, “Sederhana di dalam menjalankan ibadah merupakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya tidak seharusnya engkau, wahai hamba, memberat-beratkan diri. Berjalanlah dengan perlahan sebagaimana pembahasan yang lalu.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Dalil berikutnya tentang wajibnya beribadah tanpa sikap ghuluw adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim.
دَخَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْمَسْجِدَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَّتَيْنِ فَقَالَ: مَا هَذَا الْحَبْلُ؟ قَالُوا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ. فَقَالَ النَّبِيُّ n: لاَ، حَلُّوهُ لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ
Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid. Beliau mendapatkan seutas tali terikat di antara dua tiang masjid. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Tali untuk apa ini?” Para sahabat menjawab, “Tali ini milik Zainab. Apabila dia merasa capek shalat, dia pun bergantung dengan tali.” Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Lepaskan tali ini, hendaknya siapapun di antara kalian menegakkan shalat dalam keadaan giat. Apabila dia merasa capek, hendaknya dia tidur.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan hadits ini, “Di dalam hadits ini terdapat dalil tentang tidak semestinya seorang hamba terlalu berdalam dan berlebihan di dalam ibadah. Ia memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu ia lakukan. Seharusnya ia menegakkan shalat ketika dalam keadaan semangat. Apabila ia merasa lelah hendaknya ia berhenti dan tidur. Karena, seseorang yang shalat dalam keadaan lelah, konsentrasinya akan buyar, jenuh, dan jemu. Bahkan mungkin saja dia akan membenci ibadah tersebut. Mungkin juga dia ingin mendoakan kebaikan untuk dirinya, ternyata malah ia mendoakan kejelekan untuk dirinya sendiri.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kita untuk beristirahat dan tidur apabila rasa kantuk benar-benar mengganggu. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلىَّ وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian merasakan kantuk sementara ia sedang shalat, hendaknya dia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Karena, mungkin saja ada di antara kalian yang shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak menyadari, inginnya dia memohon maghfirah. Ternyata malah mendoakan celaka untuk dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikian juga persaksian para sahabat tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat beliau benar-benar sederhana, tidak terlalu dan tidak selalu panjang, tidak pula terlalu pendek. Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan sebuah hadits di dalam Shahihnya dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita:
كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَكَانَتْ صَلاَتُهُ قَصْدًا وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا
“Aku selalu melaksanakan shalat bersama Rasulullah, dan shalat beliau selalu sederhana (tidak terlalu panjang juga tidak terlalu singkat), khutbah beliau pun demikian.” (HR. Muslim)
Saudaraku, hafizhakallah. Sungguh para pendahulu kita dari generasi salaf telah menuntun kita untuk menjauhi sikap ghuluw di dalam beribadah. Di dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 1968) disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan Salman Al-Farisi dengan Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhuma. Suatu hari Salman datang berkunjung ke rumah Abu Ad-Darda’. Ketika itu Salman melihat Ummu Ad-Darda’, istri Abu Ad-Darda’, menggunakan pakaian sederhana sekali dan tidak berhias.1
Lalu Salman bertanya, “Ada masalah apa?” Ia menjawab, “Saudaramu, Abu Ad-Darda’, dia tidak lagi membutuhkan dunia.”
Kemudian datanglah Abu Ad-Darda’ untuk membuatkan makanan dan mempersilakan Salman untuk menyantap hidangan. Sementara Abu Ad-Darda’ tidak menyentuh hidangan tersebut karena sedang berpuasa. Salman berkata, “Saya tidak akan menyantap makanan ini kecuali engkau harus menemaniku makan.” Abu Ad-Darda’ kemudian menyantap makanan tersebut. Di saat tiba malam hari, Abu Ad-Darda’ bangkit untuk melaksanakan qiyamullail. Salman memberikan nasihat agar Abu Ad-Darda’ istirahat dan tidur. Abu Ad-Darda’ pun menurut dan segera tidur. Di pertengahan malam, Abu Darda ingin melaksanakan qiyamullail. Salman masih memberikan nasihat yang sama, agar Abu Ad-Darda’ istirahat dan tidur. Setelah masuk akhir malam, Salman pun membangunkan Abu Ad-Darda’, “Bangunlah sekarang.” Mereka berdua lalu menegakkan qiyamullail.
Setelah itu Salman menyampaikan:
إِنّ لِرَبَِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak darimu, dirimu pun memiliki hak juga. Demikian pula keluargamu memiliki hak yang harus engkau tunaikan. Maka, tunaikanlah hak masing-masing.”
Setelah itu, ia menemui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan kisahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salman memang benar.”
Betapa rahmatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segenap hamba-Nya yang telah menjadikan syariat ini mudah. Jangan nodai keagungan rahmat-Nya dengan sikap-sikap ghuluw. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah:185)
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berwudhu dan mandi karena janabah. Demikian pula bertayammum ketika sakit atau tidak mendapatkan air. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (Al-Ma’idah: 6)
Demikian pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan hal yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَجَاهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj:78)
Penutup
Kita menutup pembahasan ini dengan menukilkan sebuah wasiat yang telah dititipkan oleh Salafunaa Ash-Shalih agar kita meraih kemuliaan di sisi Allah Rabbul ‘Alamin.
Al-Imam Qatadah bin Di’amah As-Sadusi rahimahullahu berpesan, “Waspadalah dan berhati-hatilah dari sikap memberat-beratkan diri, berlebih-lebihan, dan ghuluw serta merasa ujub sendiri. Hendaknya kalian bersikap tawadhu’, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meninggikan derajat kalian.” (Siyar A’lam An-Nubala’)
1 Hal ini terjadi sebelum turunnya ayat hijab.
meniti jalan lurus
“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).” (An-Nahl: 9)
Penjelasan Mufradat Ayat
قَصْدُ السَّبِيلِ
“Jalan yang lurus.”
Qashd dalam ayat ini bermakna isim fa’il (qashid/ قَاصِدٌ), yang berarti lurus. Sedangkan sabil berarti jalan. Maka qashdus sabil bermakna lurusnya sebuah jalan atau jalan yang lurus.
Asy-Syinqithi rahimahullahu menerangkan dalam kitabnya Adhwa’ Al-Bayan: “Ketahuilah bahwa yang dimaksud qashdus sabil adalah jalan lurus yang tidak mengandung kebengkokan. Makna ini adalah hal yang telah diketahui dalam lingkup bahasa Arab.”
Syaikhul Islam rahimahullahu mengatakan: “Al-Qashd adalah keadilan, sebagaimana ia juga bermakna lurus dan kebenaran, yaitu yang sesuai dan sepadan, yang tidak bertambah dan tidak berkurang.” (Majmu’ Fatawa, 17/230)
Ungkapan para ahli tafsir dalam menjelaskan maknanya memang beragam, namun pada hakikatnya kembali kepada inti makna, yaitu jalan yang lurus, tidak menyimpang, yang senantiasa berada di atas bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Merupakan hak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan petunjuk dan kesesatan.”
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Syariat dan perkara-perkara yang wajib.”
Mujahid rahimahullahu berkata: “Jalan kebenaran menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Qatadah rahimahullahu berkata: “Merupakan hak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan halal, haram, ketaatan, dan kemaksiatan.”
As-Suddi rahimahullahu berkata: “(Menerangkan) Islam.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullahu berkata: “(Menerangkan) As-Sunnah.”
Syaikhul Islam mengatakan: “Hidayah, qashdus sabil, dan jalan yang lurus, semuanya menunjukkan ibadah dan taat kepada-Nya, tidak menunjukkan kemaksiatan dan taat kepada setan.” (Majmu’ Fatawa, 15/214)
وَمِنْهَا جَائِرٌ
“Dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok.”
Dhamir ha kembali kepada lafadz sabil, disebutkan dalam bentuk mu’annats karena lafadz tersebut bisa dijadikan mudzakkar dan mu’annats. Sebagian menyebutkan bahwa lafadz sabil dalam ayat ini bermakna jamak meskipun bentuknya mufrad.
At-Thabari rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu membacanya وَمِنْكُمْ جَائِرٌ. Maknanya adalah bahwa di antara jalan-jalan tersebut terdapat jalan-jalan yang menyimpang.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Jalan-jalan yang terpecah-pecah.” Dalam riwayat lain beliau mengatakan: “Berbagai macam hawa nafsu.” Yang semakna dengannya disebutkan pula oleh Ubaid bin Sulaiman, Ibnu Juraij, dan yang lainnya.
Sebagian mengatakan: “Qashdus sabil adalah agama Islam, sedangkan ja’ir adalah agama kekufuran dengan berbagai macamnya.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullahu berkata: “Mereka adalah pengekor bid’ah dan hawa nafsu.”
Penjelasan Makna Ayat
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki hak yang mutlak dalam membimbing siapa saja yang dikehendaki-Nya, sebagai karunia dan keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba tersebut. Bimbingan itulah yang menyebabkan seorang hamba senantiasa istiqamah di atas Islam, di atas As-Sunnah, yang merupakan satu-satunya jalan kebenaran. Selain jalan ini, merupakan jalan-jalan yang menyimpang dari al-haq. Ada kalanya menuju kekufuran serta kesyirikan, dan ada kalanya menuju kepada bid’ah serta hawa nafsu. Seorang hamba yang dibimbing menuju jalan yang lurus adalah semata-mata karena rahmat dan karunia-Nya k. Sedangkan seseorang yang tersesat dan menyimpang, itu merupakan bentuk keadilan dan hikmah yang dikehendaki-Nya.
Syaikhul Islam berkata tatkala menjelaskan ayat ini: “Ini juga termasuk nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjamin untuk menjelaskan dan merinci jalan petunjuk, yaitu dengan cara menegakkan dalil-dalil serta mengutus para rasul. Ini yang disebutkan oleh para ahli tafsir. Ada pula kemungkinan maknanya bahwa siapa yang menempuh jalan yang lurus maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membimbing jalannya dan akan sampai kepada-Nya. Sebagaimana halnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ هَذَا صِرَاطٌ عَلَيَّ مُسْتَقِيمٌ
“Allah berfirman: ‘Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya)’.” (Al-Hijr: 41) [Majmu’ Fatawa: 15/207]
Sebab jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki, bukanlah hal yang sulit bagi-Nya untuk menjadikan semua orang dalam keadaan mukmin dan taat kepada-Nya. Namun sudah menjadi ketetapan dan hikmah-Nya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sebagian manusia ada yang kafir dan menyimpang dari jalan-Nya, karena hikmah dan kemaslahatan yang lebih besar yang telah menjadi ketetapan dan kehendak-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi) nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) daripadaku; ‘Sesungguhnya akan aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama’.” (As-Sajdah: 13)
Juga firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 253)
Firman-Nya pula:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Al-Ma’idah: 48)
Dan firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.” (Al-An’am: 35)
Dan masih banyak lagi ayat yang menjelaskan hal ini.
Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan: “Seseorang tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan menempuh jalan lurus yang disyariatkan oleh-Nya, diridhai-Nya. Adapun selain itu, maka itu adalah jalan yang tertutup serta amalan-amalan yang tertolak.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Al-Qurthubi rahimahullahu mengatakan: “(Ayat ini) menjelaskan bahwa kehendak takdir adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dan ini membenarkan penafsiran yang disebutkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Juga membantah kelompok Al-Qadariyyah (pengingkar takdir) dan yang sependapat dengan mereka.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Syaikhul Islam rahimahullahu mengatakan: “Takdir merupakan hal yang benar, namun memahami Al-Qur’an dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, serta menjelaskan hikmah dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama dengan keimanan kepada takdir, merupakan metode para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (Majmu’ Fatawa, 15/211)
Memahami Perbedaan Ungkapan Ahli Tafsir
Jika kita perhatikan pendapat para ulama dalam menafsirkan kata qashdus sabil dan waminha ja’ir, nampak terjadi perselisihan di antara mereka. Namun pada hakikatnya, ikhtilaf tersebut tidak bertentangan satu sama lain. Sebab apa yang mereka perselisihkan tersebut termasuk di antara jenis ikhtilaf tanawwu’, yaitu perselisihan yang tidak saling kontradiksi, namun saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam risalahnya Muqaddamah fi Ushul At-Tafsir, di mana beliau menjelaskan bahwa perselisihan di kalangan ahli tafsir yang termasuk dalam jenis ikhtilaf tanawwu’ ada dua macam:
1. Setiap mereka memberi ungkapan tertentu yang berbeda dengan ungkapan ahli tafsir yang lain, yang semua ungkapan itu menunjukkan makna tersendiri yang terdapat pada sesuatu yang ditafsirkan tersebut. Seperti halnya nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, nama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang lainnya. Seperti halnya nama Allah Al-Aziz yang memiliki makna dan sifat kemuliaan, berbeda dengan nama Ar-Rahman, yang mengandung sifat kasih sayang-Nya. Masing-masing dari nama Al-Aziz dan Ar-Rahman kembali kepada Dzat yang sama, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian pula nama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara nama beliau adalah Al-Mahi, yang artinya penghapus kekufuran. Di antara nama beliau adalah Al-’Aqib, yang artinya tidak ada nabi setelah beliau. Juga di antara nama beliau adalah Ahmad, artinya orang yang terpuji. Namun setiap dari nama tersebut walaupun memiliki makna yang berbeda, namun pada hakikatnya kembali kepada satu diri, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula penafsiran para ulama dalam menjelaskan makna ash-shiratul mustaqim, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Islam. Sebagian berkata maksudnya mengikuti Al-Qur’an. Sebagian lagi mengatakan, maksudnya As-Sunnah dan Al-Jama’ah, sebagian lagi mengatakan maksudnya taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta yang lainnya. Seluruhnya mengisyaratkan kepada inti yang sama, dengan pengungkapan sifat yang berbeda.
2. Masing-masing menafsirkan sebuah nama yang umum dengan sebagian yang bersifat khusus untuk dijadikan sebagai contoh, bukan bermaksud untuk membatasi penafsiran hanya dalam sesuatu yang disebutkan tersebut. Seperti contoh, ketika ada seseorang yang bukan Arab bertanya tentang apa yang dimaksud dengan lafadz khubuz (roti), lalu dijawab dengan memperlihatkan salah satu jenis roti. Itu bukan berarti bahwa khubuz memiliki makna terbatas yang dicontohkan itu saja, namun khubuz meliputi jenis yang lain pula, yang merupakan jenis makanan yang terbuat dari gandum dengan berbagai bentuknya.
Seperti halnya dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32)
Telah dimaklumi bahwa makna az-zalim linafsihi (yang menganiaya diri sendiri) mencakup setiap orang yang melalaikan hal-hal yang wajib, yang melakukan perbuatan yang diharamkan. Sedangkan al-muqtashid (yang pertengahan) meliputi setiap orang yang melakukan hal-hal yang wajib dan meninggalkan perkara haram. Adapun as-sabiq (yang lebih dahulu berbuat kebaikan) mencakup setiap orang yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan-amalan kebaikan disamping hal-hal yang wajib tersebut.
Namun bila kita melihat pendapat ahli tafsir, kita mendapati bahwa di antara mereka ada yang menafsirkan dengan menyebutkan salah satu dari amalan shalih yang dilakukan seorang hamba. Seperti ada yang menyebutkan bahwa as-sabiq adalah orang yang shalat pada awal waktu, al-muqtashid adalah orang yang shalat pada pertengahan waktu, sedangkan azh-zhalim linafsihi adalah orang yang melambatkan waktu shalat ashar hingga matahari menguning.
Sebagian ahli tafsir ada pula yang mengatakan bahwa as-sabiq adalah orang yang bersedekah, azh-zhalim linafsihi adalah orang yang bermu’amalah dengan cara riba, sedangkan al-muqtashid adalah orang yang berjual beli dengan cara yang adil.
Sebagian lagi menyebutkan penafsiran yang berbeda, yang jika kita perhatikan, sesungguhnya tidak ada perselisihan yang saling bertentangan dari berbagai penafsiran tersebut. Hanya saja masing-masing dari mereka menyebutkan salah satu jenis amalan tertentu, yang dijadikan sebagai contoh untuk memudahkan dalam memahami ayat tersebut, bukan sebagai pembatas makna ayat. (Lihat pembahasan rinci Syaikhul Islam rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa, 13/333-338)
Bila kita memahami hal ini maka kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya kebanyakan perselisihan di kalangan ahli tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, kembalinya kepada dua macam penafsiran yang telah kita sebutkan. Bukan merupakan perselisihan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
Wallahu a’lam.
Penjelasan Mufradat Ayat
قَصْدُ السَّبِيلِ
“Jalan yang lurus.”
Qashd dalam ayat ini bermakna isim fa’il (qashid/ قَاصِدٌ), yang berarti lurus. Sedangkan sabil berarti jalan. Maka qashdus sabil bermakna lurusnya sebuah jalan atau jalan yang lurus.
Asy-Syinqithi rahimahullahu menerangkan dalam kitabnya Adhwa’ Al-Bayan: “Ketahuilah bahwa yang dimaksud qashdus sabil adalah jalan lurus yang tidak mengandung kebengkokan. Makna ini adalah hal yang telah diketahui dalam lingkup bahasa Arab.”
Syaikhul Islam rahimahullahu mengatakan: “Al-Qashd adalah keadilan, sebagaimana ia juga bermakna lurus dan kebenaran, yaitu yang sesuai dan sepadan, yang tidak bertambah dan tidak berkurang.” (Majmu’ Fatawa, 17/230)
Ungkapan para ahli tafsir dalam menjelaskan maknanya memang beragam, namun pada hakikatnya kembali kepada inti makna, yaitu jalan yang lurus, tidak menyimpang, yang senantiasa berada di atas bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Merupakan hak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan petunjuk dan kesesatan.”
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Syariat dan perkara-perkara yang wajib.”
Mujahid rahimahullahu berkata: “Jalan kebenaran menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Qatadah rahimahullahu berkata: “Merupakan hak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan halal, haram, ketaatan, dan kemaksiatan.”
As-Suddi rahimahullahu berkata: “(Menerangkan) Islam.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullahu berkata: “(Menerangkan) As-Sunnah.”
Syaikhul Islam mengatakan: “Hidayah, qashdus sabil, dan jalan yang lurus, semuanya menunjukkan ibadah dan taat kepada-Nya, tidak menunjukkan kemaksiatan dan taat kepada setan.” (Majmu’ Fatawa, 15/214)
وَمِنْهَا جَائِرٌ
“Dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok.”
Dhamir ha kembali kepada lafadz sabil, disebutkan dalam bentuk mu’annats karena lafadz tersebut bisa dijadikan mudzakkar dan mu’annats. Sebagian menyebutkan bahwa lafadz sabil dalam ayat ini bermakna jamak meskipun bentuknya mufrad.
At-Thabari rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu membacanya وَمِنْكُمْ جَائِرٌ. Maknanya adalah bahwa di antara jalan-jalan tersebut terdapat jalan-jalan yang menyimpang.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Jalan-jalan yang terpecah-pecah.” Dalam riwayat lain beliau mengatakan: “Berbagai macam hawa nafsu.” Yang semakna dengannya disebutkan pula oleh Ubaid bin Sulaiman, Ibnu Juraij, dan yang lainnya.
Sebagian mengatakan: “Qashdus sabil adalah agama Islam, sedangkan ja’ir adalah agama kekufuran dengan berbagai macamnya.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullahu berkata: “Mereka adalah pengekor bid’ah dan hawa nafsu.”
Penjelasan Makna Ayat
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki hak yang mutlak dalam membimbing siapa saja yang dikehendaki-Nya, sebagai karunia dan keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba tersebut. Bimbingan itulah yang menyebabkan seorang hamba senantiasa istiqamah di atas Islam, di atas As-Sunnah, yang merupakan satu-satunya jalan kebenaran. Selain jalan ini, merupakan jalan-jalan yang menyimpang dari al-haq. Ada kalanya menuju kekufuran serta kesyirikan, dan ada kalanya menuju kepada bid’ah serta hawa nafsu. Seorang hamba yang dibimbing menuju jalan yang lurus adalah semata-mata karena rahmat dan karunia-Nya k. Sedangkan seseorang yang tersesat dan menyimpang, itu merupakan bentuk keadilan dan hikmah yang dikehendaki-Nya.
Syaikhul Islam berkata tatkala menjelaskan ayat ini: “Ini juga termasuk nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjamin untuk menjelaskan dan merinci jalan petunjuk, yaitu dengan cara menegakkan dalil-dalil serta mengutus para rasul. Ini yang disebutkan oleh para ahli tafsir. Ada pula kemungkinan maknanya bahwa siapa yang menempuh jalan yang lurus maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membimbing jalannya dan akan sampai kepada-Nya. Sebagaimana halnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ هَذَا صِرَاطٌ عَلَيَّ مُسْتَقِيمٌ
“Allah berfirman: ‘Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya)’.” (Al-Hijr: 41) [Majmu’ Fatawa: 15/207]
Sebab jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki, bukanlah hal yang sulit bagi-Nya untuk menjadikan semua orang dalam keadaan mukmin dan taat kepada-Nya. Namun sudah menjadi ketetapan dan hikmah-Nya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sebagian manusia ada yang kafir dan menyimpang dari jalan-Nya, karena hikmah dan kemaslahatan yang lebih besar yang telah menjadi ketetapan dan kehendak-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi) nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) daripadaku; ‘Sesungguhnya akan aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama’.” (As-Sajdah: 13)
Juga firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 253)
Firman-Nya pula:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Al-Ma’idah: 48)
Dan firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.” (Al-An’am: 35)
Dan masih banyak lagi ayat yang menjelaskan hal ini.
Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan: “Seseorang tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan menempuh jalan lurus yang disyariatkan oleh-Nya, diridhai-Nya. Adapun selain itu, maka itu adalah jalan yang tertutup serta amalan-amalan yang tertolak.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Al-Qurthubi rahimahullahu mengatakan: “(Ayat ini) menjelaskan bahwa kehendak takdir adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dan ini membenarkan penafsiran yang disebutkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Juga membantah kelompok Al-Qadariyyah (pengingkar takdir) dan yang sependapat dengan mereka.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Syaikhul Islam rahimahullahu mengatakan: “Takdir merupakan hal yang benar, namun memahami Al-Qur’an dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, serta menjelaskan hikmah dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama dengan keimanan kepada takdir, merupakan metode para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (Majmu’ Fatawa, 15/211)
Memahami Perbedaan Ungkapan Ahli Tafsir
Jika kita perhatikan pendapat para ulama dalam menafsirkan kata qashdus sabil dan waminha ja’ir, nampak terjadi perselisihan di antara mereka. Namun pada hakikatnya, ikhtilaf tersebut tidak bertentangan satu sama lain. Sebab apa yang mereka perselisihkan tersebut termasuk di antara jenis ikhtilaf tanawwu’, yaitu perselisihan yang tidak saling kontradiksi, namun saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam risalahnya Muqaddamah fi Ushul At-Tafsir, di mana beliau menjelaskan bahwa perselisihan di kalangan ahli tafsir yang termasuk dalam jenis ikhtilaf tanawwu’ ada dua macam:
1. Setiap mereka memberi ungkapan tertentu yang berbeda dengan ungkapan ahli tafsir yang lain, yang semua ungkapan itu menunjukkan makna tersendiri yang terdapat pada sesuatu yang ditafsirkan tersebut. Seperti halnya nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, nama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang lainnya. Seperti halnya nama Allah Al-Aziz yang memiliki makna dan sifat kemuliaan, berbeda dengan nama Ar-Rahman, yang mengandung sifat kasih sayang-Nya. Masing-masing dari nama Al-Aziz dan Ar-Rahman kembali kepada Dzat yang sama, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian pula nama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara nama beliau adalah Al-Mahi, yang artinya penghapus kekufuran. Di antara nama beliau adalah Al-’Aqib, yang artinya tidak ada nabi setelah beliau. Juga di antara nama beliau adalah Ahmad, artinya orang yang terpuji. Namun setiap dari nama tersebut walaupun memiliki makna yang berbeda, namun pada hakikatnya kembali kepada satu diri, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula penafsiran para ulama dalam menjelaskan makna ash-shiratul mustaqim, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Islam. Sebagian berkata maksudnya mengikuti Al-Qur’an. Sebagian lagi mengatakan, maksudnya As-Sunnah dan Al-Jama’ah, sebagian lagi mengatakan maksudnya taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta yang lainnya. Seluruhnya mengisyaratkan kepada inti yang sama, dengan pengungkapan sifat yang berbeda.
2. Masing-masing menafsirkan sebuah nama yang umum dengan sebagian yang bersifat khusus untuk dijadikan sebagai contoh, bukan bermaksud untuk membatasi penafsiran hanya dalam sesuatu yang disebutkan tersebut. Seperti contoh, ketika ada seseorang yang bukan Arab bertanya tentang apa yang dimaksud dengan lafadz khubuz (roti), lalu dijawab dengan memperlihatkan salah satu jenis roti. Itu bukan berarti bahwa khubuz memiliki makna terbatas yang dicontohkan itu saja, namun khubuz meliputi jenis yang lain pula, yang merupakan jenis makanan yang terbuat dari gandum dengan berbagai bentuknya.
Seperti halnya dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32)
Telah dimaklumi bahwa makna az-zalim linafsihi (yang menganiaya diri sendiri) mencakup setiap orang yang melalaikan hal-hal yang wajib, yang melakukan perbuatan yang diharamkan. Sedangkan al-muqtashid (yang pertengahan) meliputi setiap orang yang melakukan hal-hal yang wajib dan meninggalkan perkara haram. Adapun as-sabiq (yang lebih dahulu berbuat kebaikan) mencakup setiap orang yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan-amalan kebaikan disamping hal-hal yang wajib tersebut.
Namun bila kita melihat pendapat ahli tafsir, kita mendapati bahwa di antara mereka ada yang menafsirkan dengan menyebutkan salah satu dari amalan shalih yang dilakukan seorang hamba. Seperti ada yang menyebutkan bahwa as-sabiq adalah orang yang shalat pada awal waktu, al-muqtashid adalah orang yang shalat pada pertengahan waktu, sedangkan azh-zhalim linafsihi adalah orang yang melambatkan waktu shalat ashar hingga matahari menguning.
Sebagian ahli tafsir ada pula yang mengatakan bahwa as-sabiq adalah orang yang bersedekah, azh-zhalim linafsihi adalah orang yang bermu’amalah dengan cara riba, sedangkan al-muqtashid adalah orang yang berjual beli dengan cara yang adil.
Sebagian lagi menyebutkan penafsiran yang berbeda, yang jika kita perhatikan, sesungguhnya tidak ada perselisihan yang saling bertentangan dari berbagai penafsiran tersebut. Hanya saja masing-masing dari mereka menyebutkan salah satu jenis amalan tertentu, yang dijadikan sebagai contoh untuk memudahkan dalam memahami ayat tersebut, bukan sebagai pembatas makna ayat. (Lihat pembahasan rinci Syaikhul Islam rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa, 13/333-338)
Bila kita memahami hal ini maka kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya kebanyakan perselisihan di kalangan ahli tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, kembalinya kepada dua macam penafsiran yang telah kita sebutkan. Bukan merupakan perselisihan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
Wallahu a’lam.
Minggu, 02 Agustus 2009
minyak dengan fermentasi ragi tempe
Para peneliti dari Pusat Penelitian Kimia LIPI berhasil membuat minyak kelapa dengan teknik fermentasi ragi tempe. Selain bisa sebagai minyak goreng yang lebih sehat dibanding minyak goreng dari kelapa sawit, minyak ini juga baik untuk bahan baku industri kosmetik.
Indonesia yang beriklim tropis dan berbentuk kepulauan memang kaya dengan berbagai alttumbuhan khasnya. Salah satunya adalah pohon kelapa. Bahkan, Indonesia memiliki kebun kelapa terluas di dunia, mencapai 3.745.000 hektare. Kelapa pun menjadi komoditas ekspor yang menyumbang devisa bagi Indonesia, kendati untuk ekspor minyak kelapa Indonesia porsinya hanya sekitar 20 persen, sedangkan 80 persen sisanya untuk konsumsi domestik. Hal ini berkebalikan dengan Filipina yang ekspor minyak kelapanya sebesar 80 persen dan konsumsi domestik hanya 20 persen.
Memang sungguh disayangkan potensi kelapa yang sangat besar ini masih dianggap sebagai komoditas “nomor dua” jika dibandingkan dengan sawit atau minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Oleh karena itu, perlu dikembangkan lagi inovasi produk-produk berbasiskan kelapa yang memiliki nilai tambah. Salah satunya adalah minyak kelapa “organik” yang dikembangkan oleh tim yang terdiri dari Tami Indiyanti, Leonardus Broto S. Kardono, Lindajati Tanuwidjaja, dan Roy Heru Trisnamurti. Memang banyak produk serupa di pasaran, tetapi produk besutan tim empat sekawan ini memiliki perbedaan sekaligus keunggulan, yaitu mampu menciptakan proses pembuatan minyak kelapa berbasiskan fermentasi dengan ragi tempe.
Fermentasi dengan Ragi Tempe
Para peneliti dari Pusat Penelitian Kimia LIPI itu berhasil melakukan inovasi proses pembuatan minyak kelapa. Empat sekawan itu mampu menciptakan proses bioproduksi dengan memanfaatkan ragi (inokulum) tempe untuk proses pembuatan minyak kelapa. Kalau selama ini proses pembuatan minyak kelapa (virgin coconut oil/VCO) dilakukan dengan cara fermentasi, maka, tak berbeda jauh, minyak kelapa “organik” ini dibuat dengan teknik fermentasi ragi tempe.
Mengapa ragi tempe? “Kami sudah melakukan percobaan dengan berbagai macam ragi ataupun inokulum. Namun, kami berkesimpulan memang ragi tempe sebagai perombak santan yang lebih aman sehingga bisa menghasilkan minyak kelapa yang sangat baik,” jelas Leonardus Broto S. Kardono. Tidak hanya itu kelebihannya, ragi tempe ini juga mudah ditemukan di pasaran dengan harga yang terjangkau sehingga bisa diproduksi oleh industri UMKM.
Cara kerjanya cukup sederhana dan mudah. Langkah awalnya adalah memilih kelapa tua berusia 10–12 bulan, lalu dibuatlah santan. Kemudian santan tersebut ditaburi dengan inokulum tempe tanpa diaduk. Lalu, santan diinkubasi selama kurang lebih 16 jam dalam suhu kamar (30°–37°). Pada akhir proses fermentasi ini akan didapat tiga lapisan terpisah hasil fermentasi yang terdiri dari air, minyak kelapa “organik” atau VCO, dan lapisan solid protein. Proses pemisahannya pun terhitung mudah karena di dalam boks plastik terdapat empat buah keran yang berfungsi untuk memisahkan lapisan air dengan VCO tersebut. Perhitungannya, untuk satu boks plastik santan kelapa ukuran 100–120 liter diperlukan 200 gram ragi tempe dan akan menghasilkan 8–10 liter VCO.
Manfaat
Minyak kelapa hasil fermentasi ragi tempe itu bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik sebagai altbahan baku industri kosmetik maupun minyak goreng. Hanya saja, proses pembuatan minyak kelapa hasil fermentasi ragi tempe untuk bahan baku kosmetik dan untuk minyak goreng berbeda. Untuk minyak goreng, santan kelapa harus diinkubasi selama 24 jam lagi hingga endapannya sesuai dengan yang disyaratkan. “Minyak goreng berbahan baku kelapa jauh lebih baik bagi kesehatan bila dibandingkan dengan minyak sawit,” ungkap pria yang akrab dipanggil Broto ini. Minyak kelapa memiliki asam lemak jenuh menengah (medium chain fatty acid/MCFA) dengan rantai pendek yakni 12–16 rantai karbon. Sifat dari MCFA ini mudah diserap sampai mitokondria dan berefek pada peningkatan metabolisme tubuh. Selain itu, kelebihan dari rantai karbon pendek ini adalah memiliki sifat antimikrobial dan menunjang sistem kekebalan tubuh sehingga dapat menjaga tubuh dari virus, jamur, dan bakteri patogen lainnya. Rantai karbon pendek ini mampu menguraikan karbon menjadi energi sehingga tidak disimpan oleh tubuh dalam bentuk lemak ataupun kolesterol. Berbeda halnya dengan minyak kelapa sawit ataupun minyak dari lemak hewani yang memiliki struktur rantai karbon yang lebih panjang. “Itulah yang membedakan antara minyak sawit dengan minyak kelapa. Tidak heran mengapa minyak kelapa lebih menyehatkan dibanding minyak sawit,” terang Broto.
Indonesia yang beriklim tropis dan berbentuk kepulauan memang kaya dengan berbagai alttumbuhan khasnya. Salah satunya adalah pohon kelapa. Bahkan, Indonesia memiliki kebun kelapa terluas di dunia, mencapai 3.745.000 hektare. Kelapa pun menjadi komoditas ekspor yang menyumbang devisa bagi Indonesia, kendati untuk ekspor minyak kelapa Indonesia porsinya hanya sekitar 20 persen, sedangkan 80 persen sisanya untuk konsumsi domestik. Hal ini berkebalikan dengan Filipina yang ekspor minyak kelapanya sebesar 80 persen dan konsumsi domestik hanya 20 persen.
Memang sungguh disayangkan potensi kelapa yang sangat besar ini masih dianggap sebagai komoditas “nomor dua” jika dibandingkan dengan sawit atau minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Oleh karena itu, perlu dikembangkan lagi inovasi produk-produk berbasiskan kelapa yang memiliki nilai tambah. Salah satunya adalah minyak kelapa “organik” yang dikembangkan oleh tim yang terdiri dari Tami Indiyanti, Leonardus Broto S. Kardono, Lindajati Tanuwidjaja, dan Roy Heru Trisnamurti. Memang banyak produk serupa di pasaran, tetapi produk besutan tim empat sekawan ini memiliki perbedaan sekaligus keunggulan, yaitu mampu menciptakan proses pembuatan minyak kelapa berbasiskan fermentasi dengan ragi tempe.
Fermentasi dengan Ragi Tempe
Para peneliti dari Pusat Penelitian Kimia LIPI itu berhasil melakukan inovasi proses pembuatan minyak kelapa. Empat sekawan itu mampu menciptakan proses bioproduksi dengan memanfaatkan ragi (inokulum) tempe untuk proses pembuatan minyak kelapa. Kalau selama ini proses pembuatan minyak kelapa (virgin coconut oil/VCO) dilakukan dengan cara fermentasi, maka, tak berbeda jauh, minyak kelapa “organik” ini dibuat dengan teknik fermentasi ragi tempe.
Mengapa ragi tempe? “Kami sudah melakukan percobaan dengan berbagai macam ragi ataupun inokulum. Namun, kami berkesimpulan memang ragi tempe sebagai perombak santan yang lebih aman sehingga bisa menghasilkan minyak kelapa yang sangat baik,” jelas Leonardus Broto S. Kardono. Tidak hanya itu kelebihannya, ragi tempe ini juga mudah ditemukan di pasaran dengan harga yang terjangkau sehingga bisa diproduksi oleh industri UMKM.
Cara kerjanya cukup sederhana dan mudah. Langkah awalnya adalah memilih kelapa tua berusia 10–12 bulan, lalu dibuatlah santan. Kemudian santan tersebut ditaburi dengan inokulum tempe tanpa diaduk. Lalu, santan diinkubasi selama kurang lebih 16 jam dalam suhu kamar (30°–37°). Pada akhir proses fermentasi ini akan didapat tiga lapisan terpisah hasil fermentasi yang terdiri dari air, minyak kelapa “organik” atau VCO, dan lapisan solid protein. Proses pemisahannya pun terhitung mudah karena di dalam boks plastik terdapat empat buah keran yang berfungsi untuk memisahkan lapisan air dengan VCO tersebut. Perhitungannya, untuk satu boks plastik santan kelapa ukuran 100–120 liter diperlukan 200 gram ragi tempe dan akan menghasilkan 8–10 liter VCO.
Manfaat
Minyak kelapa hasil fermentasi ragi tempe itu bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik sebagai altbahan baku industri kosmetik maupun minyak goreng. Hanya saja, proses pembuatan minyak kelapa hasil fermentasi ragi tempe untuk bahan baku kosmetik dan untuk minyak goreng berbeda. Untuk minyak goreng, santan kelapa harus diinkubasi selama 24 jam lagi hingga endapannya sesuai dengan yang disyaratkan. “Minyak goreng berbahan baku kelapa jauh lebih baik bagi kesehatan bila dibandingkan dengan minyak sawit,” ungkap pria yang akrab dipanggil Broto ini. Minyak kelapa memiliki asam lemak jenuh menengah (medium chain fatty acid/MCFA) dengan rantai pendek yakni 12–16 rantai karbon. Sifat dari MCFA ini mudah diserap sampai mitokondria dan berefek pada peningkatan metabolisme tubuh. Selain itu, kelebihan dari rantai karbon pendek ini adalah memiliki sifat antimikrobial dan menunjang sistem kekebalan tubuh sehingga dapat menjaga tubuh dari virus, jamur, dan bakteri patogen lainnya. Rantai karbon pendek ini mampu menguraikan karbon menjadi energi sehingga tidak disimpan oleh tubuh dalam bentuk lemak ataupun kolesterol. Berbeda halnya dengan minyak kelapa sawit ataupun minyak dari lemak hewani yang memiliki struktur rantai karbon yang lebih panjang. “Itulah yang membedakan antara minyak sawit dengan minyak kelapa. Tidak heran mengapa minyak kelapa lebih menyehatkan dibanding minyak sawit,” terang Broto.
jupiter tertabrak.....
Hasil tabrakan benda raksasa yang diduga komet atau asteroid ke permukaan Planet Jupiter menciptakan bekas tumbukan yang sangat luas. Bekas tabrakan ini berhasil diambil gambarnya oleh teleskop luar angkasa, Hubble.
Di gambar tersebut terlihat noda hitam yang menurut tim Hubble yang dipimpin oleh Heidi Hammel dari Institute Ilmu Luar Angkasa di Boulder, Colorado, AS, lebarnya tak kurang dari 8.000 km. Jika dibandingkan dengan obyek di Bumi, ini kira-kira mencapai lebih dari setengah dari lebar Samudra Pasifik.
Terjadinya tabrakan ini pertama kali ditemukan astronom amatir Australia bernama Anthony Wesley pada 19 Juli. Saat melakukan pengamatan malam hari, Wesley menemukan noda hitam tersebut terletak di dekat kutub selatan Jupiter.
NASA juga sempat mengarahkan teleskop infra merahnya di Hawaii untuk merekam momen tersebut dan berhasil merekam hasil tabrakan itu pada 21 Juli silam. Baru tanggal 23 Juli, Hubble berhasil mengambil gambar hasil tabrakan tersebut dengan warna asli dan detail.
"Karena kami percaya dampak dari tabrakan sangat langka, kami sangat beruntung bisa melihatnya dengan Hubble," ungkap Amy Simon-Miller dari Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard milik NASA, Greenbelt, Maryland.
Dengan luas tabrakan sebesar itu, Simon-Miller menduga diameter benda angkasa yang menabrak Jupiter bisa sampai seluas beberapa lapangan bola. Di gambar tersebut pun dapat dilihat detail-detail dari bekas tabrakan.
Berkat keberhasilan mendapat gambar bekas tabrakan tersebut, Hubble juga banyak dipuji oleh beberapa kalangan. Pasalnya, kamera yang dipakai untuk memotret kejadian itu merupakan kamera baru yang Mei lalu dipasang dalam misi perbaikan. Hubble mengambil gambar tersebut menggunakan Wide Field Camera 3, kamera yang baru diinstalasikan oleh astronot pesawat luar angkasa Atlantis pada Mei.
Tabrakan itu pun patut disyukuri karena terjadi di Jupiter dan tidak menabrak planet tempat tinggal kita, Planet Bumi. Kalau tabrakan ke Jupiter yang memiliki volume 1321,3 kali volume Bumi bisa menghasilkan noda hitam yang sedahsyat itu. Bagaimana nasib kita bila Bumi yang ditabrak ya
Di gambar tersebut terlihat noda hitam yang menurut tim Hubble yang dipimpin oleh Heidi Hammel dari Institute Ilmu Luar Angkasa di Boulder, Colorado, AS, lebarnya tak kurang dari 8.000 km. Jika dibandingkan dengan obyek di Bumi, ini kira-kira mencapai lebih dari setengah dari lebar Samudra Pasifik.
Terjadinya tabrakan ini pertama kali ditemukan astronom amatir Australia bernama Anthony Wesley pada 19 Juli. Saat melakukan pengamatan malam hari, Wesley menemukan noda hitam tersebut terletak di dekat kutub selatan Jupiter.
NASA juga sempat mengarahkan teleskop infra merahnya di Hawaii untuk merekam momen tersebut dan berhasil merekam hasil tabrakan itu pada 21 Juli silam. Baru tanggal 23 Juli, Hubble berhasil mengambil gambar hasil tabrakan tersebut dengan warna asli dan detail.
"Karena kami percaya dampak dari tabrakan sangat langka, kami sangat beruntung bisa melihatnya dengan Hubble," ungkap Amy Simon-Miller dari Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard milik NASA, Greenbelt, Maryland.
Dengan luas tabrakan sebesar itu, Simon-Miller menduga diameter benda angkasa yang menabrak Jupiter bisa sampai seluas beberapa lapangan bola. Di gambar tersebut pun dapat dilihat detail-detail dari bekas tabrakan.
Berkat keberhasilan mendapat gambar bekas tabrakan tersebut, Hubble juga banyak dipuji oleh beberapa kalangan. Pasalnya, kamera yang dipakai untuk memotret kejadian itu merupakan kamera baru yang Mei lalu dipasang dalam misi perbaikan. Hubble mengambil gambar tersebut menggunakan Wide Field Camera 3, kamera yang baru diinstalasikan oleh astronot pesawat luar angkasa Atlantis pada Mei.
Tabrakan itu pun patut disyukuri karena terjadi di Jupiter dan tidak menabrak planet tempat tinggal kita, Planet Bumi. Kalau tabrakan ke Jupiter yang memiliki volume 1321,3 kali volume Bumi bisa menghasilkan noda hitam yang sedahsyat itu. Bagaimana nasib kita bila Bumi yang ditabrak ya
penyu...oh..penyu...
Perburuan telur penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) di pesisir barat laut Kalimantan Barat, yaitu di Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, tidak terbatas mengambil telur dari sarang penyu. Sebagian pemburu telur bahkan membunuh dan membelah penyu untuk diambil telurnya.
Dalam perjalanan melihat habitat penyu di pesisir pantai Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, bersama WWF Indonesia, Kamis-Sabtu (30/7-1/8), ditemukan bangkai seekor penyu yang mulai membusuk, sekitar 2 kilometer sebelah selatan permukiman penduduk. Bagian perut penyu dengan panjang tubuh 98 sentimeter dan lebar 86 sentimeter itu terbelah dari samping.
Mulyadi, anggota staf monitoring WWF Indonesia Program Kalimantan Barat, menuturkan, warga melihat bangkai penyu tersebut, Sabtu (25/7), dan melaporkan ke kantor WWF di Kecamatan Paloh, Minggu (26/7).
”Saat kami datang, Senin, bangkai penyu belum bau. Diperkirakan penyu dibunuh pada Sabtu dini hari,” katanya.
Turtle Monitoring Officer WWF-Indonesia Program Kalbar Dwi Suprapti menyatakan, dari corak di tempurungnya, penyu tersebut merupakan penyu hijau. Penyu betina yang diperkirakan berusia lebih dari 30 tahun itu dibunuh saat bertelur di pantai.
Dalam pantauan WWF selama dua bulan terakhir, di sepanjang 63 kilometer pesisir pantai Paloh ditemukan enam bangkai penyu hijau dalam kondisi tubuh terbelah. Jumlah riil penyu yang dibantai untuk diambil telurnya diperkirakan lebih banyak mengingat pemantauan WWF hanya di titik-titik tertentu.
Brigadir Satu Sari Wahyono, Komandan Satuan Perintis Polisi yang bertugas di Pos Perbatasan Desa Temajuk, menyatakan, warga pernah melaporkan sejumlah orang yang dicurigai memburu telur penyu dengan cara membunuh. Namun, pihaknya tidak bisa gegabah menangkap orang itu tanpa bukti yang kuat.
Sekretaris Desa Temajuk Asman mengatakan, perburuan telur penyu lumrah bagi sebagian warga untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Mereka melakukan saat melintasi tepi pantai yang menjadi jalur transportasi darat satu-satunya.
”Selama akses jalan darat belum dibangun dan warga masih lewat tepi pantai, besar kemungkinan bagi mereka mengambil telur penyu,” katanya
Dalam perjalanan melihat habitat penyu di pesisir pantai Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, bersama WWF Indonesia, Kamis-Sabtu (30/7-1/8), ditemukan bangkai seekor penyu yang mulai membusuk, sekitar 2 kilometer sebelah selatan permukiman penduduk. Bagian perut penyu dengan panjang tubuh 98 sentimeter dan lebar 86 sentimeter itu terbelah dari samping.
Mulyadi, anggota staf monitoring WWF Indonesia Program Kalimantan Barat, menuturkan, warga melihat bangkai penyu tersebut, Sabtu (25/7), dan melaporkan ke kantor WWF di Kecamatan Paloh, Minggu (26/7).
”Saat kami datang, Senin, bangkai penyu belum bau. Diperkirakan penyu dibunuh pada Sabtu dini hari,” katanya.
Turtle Monitoring Officer WWF-Indonesia Program Kalbar Dwi Suprapti menyatakan, dari corak di tempurungnya, penyu tersebut merupakan penyu hijau. Penyu betina yang diperkirakan berusia lebih dari 30 tahun itu dibunuh saat bertelur di pantai.
Dalam pantauan WWF selama dua bulan terakhir, di sepanjang 63 kilometer pesisir pantai Paloh ditemukan enam bangkai penyu hijau dalam kondisi tubuh terbelah. Jumlah riil penyu yang dibantai untuk diambil telurnya diperkirakan lebih banyak mengingat pemantauan WWF hanya di titik-titik tertentu.
Brigadir Satu Sari Wahyono, Komandan Satuan Perintis Polisi yang bertugas di Pos Perbatasan Desa Temajuk, menyatakan, warga pernah melaporkan sejumlah orang yang dicurigai memburu telur penyu dengan cara membunuh. Namun, pihaknya tidak bisa gegabah menangkap orang itu tanpa bukti yang kuat.
Sekretaris Desa Temajuk Asman mengatakan, perburuan telur penyu lumrah bagi sebagian warga untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Mereka melakukan saat melintasi tepi pantai yang menjadi jalur transportasi darat satu-satunya.
”Selama akses jalan darat belum dibangun dan warga masih lewat tepi pantai, besar kemungkinan bagi mereka mengambil telur penyu,” katanya
Langganan:
Postingan (Atom)