Termasuk masalah yang banyak dipertanyakan hukumnya oleh kaum muslimin yang cinta untuk mengetahui kebenaran dan peduli dalam membedakan halal dan haram adalah masalah Multi Level Marketing (MLM). Transaksi dengan sistem MLM ini telah merambah di tengah manusia dan banyak mewarnai suasana pasar masyarakat. Maka sebagai seorang pebisnis muslim, wajib untuk mengetahui hukum transaksi dengan sistem MLM ini sebelum bergelut
didalamnya. Sebagaimana prinsip umum dari ucapan ‘Umar radhiyallahu’anhu:
“Jangan ada yang bertransaksi di pasar kami kecuali orang yang telah paham agama.” (Dikeluarkan oleh At-Tirmidzy dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany)
Maksud dari ucapan ‘Umar adalah bahwa seorang pedagang muslim hendaknya mengetahui hukum-hukum syariat tentang aturan berdagang atau transaksi dan mengetahui bentuk-bentuk jual-beli yang terlarang dalam agama. Dangkalnya pengetahuan tentang hal ini akan menyebabkan seseorang jatuh dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah kita saksikan tersebarnya praktek riba, memakan harta manusia dengan cara yang batil, merusak harga pasaran dan sebagainya dari bentuk-bentuk kerusakan yang merugikan masyarakat, bahkan merugikan negara.
Maka pada tulisan ini, kami akan menampilkan fatwa ulama terkemuka di masa ini. Mereka yang telah di kenal dengan keilmuan, ketakwaan dan semangat dalam membimbing dan memperbaiki umat.
Walaupun fatwa yang kami tampilkan hanya fatwa dari Lajnah Da’imah , Saudi Arabia , mengingat kedudukan mereka dalam bidang fatwa dan riset ilmiah. Namun kami juga mengetahui bahwa telah ada fatwa-fatwa lain yang sama dengan fatwa Lajnah Da’imah tersebut, seperti fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy (Perkumpulan Fiqh Islamy) di Sudan yang menjelaskan tentang hukum Perusahaan Biznas (Salah satu nama perusahaan MLM).
Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan ini dikeluarkan pada tanggal 17 Rabi’ul Akhir 1424 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juni 2003 M pada majelis no. 3/24. kesimpulan dari fatwa mereka dalam dua poin-sebagaimana yang disampaikan oleh Amin ‘Am Majma Al-Fiqh Al-Islamy Sudan, Prof. DR. Ahmad Khalid Bakar-sebagai berikut:
“Satu, sesungguhnya bergabung dengan perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari perusahaan-perusaha an pemasaran berjejaring (MLM) tidak boleh secara syar’i karena hal tersebut adalah qimar.[1]
Dua, Sistem perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari perusahaan-perusaha an berjejaring (MLM) tidak ada hubungannya dengan akad samsarah[2]-sebagaimana yang disangka perusahaan (Biznas) itu dan sebagimana mereka mengesankan itu kepada ahlul ilmi yang memberi fatwa boleh dengan alasan itu sebagai samsarah di sela-sela pertanyaan yang mereka ajukan kepada ahlul ilmi tersebut dan telah digambarkan kepada mereka perkara yang tidak sebenarnya-.”
Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan di atas dan pembahasan bersamanya telah dibukukan dan diberi catatan tambahan oleh seorang penuntut ilmu di Yordan, yaitu syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halaby.
Sepanjang yang kami ketahui, belum ada dari para ulama ayang membolehkan sistem Multi Level Marketing ini. Memang ada sebagian dari tulisan orang-orang yang memberi kemungkinan bolehnya hal tersebut, tapi datangnya hanya dari sebagian para ulama yang dikabarkan kepada mereka sistem MLM dengan penggambaran yang tidak benar-sebagaimana dalam Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy-atau sebagian orang yang sebenarnya tidak pantas berbicara dalam masalah seperti ini.
Akhirulkalam, semoga apa yang tertuang dalam tulisan ini ada manfaatnya untuk seluruh pembaca dan membawa kebaikan untuk kita. Wallahula’lam.
Fatwa Lajnah Da’imah pada tanggal 14/3/1425 dengan nomor (22935)
Telah sampai pertanyaan-pertanya an yang sangat banyak kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta[3] tentang aktifitas perusahaan-perusaha an pemasaran berpiramida atau berjejaring (MLM)[4] seperti Biznas dan hibah Al-Jazirah. Kesimpulan aktifitas mereka adalah meyakinkan seseorang untuk membeli sebuah barang atau
produk agar dia (juga) mampu meyakinkan orang-orang lain untuk membeli produk tersebut (dan) agar orang-orang itu juga meyakinkan yang lainnya untuk membeli, demikian seterusnya. Setiap kali bertambah tingkatan anggota dibawahnya (downline), maka orang yang pertama akan mendapatkan komisi yang besar yang mencapai ribuan real. Setiap anggota yang dapat meyakinkan orang-orang setelahnya (downline-nya) untuk bergabung, akan mendapatkan komisi-komisi yang sangat besar yang mungkin dia dapatkan sepanjang berhasil merekrut anggota-anggota baru setelahnya ke dalam daftar para anggota. Inilah yang dinamakan dengan pemasaran berpiramida atau berjejaring (MLM).
JAWAB:
Alhamdullilah, Lajnah menjawab pertanyaan diatas sebagai berikut:
Sesungguhnya transaksi sejenis ini adalah haram. Hal tersebut karena tujuan dari transaksi itu adalah komisi dan bukan produk.
Terkadang komisi dapat mencapai puluhan ribu sedangkan harga produk tidaklah melebihi sekian ratus. Seorang yang berakal ketika dihadapkan di antara dua pilihan, niscaya ia akan memilih komisi. Karena itu, sandaran perusahaan-perusaha an ini dalam memasarkan dan mempromosikan produk-produk mereka adalah menampakkan jumlah komisi yang besar yang mungkin didapatkan oleh anggota dan mengiming-imingi mereka dengan keuntungan yang melampaui batas sebagai imbalan dari modal yang kecil yaitu harga produk. Maka produk yang dipasarkan oleh
perusahaan-perusaha an ini hanya sekedar label dan pengantar untuk mendapatkan komisi dan keuntungan.
Tatkala ini adalah hakikat dari transaksi di atas, maka dia adalah haram karena beberapa alasan:
Pertama, transaksi tersebut mengandung riba dengan dua macam jenisnya; riba fadhl[5] dan riba nasi’ah[6]. Anggota membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar darinya. Maka ia adalah barter uang dengan bentuk tafadhul (ada selisih nilai) dan ta’khir (tidak cash). Dan ini adalah riba yang diharamkan menurut nash dan kesepakatan[7]. Produk yang dijual oleh perusahaan kepada konsumen tiada lain hanya sebagai kedok untuk barter uang tersebut dan bukan menjadi tujuan anggota (untuk mendapatkan keuntungan dari pemasarannya) , sehingga (keberadaan produk) tidak berpengaruh dalam hukum (transaksi ini).
Kedua, ia termasuk gharar[8] yang diharamkan menurut syari’at, karena anggota tidak mengetahui apakah dia akan
berhasil mendapatkan jumlah anggota yang cukup atau tidak?. Dan bagaimanapun pemasaran berjejaring atau piramida itu berlanjut, dan pasti akan mencapai batas akhir yang akan berhenti padanya. Sedangkan anggota tidak tahu ketika bergabung didalam piramida, apakah dia berada di tingkatan teratas sehingga ia beruntung atau berada di tingkatan bawah sehingga ia merugi? Dan kenyataannya, kebanyakan anggota piramida merugi kecuali sangat sedikit di tingkatan atas. Kalau begitu yang mendominasi adalah kerugian. Dan ini adalah hakikat gharar, yaitu ketidakjelasan antara dua perkara, yang paling mendominasi antara keduanya adalah yang dikhawatirkan. Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari gharar sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya.
Tiga, apa yang terkandung dalam transaksi ini berupa memakan harta manusia dengan kebatilan, dimana tidak ada yang mengambil keuntungan dari akad (transaksi) ini selain perusahaan dan para anggota yang ditentukan oleh perusahaan dengan tujuan menipu anggota lainnya. Dan hal inilah yang datang nash pengharamannya dengan
firman (Allah) Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil” [An-Nisa’:29]
Empat, apa yang terkandung dalam transaksi ini berupa penipuan, pengkaburan dan penyamaran terhadap manusia, dari sisi penampakan produk seakan-akan itulah tujuan dalam transaksi, padahal
kenyataanya adalah menyelisihi itu. Dan dari sisi, mereka mengiming-imingi komisi besar yang seringnya tidak terwujud. Dan ini terhitung dari penipuan yang diharamkan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Siapa yang menipu maka ia bukan dari saya” [Dikeluarkan Muslim dalam shahihnya]
Dan beliau juga bersabda,
“Dua orang yang bertransaksi jual beli berhak menentukan pilihannya(khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya saling jujur dan transparan, niscaya akan diberkati transaksinya. Dan jika keduanya saling dusta dan tertutup, niscaya akan dicabut keberkahan transaksinya.”[Muttafaqun’Alaihi]
Adapun pendapat bahwa transaksi ini tergolong samsarah[9], maka itu tidak benar. Karena samsarah adalah transaksi (dimana) pihak pertama mendapatkan imbalan atas usahanya mempertemukan barang (dengan pembelinya). Adapun pemasaran berjejaring (MLM), anggotanya-lah yang mengeluarkan biaya untuk memasarkan produk tersebut. Sebagaimana maksud hakikat dari samsarah adalah memasarkan barang, berbeda dengan pemasaran berjejaring (MLM), maksud sebenarnya adalah pemasaran komisi dan bukan (pemasaran) produk. Karena itu orang yang bergabung (dalam MLM) memasarkan kepada orang yang akan memasrkan dan seterusnya[10].
Berbeda dengan samsarah, (dimana) pihak perantara benar-benar memasarkan kepada calon pembeli barang. Perbedaan diantara dua transaksi adalah jelas.
Adapun pendapat bahwa komisi-komisi tersebut masuk dalam kategori hibah (pemberian), maka ini tidak benar, andaikata (pendapat itu) diterima, maka tidak semua bentuk hibah itu boleh menurut syari’at.
(Sebagaimana) hibah yang terkait dengan suatu pinjaman adalah riba. Karena itu, Abdullah bin Salam berkata kepada Abu Burdah radhiyallahu’anhuma,
“Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang riba tersebar padanya. Maka jika engkau memiliki hak pada seseorang kemudian dia menghadiahkan kepadamu sepikul jerami, sepikul gandum atau sepikul tumbuhan maka ia adalah riba.”[Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dalam Ash-Shahih]
Dan (hukum) hibah dilihat dari sebab terwujudnya hibah tersebut. Karena itu beliau ‘alaihish shalatu wa sallam bersabda kepada pekerjanya yang datang lalu berkata, “Ini untuk kalian, dan ini dihadiahkan kepada saya.” Beliau ‘alaihish shalatu wa sallam bersabda,
“Tidakkah sepantasnya engkau duduk di rumah ayahmu atau ibumu, lalu engkau menunggu apakah dihadiahkan kepadamu atau tidak?” [Muttafaqun’Alaih]
Dan komisi-komisi ini hanyalah diperoleh karena bergabung dalam sistem pemasaran berjejaring. Maka apapun namanya, baik itu hadiah, hibah atau selainnya, maka hal tersebut sama sekali tidak mengubah hakikat dan hukumnya.
Dan (juga) hal yang patut disebut disana ada beberapa perusahaan yang muncul di pasar bursa dengan sistem pemasaran berjejaring atau berpiramida (MLM) dalam transaksi mereka, seperti Smart Way, Gold Quest dan Seven Diamond. Dan hukumnya sama dengan perusahaan-perusaha an yang telah berlalu penyebutannya. Walaupun sebagiannya berbeda dengan yang lainnya pada produk-produk yang mereka perdagangkan.
Wabillahi taufiq wa shalallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi.
[Fatwa diatas ditanda-tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Azis Alu
Asy-Syaikh (ketua), Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdullah
Al-Ghudayyan, Syaikh Abdullah Ar-Rukban, Syaikh Ahmad Sair Al-Mubaraky
dan Syaikh Abdullah Al-Mutlaq
jam

Senin, 27 April 2009
tentang ritual YASINAN
Hadits Keempat:
6844- (إني فرضت على أمتي قراءة ((يس)) كل ليلة، فمن داوم على قراءتها كل ليلة ثم مات، مات شهيدا).
Artinya : "Sesungguhnya saya telah mewajibkan atas ummat saya membaca surah Yasin setiap malam, maka barang siapa yang selalu membacanya setiap malam, kemudian dia meninggal, meninggalnya dalam keadaan syahiid."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : Hadist ini Maudhuu` (palsu).
Diriwayatkan oleh Abu asy Syaikh di "as Tsawab", dari jalannya asy Syaikh asy Syajriy di "al Amaaliy" (1/118) berkata : telah menghadistkan pada kami Ibnu Abi `Aashim : telah menghadistkan pada kami `Umar bin Hafsh al Washaabiy : telah menghadistkan pada kami Sa`iid bin Muusaa : telah menghadistkan pada kami Rabaah bin Zaid dari Ma`mar dari az Zuhriy dari Anas marfuu`.
As Sayuuthiy menampilkan riwayat ini di "Dzeilul Ahaadiist al Maudhuu`ah" (hal.24) dari riwayat Abi asy Syaikh, kemudian beliau berkata : "Sa`iid rawi yang dituduh". Diakui oleh Ibnu `Iraaq di "Tanziihus Syarii`ah" (1/267).
Dan dari jalan al Washaabiy disebutkan bahagian yang kedua darinya- "barang siapa mengamalkannya terus menerus…."- at Thobbaraaniy di "al Mu`jamus Shoghiir" (hal.210-Hindiyah), dari jalannya al Khathiib di "at Taariikh) (3/245), dan berkata at Thobbaraaniy : "menyendiri dengannya Sa`iid." Berkata al Haitsamiy di "al Majma`" (7/97) : "diriwayatkan oleh at Thobbaraaniy di "as Shoghiir", padanya ada Sa`iid bin Muusaa al Azdiy, dia pendusta."
Baginya masih ada hadist hadist yang lain, maudhuu` (palsu) sangat jelas kepalsuannya, salah satunya di "as Sunnah" oleh Ibnu Abi `Aashim (1/305-306/696).
Telah lewat baginya hadist yang ketiga dengan no. 594. (ad Dho`iifah 14/2/789 no.6844).
Hadits Kelima:
Dan pada bab ini juga dari jalan Abu Bakr as Shiddiiq, tidak shohih dari sisi sanadnya, isnadnya lemah. [1]
وعن جندب رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "من قرأ ((يس)) في ليلة ابتغاء وجه الله: غفر له."
Artinya : Dari Jundub radhiallahu `anhu berkata : berkata Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam : "Barang siapa yang membaca "Yaasin" pada malam hari mencari Wajah Allah, Allah Tabaaraka wa Ta`aala mengampuni dosanya." [2]
Berkata asy Syaikh al Baaniy rahimahullahu `Ta`aala : Hadist ini dho`iif (lemah).
Hadits Keenam:
169- (إن لكل شيء قلبا، وإن قلب القرآن (يس)، من قرأها: فكأنما قرآ القرآن عشر مرات).
Artinya : "Sesungguhnya setiap sesuatu ada hatinya, dan sesungguhnya hati al Quraan adalah ((Yaasin)), barang siapa yang membacanya; seolah-olah dia telah membaca al Qur`aan sepuluh kali."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : Hadist ini maudhuu` (palsu).
Dikeluarkan oleh at Tirmidziy (4/46, ad Daarimiy (2/456 dari jalan Humeid bin `Abdirrahman dari al Hasan bin Shoolih dari Haarun Abi Muhammad dari Muqaatil bin Hibbaan dari Qataadah dari Anas marfuu`an. Berkata at Tirmidziy : "Hadist ini hasan ghariib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini, sedang Haarun abu Muhammad majhuul (tidak dikenal), pada bab ini juga dari Abu Bakr as Shiddiiq, tidak shohih, sebab sanadnya lemah, dan pada bab ini juga dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : demikian terdapat pada kitab kami sunan at Tirmidziy; "Hasan ghariib", dan dinuqil oleh al Mundziriy dalam "at Targhiib" (2/322), dan al Haafidz Ibnu Katsiir di "at Tafsiirnya" (3/563), al Haafidz di "at Tahdziib", sesungguhnya hadist ini lemah, sangat jelas kelemahannya, bahkan hadist ini maudhuu` (palsu) dikarenakan Haarun, sungguh telah berkata al Haafidz ad Dzahabiy ketika menjelaskan biografinya setelah dinukil dari at Tirmidziy dimana beliau mengatakan dia rawi yang majhul : "saya berkata : saya menuduhnya dengan apa yang telah diriwayatkan oleh al Qudhaa`iiy di "Syihaabihi", kemudian dia menampilkan baginya hadits ini".
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : dia pada no. (1035).
Di dalam "al `Ial" (2/55-56) oleh Ibnu Abi Haatim : "Saya bertanya kepada bapak saya tentang hadist ini? Beliau menjawab : Muqaatil ini, adalah Muqaatil bin Sulaimaan, saya melihat hadist ini di awal kitab yang dikarang oleh Muqaatil bin Sulaimaan, hadist ini hadist bathil tidak ada ashol baginya."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : Demikian telah dipastikan Abu Haatim-beliau al Imam al Hujjah- bahwa Muqaatil yang disebutkan dalam sanad ini ialah ibnu Sulaimaan, namun demikian terdapat di "sunan" at Tirmidziy dan ad Daarimiy "Muqaatil bin Hayyaan"; sebagaimana yang saya lihat, moga-moga saja kesalahan sebahagian dari para rawi. Disokong lagi bahwa hadist diriwayatkan oleh al Qadhaa`iiy; telah lewat, demikian juga Abul Fath al Azdiy dari jalan Humeid ar Ruaasiy dengan sanadnya yang telah lalu dari jalan Muqaatil dari Qataadah dengannya. Seperti ini dikatakan : "dari Muqaatil", tidak dia sandarkan kepadanya, maka mengira sebahagian rawi bahwa dia adalah Ibnu Hayyaan, disandarkan kepadanya, diantaranya al Azdiy sendiri, bahwasanya disebutkan dari Waqii` bahwa beliau berkata tentang Muqaatil bin Hayyaan : "disandarkan padanya kedustaan".
Berkata ad Dzahabiy : "Demikian dikatakan oleh Abul Fath, saya mengira samar-samar atasnya diantara Muqaatil bin Hayyaan dengan Muqaatil bin Sulaimaan, sedangkan Ibnu Hayyaan shoduuq, kuat dalam hadist, sedangkan yang dianggap dusta oleh Waqii` adalah Ibnu Sulaimaan. Kemudian berkata Abul Fath …."
Berkata al Imam al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : "Maka dia tampilkan sanad hadist sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini, kemudian al Imam ad Dzahabiy mengomentari dengan perkataannya : Saya berkata : "yang benar dia adalah Muqaatil bin Sulaimaan."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : "Apabila dia benar ibnu Sulaimaan; sebagaimana yang telah dibenarkan oleh ad Dzahabiy, dan lebih dipertegas lagi oleh Abu Haatim, maka hadist ini adalah maudhu`u (palsu) secara muthlaq; karena- maksud saya- Ibnu Sulaimaan- kadzaab (sangat pendusta); sebagaimana yang telah dikatakan oleh Waqii` dan selainnya.
Kemudian ketahuilah bahwa hadist Abi Bakar yang diisyaratkan oleh at Tirmidziy lalu beliau lemahkan, saya belum menemukan matannya, sedangkan hadist Abi Hurairah radhiallahu `anhu, telah berkata al Haafidz Ibnu Katsiir : "Manzhuurun (dikeritik) fiihi (padanya)". Kemudian dia berkata : "Berkata Abu Bakar al Bazzaar : telah menghadistkan kepada kami `Abdurrahman bin al Fadhl : telah menghadistkan kepada kami Zaid bin al Habbaab: telah menghadistkan kepada kami Humeid al Makkiy maulaa aali `Alqamah dari `Athoo bin Abi Rabaah dari Abi Hurairah marfuu`an dengannya, tanpa perkataan : "barang siapa yang membacanya….", kemudian al Bazzaar berkata : Kami tidak mengetahui yang meriwayatkannya kecuali Zaid dari Humeid."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : Dan Humeid ini majhuul (tidak dikenal); sebagaimana telah dikatakan oleh al Haafizh di "at Taqriib", `Abdurrahmaan bin al Fadhl guru al Bazzaar saya tidak mengetahuinya, dan hadistnya di "Kasyful Astaar" dengan no.2304.
Dan hadist ini diantara hadist-hadist yang telah menghiasi as Sayuuthiy kitabnya "al Jaami`us Shoghiir", demikian juga as Shobuniy di "mukhtashornya" (3/154), dia menda`wakan bahwa dia tidak menyebutkan kecuali hadist yang shohih saja!, sekali-kali tidak; ini hanya da`waan belaka! [3]
--------------------------------------------
[1] Lihat : "Sunan at Tirmidziy (5/150).
[2] Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : hadist ini diriwayatkan oleh Maalik dan Ibnu as Sunniy dan Ibnu Hibban di "shohihnya", (6/312 no.2574 pent.), at Thobaraaniy di "al Mu`jamus Shoghiir" (1/149) dan "al Ausath" (4/21 no.3509 pent).
Kemudian berkata asy Syaikh al Albaaniy : padanya ada `an`anah al Hasan al Bashriy, sedangkan pengembaliannya kepada Ibnu as Sunniy salah atau tidak disengaja, sesungguhnya disisinya no.(668) dari jalan al Hasan dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu! Hadist ini juga dikeluarkan oleh beliau di dalam "ad Dho`iifah" (14/293-296 no.6623); dan berkata beliau : diriwayatkan dari hadist Abi Hurairah dan Jundub bin `Abdullah dan `Abdullah bin Mas`uud dan Ma`qil bin Yasaar al Muzaniy radhiallahu `anhum.
1. Adapun hadist Abi Hurairah : ini yang paling masyhuur; dikeluarkan oleh ad Daarimiy (2/457), at Thoyaalisiy (2/23 no.1970), Ibnu as Sunniy (217/268), al `Uqailiy di "ad Dhu`afaa" (1/203), Abu Ya`laa (11/93-94), Ibnu `Adiy (1/416 dan 2/299), at Thobaraaniy di "al Mu`jamus Shoghiir" (hal.82 Hindi), di "al Ausath" (4/304/3533), Abu Nu`eiim di "al Hilyah" (2/159) dan di "Akhbaaru Ashbahaan" (1/252), al Baihaqiy di "as Syu`abu" (2/480/2462-2464), al Khathiib di "at Taarikh" (3/253), Ibnul Jauziy di "al Maudhuu`aat" (1/247) dari berbagai jalan dari al Hasan dari Abi Hurairah marfuu`an. Dan berkata Abu Nu`eiim : "Hadist ini telah meriwayatkannya dari al Hasan segolongan dari kalangan at Taabi`iin diantara mereka Yuunus bin `Ubeid dan Muhammad bin Juhaadah."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : "Dan yang paling terkuat sanad diantara keduanya ialah yang kedua, sampai sampai as Sayuuthiy berkata di "al Lalaaliy" (1/235) : "sanad hadist ini atas syarat (as Shohih)."
Kemudian beliau mengatakan : "Sebenarnya memang demikian; kalaulah bukan al Hasan- dia adalah al Bashriy- yang dikenal dengan "tadliis", dan diperselisihkan tentang mendengarnya dia dari Abu Hurairah radhiallahu `anhu, sebagaimana yang telah diceritakan oleh at Thobaraaniy setelah menampilkan hadist ini beliau berkata : "Sungguh dikatakan : sesungguhnya al Hasan tidak mendengar dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu, dan berkata sebahagian ahli `Ilmu : bahwa sungguh-sungguh dia telah mendengar darinya."
Sedangkan yang telah ditetapkan oleh al Haafidz di dalam "at Tahdziib" bahwa dia telah mendengar darinya sebahagian; akan tetapi ini tidak ada mamfa`atnya bagi seorang rawi yang "mudallis" sampai dia betul-betul menshorehkan bahwa dia telah mendengar yang tidak akan menimbulkan penafsiran yang lainnya lagi."
Kata asy Syaikh al Baaniy : "Betul; diriwayat Abu Ya`laa perkataannya : "Saya telah mendengar Aba Hurairah"; akan tetapi rawi yang meriwayatkan darinya (dari al Hasan) Hisyaam bin Ziyaad- dia : Abul Miqdaam al Madaniy; dia rawi "matruuk" (ditinggalkan)- sebagaimana yang telah dikatakan oleh an Nasaaiiy dan adz Dzahaabiy dan al `Atsqalaaniy-, yang jelas keadaannya tersembunyi bagi al Haafidz Ibnu Katsiir; maka beliau berkata di "at Tafsiir" (3/563) : "sanad hadist ini jaiyid (baik)."
2. Adapun hadist Jundub bin `Abdillah : telah meriwayatkannya Muhammad bin Juhaadah dari al Hasan dari Jundub."
Dikeluarkan oleh Ibnu Hibbaan (665-mawaarid).
`Illah (cacat)nya sama seperti yang telah dijelaskan di atas, Cuma ditambahkan padanya perselisihan pada Muhammad bin Juhaadah dalam sanadnya, kemudian pada al Hasan itu sendiri.
3. Adapun hadist Ibnu Mas`uud radhiallahu `anhu : meriwayatkannya Abu Maryam dari `Amr bin Murrah dari al Haarits bin Suweid dari Ibnu Mas`uud.
Dikeluarkan oleh Abu Nu`eiim (4/130) dan berkata beliau : "Hadist ghariib (dho`iif/lemah), tidak meriwayatkannya dari `Amr kecuali Abu Maryam-dia adalah: `Abdul Ghaffaar bin al Qaasim-: kuufiyun dalam hadistnya liin (kelemahan)."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : "Bahkan itu saja, lebih jelek dari itu; sungguh telah berkata tentangnya Ibnul Madiiniy dan Abu Daawud : "Dia pemalsu hadist."
4. Dan adapun hadist Ma`qil bin Yasaar : meriwayatkannya Muslim bin Ibraahim bin `Abdillah : telah menghadistkan kepada kami Abu `Umar ad Dhariir : telah menghadistkan kepada kami al Mu`tamar bin Sulaimaan dari bapaknya dari seorang lelaki dari Ma`qil.
Dikeluarkan oleh al Baihaqiy (2458).
Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : "Sanad hadist ini gelap; Muslim bin Ibraahim `Abdillah : saya tidak mengenalnya, dan lelaki yang disebutkan dalam sanad hadist ini : majhuul (tidak dikenal), tidak disebutkan namanya, dan saya kira dia adalah : (Abu `Utsmaan-bukan an Nahdiy); sesungguhnya telah meriwayatkan al Mu`tamar bin Sulaimaan dari bapaknya dari Ma`qil hadist yang lain tentang keutamaan ((Yaasin)), hadist ini telah saya keluarkan dalam kitab : "al Irwaa" (3/150-151) dan "al Misykaah" (1622), dan Abu `Utsmaan rawi yang tidak dikenal,- dia bukan an Nahdiy rawi yang terpecaya."
Kesimpulan : Tidak terdapat pada jalan jalan hadist ini apa-apa yang memungkinkan untuk diberikan padanya satu hal menguatkannya, sungguh telah diisyaratkan tentang demikian oleh al `Uqailiy dengan perkataannya setelah menampilkan hadist ini : "Dan riwayat pada matan seperti ini lemah". Dan berkata ad Daaruquthniy : "Hadist ini sesungguhnya telah diriwayatkan secara marfuu` dan mauquuf, dan tidak satupun yang shohih". Telah menuqilnya Ibnul Jauziy.
Sesungguhnya telah diriwayatkan hadist ini dengan lafazh lafazh yang lain pada sebahagiannya munkar yang bersangatan; bahkan sungguh bekas pemalsuan atasnya jelas sekali, dan telah terdahulu sebahagiannya dengan nomor : (169, 4634).
Peringatan : al Haafidz al Mundziriy telah menyandarkan hadist ini didua tempat di "at Targhiib" (2/222,257) kepada Ibnu as Sunniy dan Ibnu Hibbaan di "shohihnya" dari Jundub bin `Abdullah. Tidak ada sebenarnya disisi Ibnu as Sunniy kecuali hadist Abu Hurairah radhiallahu `anhu; seolah-olah dia menggiringkan hadist Jundub kepadanya! Dan ini merupakan sikap bermudah mudah yang tidak disenangi padanya. Dan juga beliau menyandarkannya ditempat yang pertama kepada Maalik. Mudah-mudahan saja ketegelinciran pena, atau tambahan pada sebahagian munuskrip; sesungguhnya saya tidak menemukannya di "al Muwattho`"- Inilah tujuan penyandaran secara muthlaq kepadanya- dengan mencari bantuan atas demikian itu dengan membuka daftar-daftar pembahasan pada hari ini, apakah yang khusus atau yang lebih umum. ("Silsilatul Ahaadiist ad Dho`iifah wal Maudhuu`ah" 14/1/293-296 no.6623), karya al Imam al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala.)
[3] Lihat : "Silsilatul Ahaadiist ad Dho`iifah wal Maudhuu`ah", karya al Imam al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala, (1/212-214 no.169).
Sumber : Buletin Jum'at Ta'zhim As-Sunnah Edisi 17 Safar 1429 H
http://tazhimussunnah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=30&Itemid=32
6844- (إني فرضت على أمتي قراءة ((يس)) كل ليلة، فمن داوم على قراءتها كل ليلة ثم مات، مات شهيدا).
Artinya : "Sesungguhnya saya telah mewajibkan atas ummat saya membaca surah Yasin setiap malam, maka barang siapa yang selalu membacanya setiap malam, kemudian dia meninggal, meninggalnya dalam keadaan syahiid."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : Hadist ini Maudhuu` (palsu).
Diriwayatkan oleh Abu asy Syaikh di "as Tsawab", dari jalannya asy Syaikh asy Syajriy di "al Amaaliy" (1/118) berkata : telah menghadistkan pada kami Ibnu Abi `Aashim : telah menghadistkan pada kami `Umar bin Hafsh al Washaabiy : telah menghadistkan pada kami Sa`iid bin Muusaa : telah menghadistkan pada kami Rabaah bin Zaid dari Ma`mar dari az Zuhriy dari Anas marfuu`.
As Sayuuthiy menampilkan riwayat ini di "Dzeilul Ahaadiist al Maudhuu`ah" (hal.24) dari riwayat Abi asy Syaikh, kemudian beliau berkata : "Sa`iid rawi yang dituduh". Diakui oleh Ibnu `Iraaq di "Tanziihus Syarii`ah" (1/267).
Dan dari jalan al Washaabiy disebutkan bahagian yang kedua darinya- "barang siapa mengamalkannya terus menerus…."- at Thobbaraaniy di "al Mu`jamus Shoghiir" (hal.210-Hindiyah), dari jalannya al Khathiib di "at Taariikh) (3/245), dan berkata at Thobbaraaniy : "menyendiri dengannya Sa`iid." Berkata al Haitsamiy di "al Majma`" (7/97) : "diriwayatkan oleh at Thobbaraaniy di "as Shoghiir", padanya ada Sa`iid bin Muusaa al Azdiy, dia pendusta."
Baginya masih ada hadist hadist yang lain, maudhuu` (palsu) sangat jelas kepalsuannya, salah satunya di "as Sunnah" oleh Ibnu Abi `Aashim (1/305-306/696).
Telah lewat baginya hadist yang ketiga dengan no. 594. (ad Dho`iifah 14/2/789 no.6844).
Hadits Kelima:
Dan pada bab ini juga dari jalan Abu Bakr as Shiddiiq, tidak shohih dari sisi sanadnya, isnadnya lemah. [1]
وعن جندب رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "من قرأ ((يس)) في ليلة ابتغاء وجه الله: غفر له."
Artinya : Dari Jundub radhiallahu `anhu berkata : berkata Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam : "Barang siapa yang membaca "Yaasin" pada malam hari mencari Wajah Allah, Allah Tabaaraka wa Ta`aala mengampuni dosanya." [2]
Berkata asy Syaikh al Baaniy rahimahullahu `Ta`aala : Hadist ini dho`iif (lemah).
Hadits Keenam:
169- (إن لكل شيء قلبا، وإن قلب القرآن (يس)، من قرأها: فكأنما قرآ القرآن عشر مرات).
Artinya : "Sesungguhnya setiap sesuatu ada hatinya, dan sesungguhnya hati al Quraan adalah ((Yaasin)), barang siapa yang membacanya; seolah-olah dia telah membaca al Qur`aan sepuluh kali."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : Hadist ini maudhuu` (palsu).
Dikeluarkan oleh at Tirmidziy (4/46, ad Daarimiy (2/456 dari jalan Humeid bin `Abdirrahman dari al Hasan bin Shoolih dari Haarun Abi Muhammad dari Muqaatil bin Hibbaan dari Qataadah dari Anas marfuu`an. Berkata at Tirmidziy : "Hadist ini hasan ghariib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini, sedang Haarun abu Muhammad majhuul (tidak dikenal), pada bab ini juga dari Abu Bakr as Shiddiiq, tidak shohih, sebab sanadnya lemah, dan pada bab ini juga dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : demikian terdapat pada kitab kami sunan at Tirmidziy; "Hasan ghariib", dan dinuqil oleh al Mundziriy dalam "at Targhiib" (2/322), dan al Haafidz Ibnu Katsiir di "at Tafsiirnya" (3/563), al Haafidz di "at Tahdziib", sesungguhnya hadist ini lemah, sangat jelas kelemahannya, bahkan hadist ini maudhuu` (palsu) dikarenakan Haarun, sungguh telah berkata al Haafidz ad Dzahabiy ketika menjelaskan biografinya setelah dinukil dari at Tirmidziy dimana beliau mengatakan dia rawi yang majhul : "saya berkata : saya menuduhnya dengan apa yang telah diriwayatkan oleh al Qudhaa`iiy di "Syihaabihi", kemudian dia menampilkan baginya hadits ini".
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : dia pada no. (1035).
Di dalam "al `Ial" (2/55-56) oleh Ibnu Abi Haatim : "Saya bertanya kepada bapak saya tentang hadist ini? Beliau menjawab : Muqaatil ini, adalah Muqaatil bin Sulaimaan, saya melihat hadist ini di awal kitab yang dikarang oleh Muqaatil bin Sulaimaan, hadist ini hadist bathil tidak ada ashol baginya."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : Demikian telah dipastikan Abu Haatim-beliau al Imam al Hujjah- bahwa Muqaatil yang disebutkan dalam sanad ini ialah ibnu Sulaimaan, namun demikian terdapat di "sunan" at Tirmidziy dan ad Daarimiy "Muqaatil bin Hayyaan"; sebagaimana yang saya lihat, moga-moga saja kesalahan sebahagian dari para rawi. Disokong lagi bahwa hadist diriwayatkan oleh al Qadhaa`iiy; telah lewat, demikian juga Abul Fath al Azdiy dari jalan Humeid ar Ruaasiy dengan sanadnya yang telah lalu dari jalan Muqaatil dari Qataadah dengannya. Seperti ini dikatakan : "dari Muqaatil", tidak dia sandarkan kepadanya, maka mengira sebahagian rawi bahwa dia adalah Ibnu Hayyaan, disandarkan kepadanya, diantaranya al Azdiy sendiri, bahwasanya disebutkan dari Waqii` bahwa beliau berkata tentang Muqaatil bin Hayyaan : "disandarkan padanya kedustaan".
Berkata ad Dzahabiy : "Demikian dikatakan oleh Abul Fath, saya mengira samar-samar atasnya diantara Muqaatil bin Hayyaan dengan Muqaatil bin Sulaimaan, sedangkan Ibnu Hayyaan shoduuq, kuat dalam hadist, sedangkan yang dianggap dusta oleh Waqii` adalah Ibnu Sulaimaan. Kemudian berkata Abul Fath …."
Berkata al Imam al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : "Maka dia tampilkan sanad hadist sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini, kemudian al Imam ad Dzahabiy mengomentari dengan perkataannya : Saya berkata : "yang benar dia adalah Muqaatil bin Sulaimaan."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : "Apabila dia benar ibnu Sulaimaan; sebagaimana yang telah dibenarkan oleh ad Dzahabiy, dan lebih dipertegas lagi oleh Abu Haatim, maka hadist ini adalah maudhu`u (palsu) secara muthlaq; karena- maksud saya- Ibnu Sulaimaan- kadzaab (sangat pendusta); sebagaimana yang telah dikatakan oleh Waqii` dan selainnya.
Kemudian ketahuilah bahwa hadist Abi Bakar yang diisyaratkan oleh at Tirmidziy lalu beliau lemahkan, saya belum menemukan matannya, sedangkan hadist Abi Hurairah radhiallahu `anhu, telah berkata al Haafidz Ibnu Katsiir : "Manzhuurun (dikeritik) fiihi (padanya)". Kemudian dia berkata : "Berkata Abu Bakar al Bazzaar : telah menghadistkan kepada kami `Abdurrahman bin al Fadhl : telah menghadistkan kepada kami Zaid bin al Habbaab: telah menghadistkan kepada kami Humeid al Makkiy maulaa aali `Alqamah dari `Athoo bin Abi Rabaah dari Abi Hurairah marfuu`an dengannya, tanpa perkataan : "barang siapa yang membacanya….", kemudian al Bazzaar berkata : Kami tidak mengetahui yang meriwayatkannya kecuali Zaid dari Humeid."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : Dan Humeid ini majhuul (tidak dikenal); sebagaimana telah dikatakan oleh al Haafizh di "at Taqriib", `Abdurrahmaan bin al Fadhl guru al Bazzaar saya tidak mengetahuinya, dan hadistnya di "Kasyful Astaar" dengan no.2304.
Dan hadist ini diantara hadist-hadist yang telah menghiasi as Sayuuthiy kitabnya "al Jaami`us Shoghiir", demikian juga as Shobuniy di "mukhtashornya" (3/154), dia menda`wakan bahwa dia tidak menyebutkan kecuali hadist yang shohih saja!, sekali-kali tidak; ini hanya da`waan belaka! [3]
--------------------------------------------
[1] Lihat : "Sunan at Tirmidziy (5/150).
[2] Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : hadist ini diriwayatkan oleh Maalik dan Ibnu as Sunniy dan Ibnu Hibban di "shohihnya", (6/312 no.2574 pent.), at Thobaraaniy di "al Mu`jamus Shoghiir" (1/149) dan "al Ausath" (4/21 no.3509 pent).
Kemudian berkata asy Syaikh al Albaaniy : padanya ada `an`anah al Hasan al Bashriy, sedangkan pengembaliannya kepada Ibnu as Sunniy salah atau tidak disengaja, sesungguhnya disisinya no.(668) dari jalan al Hasan dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu! Hadist ini juga dikeluarkan oleh beliau di dalam "ad Dho`iifah" (14/293-296 no.6623); dan berkata beliau : diriwayatkan dari hadist Abi Hurairah dan Jundub bin `Abdullah dan `Abdullah bin Mas`uud dan Ma`qil bin Yasaar al Muzaniy radhiallahu `anhum.
1. Adapun hadist Abi Hurairah : ini yang paling masyhuur; dikeluarkan oleh ad Daarimiy (2/457), at Thoyaalisiy (2/23 no.1970), Ibnu as Sunniy (217/268), al `Uqailiy di "ad Dhu`afaa" (1/203), Abu Ya`laa (11/93-94), Ibnu `Adiy (1/416 dan 2/299), at Thobaraaniy di "al Mu`jamus Shoghiir" (hal.82 Hindi), di "al Ausath" (4/304/3533), Abu Nu`eiim di "al Hilyah" (2/159) dan di "Akhbaaru Ashbahaan" (1/252), al Baihaqiy di "as Syu`abu" (2/480/2462-2464), al Khathiib di "at Taarikh" (3/253), Ibnul Jauziy di "al Maudhuu`aat" (1/247) dari berbagai jalan dari al Hasan dari Abi Hurairah marfuu`an. Dan berkata Abu Nu`eiim : "Hadist ini telah meriwayatkannya dari al Hasan segolongan dari kalangan at Taabi`iin diantara mereka Yuunus bin `Ubeid dan Muhammad bin Juhaadah."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : "Dan yang paling terkuat sanad diantara keduanya ialah yang kedua, sampai sampai as Sayuuthiy berkata di "al Lalaaliy" (1/235) : "sanad hadist ini atas syarat (as Shohih)."
Kemudian beliau mengatakan : "Sebenarnya memang demikian; kalaulah bukan al Hasan- dia adalah al Bashriy- yang dikenal dengan "tadliis", dan diperselisihkan tentang mendengarnya dia dari Abu Hurairah radhiallahu `anhu, sebagaimana yang telah diceritakan oleh at Thobaraaniy setelah menampilkan hadist ini beliau berkata : "Sungguh dikatakan : sesungguhnya al Hasan tidak mendengar dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu, dan berkata sebahagian ahli `Ilmu : bahwa sungguh-sungguh dia telah mendengar darinya."
Sedangkan yang telah ditetapkan oleh al Haafidz di dalam "at Tahdziib" bahwa dia telah mendengar darinya sebahagian; akan tetapi ini tidak ada mamfa`atnya bagi seorang rawi yang "mudallis" sampai dia betul-betul menshorehkan bahwa dia telah mendengar yang tidak akan menimbulkan penafsiran yang lainnya lagi."
Kata asy Syaikh al Baaniy : "Betul; diriwayat Abu Ya`laa perkataannya : "Saya telah mendengar Aba Hurairah"; akan tetapi rawi yang meriwayatkan darinya (dari al Hasan) Hisyaam bin Ziyaad- dia : Abul Miqdaam al Madaniy; dia rawi "matruuk" (ditinggalkan)- sebagaimana yang telah dikatakan oleh an Nasaaiiy dan adz Dzahaabiy dan al `Atsqalaaniy-, yang jelas keadaannya tersembunyi bagi al Haafidz Ibnu Katsiir; maka beliau berkata di "at Tafsiir" (3/563) : "sanad hadist ini jaiyid (baik)."
2. Adapun hadist Jundub bin `Abdillah : telah meriwayatkannya Muhammad bin Juhaadah dari al Hasan dari Jundub."
Dikeluarkan oleh Ibnu Hibbaan (665-mawaarid).
`Illah (cacat)nya sama seperti yang telah dijelaskan di atas, Cuma ditambahkan padanya perselisihan pada Muhammad bin Juhaadah dalam sanadnya, kemudian pada al Hasan itu sendiri.
3. Adapun hadist Ibnu Mas`uud radhiallahu `anhu : meriwayatkannya Abu Maryam dari `Amr bin Murrah dari al Haarits bin Suweid dari Ibnu Mas`uud.
Dikeluarkan oleh Abu Nu`eiim (4/130) dan berkata beliau : "Hadist ghariib (dho`iif/lemah), tidak meriwayatkannya dari `Amr kecuali Abu Maryam-dia adalah: `Abdul Ghaffaar bin al Qaasim-: kuufiyun dalam hadistnya liin (kelemahan)."
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : "Bahkan itu saja, lebih jelek dari itu; sungguh telah berkata tentangnya Ibnul Madiiniy dan Abu Daawud : "Dia pemalsu hadist."
4. Dan adapun hadist Ma`qil bin Yasaar : meriwayatkannya Muslim bin Ibraahim bin `Abdillah : telah menghadistkan kepada kami Abu `Umar ad Dhariir : telah menghadistkan kepada kami al Mu`tamar bin Sulaimaan dari bapaknya dari seorang lelaki dari Ma`qil.
Dikeluarkan oleh al Baihaqiy (2458).
Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : "Sanad hadist ini gelap; Muslim bin Ibraahim `Abdillah : saya tidak mengenalnya, dan lelaki yang disebutkan dalam sanad hadist ini : majhuul (tidak dikenal), tidak disebutkan namanya, dan saya kira dia adalah : (Abu `Utsmaan-bukan an Nahdiy); sesungguhnya telah meriwayatkan al Mu`tamar bin Sulaimaan dari bapaknya dari Ma`qil hadist yang lain tentang keutamaan ((Yaasin)), hadist ini telah saya keluarkan dalam kitab : "al Irwaa" (3/150-151) dan "al Misykaah" (1622), dan Abu `Utsmaan rawi yang tidak dikenal,- dia bukan an Nahdiy rawi yang terpecaya."
Kesimpulan : Tidak terdapat pada jalan jalan hadist ini apa-apa yang memungkinkan untuk diberikan padanya satu hal menguatkannya, sungguh telah diisyaratkan tentang demikian oleh al `Uqailiy dengan perkataannya setelah menampilkan hadist ini : "Dan riwayat pada matan seperti ini lemah". Dan berkata ad Daaruquthniy : "Hadist ini sesungguhnya telah diriwayatkan secara marfuu` dan mauquuf, dan tidak satupun yang shohih". Telah menuqilnya Ibnul Jauziy.
Sesungguhnya telah diriwayatkan hadist ini dengan lafazh lafazh yang lain pada sebahagiannya munkar yang bersangatan; bahkan sungguh bekas pemalsuan atasnya jelas sekali, dan telah terdahulu sebahagiannya dengan nomor : (169, 4634).
Peringatan : al Haafidz al Mundziriy telah menyandarkan hadist ini didua tempat di "at Targhiib" (2/222,257) kepada Ibnu as Sunniy dan Ibnu Hibbaan di "shohihnya" dari Jundub bin `Abdullah. Tidak ada sebenarnya disisi Ibnu as Sunniy kecuali hadist Abu Hurairah radhiallahu `anhu; seolah-olah dia menggiringkan hadist Jundub kepadanya! Dan ini merupakan sikap bermudah mudah yang tidak disenangi padanya. Dan juga beliau menyandarkannya ditempat yang pertama kepada Maalik. Mudah-mudahan saja ketegelinciran pena, atau tambahan pada sebahagian munuskrip; sesungguhnya saya tidak menemukannya di "al Muwattho`"- Inilah tujuan penyandaran secara muthlaq kepadanya- dengan mencari bantuan atas demikian itu dengan membuka daftar-daftar pembahasan pada hari ini, apakah yang khusus atau yang lebih umum. ("Silsilatul Ahaadiist ad Dho`iifah wal Maudhuu`ah" 14/1/293-296 no.6623), karya al Imam al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala.)
[3] Lihat : "Silsilatul Ahaadiist ad Dho`iifah wal Maudhuu`ah", karya al Imam al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala, (1/212-214 no.169).
Sumber : Buletin Jum'at Ta'zhim As-Sunnah Edisi 17 Safar 1429 H
http://tazhimussunnah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=30&Itemid=32
Kamis, 23 April 2009
pentingnya Persatuan
Kondisi umat Islam yang berpecah sering
memunculkan keprihatinan. Dari beberapa tokoh Islam sering muncul
ajakan agar semua kelompok bersatu dalam satu wadah, tidak perlu
mempermasalahkan perbedaan yang ada karena yang penting tujuannya sama
yaitu memajukan Islam. Mungkinkah umat Islam bersatu dan bagaimana
caranya?
Persatuan dan perpecahan merupakan dua kata yang saling berlawanan.
Persatuan identik dengan keutuhan, persaudaraan, kesepakatan, dan
perkumpulan. Sedangkan perpecahan identik dengan perselisihan,
permusuhan, pertentangan dan perceraian.
Persatuan merupakan perkara yang diridhai dan diperintahkan oleh
Allah, sedangkan perpecahan merupakan perkara yang dibenci dan dilarang
oleh-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah telah
memerintahkan kepada mereka (umat Islam, red) untuk bersatu dan
melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat
larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 1/367)
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Sesungguhnya
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan
kepada kita satu jalan yang wajib ditempuh oleh seluruh kaum muslimin,
yang merupakan jalan yang lurus dan manhaj bagi agama-Nya yang benar
ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bahwasanya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanku yang
lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari
jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian agar
kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153).
Sebagaimana pula Dia telah melarang umat Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dari perpecahan dan perselisihan pendapat, karena yang
demikian itu merupakan sebab terbesar dari kegagalan dan merupakan
kemenangan bagi musuh. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)
Dan firman-Nya ta’ala:
Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan ‘Isa, yaitu: ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kalian
berpecah belah tentangnya’. Amat berat bagi orang musyrik agama yang
kalian seru mereka kepada-Nya.” (Asy-Syura: 13).
(Majmu’ Fataawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah, 5/202, dinukil dari
kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali, hal. 176)
Asas dan Hakekat Persatuan
Asas bagi persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah,
bukanlah kesukuan, organisasi, kelompok, daerah, partai, dan lain
sebagainya. Akan tetapi asasnya adalah: Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
pemahaman As-Salafush Shalih. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala
mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al Quran)
dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi
perselisihan. Ia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas
Al Qur’an dan As Sunnah secara keyakinan dan amalan, itulah sebab
keselarasan kata dan bersatunya apa yang tercerai-berai, yang dengannya
akan teraih maslahat dunia dan agama serta selamat dari perselisihan…”
(Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sebagaimana
tidak ada generasi yang lebih sempurna dari generasi para shahabat,
maka tidak ada pula kelompok setelah mereka yang lebih sempurna dari
para pengikut mereka. Maka dari itu siapa saja yang lebih kuat dalam
mengikuti hadits Rasulullah dan Sunnahnya, serta jejak para shahabat,
maka ia lebih sempurna. Kelompok yang seperti ini keadaannya, akan
lebih utama dalam hal persatuan, petunjuk, berpegang teguh dengan tali
(agama) Allah dan lebih terjauhkan dari perpecahan, perselisihan, dan
fitnah. Dan siapa saja yang menyimpang jauh dari itu (Sunnah Rasulullah
dan jejak para shahabat), maka ia akan lebih jauh dari rahmat Allah dan
lebih terjerumus ke dalam fitnah.” (Minhaajus Sunnah, 6/368)
Oleh karena itu, walaupun berbeda-beda wadah, organisasi, yayasan
dan semacamnya, namun dengan syarat “tidak fanatik dengan ‘wadah’-nya
dan berada di atas satu manhaj”, berpegang teguh dengan Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman para
shahabat (As-Salafush Shalih), maka ia tetap dinyatakan dalam koridor
persatuan dan bukan bagian dari perpecahan.
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak
masalah jika mereka berkelompok-kelompok di atas jalan ini, satu
kelompok di Ib dan satu kelompok di Shan’a, akan tetapi semuanya berada
di atas manhaj salaf, mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, berdakwah di
jalan Allah dan ber-intisab kepada Ahlus Sunnah Wal Jamaah, tanpa ada
sikap fanatik terhadap kelompoknya. Yang demikian ini tidak mengapa,
walaupun berkelompok-kelompok, asalkan satu tujuan dan satu jalan
(manhaj).” (At-Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, karya Dr. Utsman
bin Mu’allim Mahmud dan Dr. Ahmad bin Haji Muhammad, hal. 15).
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
“Bila kita anggap bahwa di negeri-negeri kaum muslimin terdapat
kelompok-kelompok yang berada di atas manhaj ini (manhaj salaf, pen),
maka tidak termasuk kelompok-kelompok perpecahan. Sungguh ia adalah
satu jamaah, manhajnya satu dan jalannya pun satu. Maka
terpisah-pisahnya mereka di suatu negeri bukanlah karena perbedaan
pemikiran, aqidah dan manhaj, akan tetapi semata perbedaan letak/tempat
di negeri-negeri tersebut. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok dan
golongan-golongan yang ada, yang mereka itu berada di satu negeri namun
masing-masing merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya.”
(Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 180).
Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa bila suatu persatuan
berasaskan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih) maka itulah
sesungguhnya hakekat persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun terpisahkan oleh tempat.
Bahaya Perpecahan
Bila kita telah mengetahui bahwa hakekat persatuan yang diridhai
dan diperintahkan oleh Allah adalah yang berasaskan Al Qur’an dan As
Sunnah dengan pemahaman As-Salafush Shalih, maka bagaimana dengan
firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang ada di masyarakat kaum muslimin,
yang masing-masing berpegang dengan prinsip dan aturan kelompoknya,
saling bangga satu atas yang lain, loyalitasnya dibangun di atas
kungkungan ikatan kelompok, apakah sebagai embrio persatuan umat,
ataukah sebagai wujud perpecahan umat?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak diragukan
lagi bahwa banyaknya firqah dan jamaah di masyarakat kaum muslimin
merupakan sesuatu yang diupayakan oleh setan dan musuh-musuh Islam dari
kalangan manusia.” (Majmu’ Fataawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah, 5/204,
dinukil dari kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 177).
Beliau juga berkata: “Adapun berkelompok untuk Ikhwanul Muslimin
atau Jama’ah Tabligh atau demikian dan demikian, kami tidak
menasehatkannya, ini salah! Akan tetapi kami nasehatkan mereka semua
agar menjadi satu golongan, satu kelompok, saling berwasiat dengan
kebenaran dan kesabaran, serta bersandar kepada Ahlus Sunnah Wal
Jamaah.” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal. 15).
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
“Tidaklah asing bagi setiap muslim yang memahami Al Qur’an dan As
Sunnah serta manhaj As-Salafush Shalih, bahwasanya bergolong-golongan
bukan dari ajaran Islam, bahkan termasuk yang dilarang oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat dari Al Qur’anul Karim, di
antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32).[Fataawa Asy-Syaikh
Al-Albani, karya ‘Ukasyah Abdul Mannan, hal. 106, dinukil dari Jama’ah
Wahidah Laa Jama’at, hal. 178]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Dan tidak diragukan lagi bahwa kelompok-kelompok ini menyelisihi apa
yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan
menyelisihi apa yang selalu dihimbau dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kalian semua, agama
yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka bertakwalah kepada-Ku.”
(Al-Mu’minun: 52)
Lebih-lebih tatkala kita melihat akibat dari perpecahan dan
bergolong-golongan ini, di mana tiap-tiap golongan mengklaim yang
lainnya dengan kejelekan, cercaan dan kefasikan, bahkan bisa lebih dari
itu. Oleh karena itu saya memandang bahwa bergolong-golongan ini adalah
perbuatan yang salah.” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal.
16).
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Agama kita adalah
agama persatuan, dan perpecahan bukanlah dari agama. Maka berbilangnya
jamaah-jamaah ini bukanlah dari ajaran agama, karena agama
memerintahkan kepada kita agar menjadi satu jamaah.” (Muraja’at fii
Fiqhil Waaqi’ As Siyaasi wal Fikri, karya Dr. Abdullah bin Muhammad
Ar-Rifa’i rahimahullah, hal. 44-45).
Beliau juga berkata: “Hanya saja akhir-akhir ini, muncul
kelompok-kelompok yang disandarkan kepada dakwah dan bergerak di bawah
kepemimpinan yang khusus, masing-masing kelompok membuat manhaj
tersendiri, yang akhirnya mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan
pertentangan di antara mereka, yang tentunya ini dibenci oleh agama dan
terlarang di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.” (Taqdim/Muqaddimah kitab
Jama’ah Wahidah Laa Jama’at).
Bukankah mereka juga berpegang dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah? Demikian terkadang letupan hati berbunyi.
Asy-Syaikh Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi berkata: “Jika benar apa
yang dinyatakan oleh kelompok-kelompok yang amat banyak ini, bahwa
mereka berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah, niscaya mereka tidak
akan berpecah belah, karena kebenaran itu hanya satu dan berbilangnya
mereka merupakan bukti yang kuat atas perselisihan di antara mereka,
suatu perselisihan yang muncul dikarenakan masing-masing kelompok
berpegang dengan prinsip yang berbeda dengan kelompok lainnya. Tatkala
keadaannya demikian, pasti terjadi perselisihan, perpecahan, dan
permusuhan.” (An-Nashrul Azis ‘Alaa Ar Raddil Waziz, karya Asy-Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al Madkhali rahimahullah, hal. 46)
Pertanyaan Penting
1.Bagaimanakah masuk menjadi anggota kelompok-kelompok yang ada dengan tujuan ingin memperbaiki dari dalam ?
Asy-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baaz rahimahullah berkata: “Adapun
berkunjung untuk mendamaikan di antara mereka, mengajak dan mengarahkan
kepada kebaikan dan menasehati mereka, dengan tetap berpijak di atas
jalan Ahlus Sunnah Wal Jamaah maka tidak apa-apa. Adapun menjadi
anggota mereka, maka tidak boleh. Dan jika mengunjungi Ikhwanul
Muslimin atau Firqah Tabligh dan menasehati mereka karena Allah seraya
berkata: ‘Tinggalkanlah oleh kalian fanatisme, wajib bagi kalian
(menerima) Al Qur’an dan As Sunnah, berpegang teguhlah dengan keduanya,
bergabunglah kalian bersama orang-orang yang baik, tinggalkanlah
perpecahan dan perselisihan’, maka ini adalah nasehat yang baik.”
(At-Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, hal. 15-16)
2. Bukankah dengan adanya peringatan terhadap kelompok-kelompok yang
ada dan para tokohnya, justru semakin membuat perpecahan dan tidak akan
terwujud persatuan?
Asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim Al-‘Utsman berkata: “Kebanyakan
orang-orang awam dari kaum muslimin kebingungan dalam permasalahan ini,
mereka mengatakan: ‘Mengapa sesama ulama kok saling memperingatkan satu
dari yang lain?!’ Di kalangan terpelajar pun demikian, mereka meminta
agar bantahan dan peringatan terhadap orang-orang yang salah dan
ahlulbid’ah dihentikan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan umat.
Mereka tidak mengetahui bahwa bid’ah-bid’ah, kesalahan-kesalahan dan
jalan yang berbeda-beda (dalam memahami agama ini, pen) justru
merupakan faktor utama penyebab perpecahan, dan faktor utama yang dapat
mengeluarkan manusia dari jalan yang lurus. Dengan tetap adanya
jalan-jalan yang menyimpang itu, tidak akan terwujud persatuan
selama-lamanya.” (Zajrul Mutahaawin bi Dharari Qa’idah Al-Ma’dzirah
Watta’aawun, hal. 98)
Nasehat dan Ajakan
Asy-Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah Al-Jabiri berkata: “Tidak ada solusi
dari perpecahan, tercabik-cabiknya kekuatan dan rapuhnya barisan
kecuali dengan dua perkara:
Pertama: Menanggalkan segala macam bentuk penyandaran (atau
keanggotaan) yang dibangun di atas ikatan kelompok-kelompok nan sempit,
yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan.
Kedua: Kembali kepada jamaah Salafiyyah (yang bermanhaj salaf,
pen), karena sesungguhnya dia adalah ajaran yang lurus, dan cahaya
putih yang terang benderang, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah
ada yang tersesat darinya kecuali orang-orang yang binasa. Dia adalah
Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat, pen), dan At-Thaifah
Al-Manshurah (kelompok yang ditolong dan dimenangkan oleh Allah, pen).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ‘Tidak tercela bagi
siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar
kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati dan wajib diterima,
karena manhaj salaf pasti benar...’.” (Tanbih Dzawil ‘Uquulis Salimah
ilaa Fawaida Mustanbathah Minassittatil Ushulil ‘Azhimah, hal. 24).
Sungguh benar apa yang dinasehatkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid bin
Abdullah Al-Jabiri, karena As-Salafiyyah tidaklah sama dengan
kelompok-kelompok yang ada. As-Salafiyyah tidaklah dibatasi
(terkungkung) oleh organisasi tertentu, kelompok tertentu, daerah
tertentu, pemimpin tertentu… suatu kungkungan hizbiyyah yang sempit,
bahkan As-Salafiyyah dibangun di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman As-Salafush Shalih. Siapa
pun yang berpegang teguh dengannya maka ia adalah saudara, walaupun
dipisahkan oleh tempat dan waktu… suatu ikatan suci yang dihubungkan
oleh ikatan manhaj, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan para shahabatnya.
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala, senantiasa menjauhkan kita
semua dari perpecahan, dan menyatukan kita semua di atas persatuan
hakiki yang berasaskan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dengan pemahaman As- Salafush Shalih.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=118%20
memunculkan keprihatinan. Dari beberapa tokoh Islam sering muncul
ajakan agar semua kelompok bersatu dalam satu wadah, tidak perlu
mempermasalahkan perbedaan yang ada karena yang penting tujuannya sama
yaitu memajukan Islam. Mungkinkah umat Islam bersatu dan bagaimana
caranya?
Persatuan dan perpecahan merupakan dua kata yang saling berlawanan.
Persatuan identik dengan keutuhan, persaudaraan, kesepakatan, dan
perkumpulan. Sedangkan perpecahan identik dengan perselisihan,
permusuhan, pertentangan dan perceraian.
Persatuan merupakan perkara yang diridhai dan diperintahkan oleh
Allah, sedangkan perpecahan merupakan perkara yang dibenci dan dilarang
oleh-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah telah
memerintahkan kepada mereka (umat Islam, red) untuk bersatu dan
melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat
larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 1/367)
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Sesungguhnya
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan
kepada kita satu jalan yang wajib ditempuh oleh seluruh kaum muslimin,
yang merupakan jalan yang lurus dan manhaj bagi agama-Nya yang benar
ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bahwasanya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanku yang
lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari
jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian agar
kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153).
Sebagaimana pula Dia telah melarang umat Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dari perpecahan dan perselisihan pendapat, karena yang
demikian itu merupakan sebab terbesar dari kegagalan dan merupakan
kemenangan bagi musuh. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)
Dan firman-Nya ta’ala:
Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan ‘Isa, yaitu: ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kalian
berpecah belah tentangnya’. Amat berat bagi orang musyrik agama yang
kalian seru mereka kepada-Nya.” (Asy-Syura: 13).
(Majmu’ Fataawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah, 5/202, dinukil dari
kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali, hal. 176)
Asas dan Hakekat Persatuan
Asas bagi persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah,
bukanlah kesukuan, organisasi, kelompok, daerah, partai, dan lain
sebagainya. Akan tetapi asasnya adalah: Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
pemahaman As-Salafush Shalih. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala
mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al Quran)
dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi
perselisihan. Ia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas
Al Qur’an dan As Sunnah secara keyakinan dan amalan, itulah sebab
keselarasan kata dan bersatunya apa yang tercerai-berai, yang dengannya
akan teraih maslahat dunia dan agama serta selamat dari perselisihan…”
(Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sebagaimana
tidak ada generasi yang lebih sempurna dari generasi para shahabat,
maka tidak ada pula kelompok setelah mereka yang lebih sempurna dari
para pengikut mereka. Maka dari itu siapa saja yang lebih kuat dalam
mengikuti hadits Rasulullah dan Sunnahnya, serta jejak para shahabat,
maka ia lebih sempurna. Kelompok yang seperti ini keadaannya, akan
lebih utama dalam hal persatuan, petunjuk, berpegang teguh dengan tali
(agama) Allah dan lebih terjauhkan dari perpecahan, perselisihan, dan
fitnah. Dan siapa saja yang menyimpang jauh dari itu (Sunnah Rasulullah
dan jejak para shahabat), maka ia akan lebih jauh dari rahmat Allah dan
lebih terjerumus ke dalam fitnah.” (Minhaajus Sunnah, 6/368)
Oleh karena itu, walaupun berbeda-beda wadah, organisasi, yayasan
dan semacamnya, namun dengan syarat “tidak fanatik dengan ‘wadah’-nya
dan berada di atas satu manhaj”, berpegang teguh dengan Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman para
shahabat (As-Salafush Shalih), maka ia tetap dinyatakan dalam koridor
persatuan dan bukan bagian dari perpecahan.
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak
masalah jika mereka berkelompok-kelompok di atas jalan ini, satu
kelompok di Ib dan satu kelompok di Shan’a, akan tetapi semuanya berada
di atas manhaj salaf, mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, berdakwah di
jalan Allah dan ber-intisab kepada Ahlus Sunnah Wal Jamaah, tanpa ada
sikap fanatik terhadap kelompoknya. Yang demikian ini tidak mengapa,
walaupun berkelompok-kelompok, asalkan satu tujuan dan satu jalan
(manhaj).” (At-Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, karya Dr. Utsman
bin Mu’allim Mahmud dan Dr. Ahmad bin Haji Muhammad, hal. 15).
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
“Bila kita anggap bahwa di negeri-negeri kaum muslimin terdapat
kelompok-kelompok yang berada di atas manhaj ini (manhaj salaf, pen),
maka tidak termasuk kelompok-kelompok perpecahan. Sungguh ia adalah
satu jamaah, manhajnya satu dan jalannya pun satu. Maka
terpisah-pisahnya mereka di suatu negeri bukanlah karena perbedaan
pemikiran, aqidah dan manhaj, akan tetapi semata perbedaan letak/tempat
di negeri-negeri tersebut. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok dan
golongan-golongan yang ada, yang mereka itu berada di satu negeri namun
masing-masing merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya.”
(Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 180).
Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa bila suatu persatuan
berasaskan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih) maka itulah
sesungguhnya hakekat persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun terpisahkan oleh tempat.
Bahaya Perpecahan
Bila kita telah mengetahui bahwa hakekat persatuan yang diridhai
dan diperintahkan oleh Allah adalah yang berasaskan Al Qur’an dan As
Sunnah dengan pemahaman As-Salafush Shalih, maka bagaimana dengan
firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang ada di masyarakat kaum muslimin,
yang masing-masing berpegang dengan prinsip dan aturan kelompoknya,
saling bangga satu atas yang lain, loyalitasnya dibangun di atas
kungkungan ikatan kelompok, apakah sebagai embrio persatuan umat,
ataukah sebagai wujud perpecahan umat?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak diragukan
lagi bahwa banyaknya firqah dan jamaah di masyarakat kaum muslimin
merupakan sesuatu yang diupayakan oleh setan dan musuh-musuh Islam dari
kalangan manusia.” (Majmu’ Fataawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah, 5/204,
dinukil dari kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 177).
Beliau juga berkata: “Adapun berkelompok untuk Ikhwanul Muslimin
atau Jama’ah Tabligh atau demikian dan demikian, kami tidak
menasehatkannya, ini salah! Akan tetapi kami nasehatkan mereka semua
agar menjadi satu golongan, satu kelompok, saling berwasiat dengan
kebenaran dan kesabaran, serta bersandar kepada Ahlus Sunnah Wal
Jamaah.” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal. 15).
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
“Tidaklah asing bagi setiap muslim yang memahami Al Qur’an dan As
Sunnah serta manhaj As-Salafush Shalih, bahwasanya bergolong-golongan
bukan dari ajaran Islam, bahkan termasuk yang dilarang oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat dari Al Qur’anul Karim, di
antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32).[Fataawa Asy-Syaikh
Al-Albani, karya ‘Ukasyah Abdul Mannan, hal. 106, dinukil dari Jama’ah
Wahidah Laa Jama’at, hal. 178]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Dan tidak diragukan lagi bahwa kelompok-kelompok ini menyelisihi apa
yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan
menyelisihi apa yang selalu dihimbau dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kalian semua, agama
yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka bertakwalah kepada-Ku.”
(Al-Mu’minun: 52)
Lebih-lebih tatkala kita melihat akibat dari perpecahan dan
bergolong-golongan ini, di mana tiap-tiap golongan mengklaim yang
lainnya dengan kejelekan, cercaan dan kefasikan, bahkan bisa lebih dari
itu. Oleh karena itu saya memandang bahwa bergolong-golongan ini adalah
perbuatan yang salah.” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal.
16).
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Agama kita adalah
agama persatuan, dan perpecahan bukanlah dari agama. Maka berbilangnya
jamaah-jamaah ini bukanlah dari ajaran agama, karena agama
memerintahkan kepada kita agar menjadi satu jamaah.” (Muraja’at fii
Fiqhil Waaqi’ As Siyaasi wal Fikri, karya Dr. Abdullah bin Muhammad
Ar-Rifa’i rahimahullah, hal. 44-45).
Beliau juga berkata: “Hanya saja akhir-akhir ini, muncul
kelompok-kelompok yang disandarkan kepada dakwah dan bergerak di bawah
kepemimpinan yang khusus, masing-masing kelompok membuat manhaj
tersendiri, yang akhirnya mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan
pertentangan di antara mereka, yang tentunya ini dibenci oleh agama dan
terlarang di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.” (Taqdim/Muqaddimah kitab
Jama’ah Wahidah Laa Jama’at).
Bukankah mereka juga berpegang dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah? Demikian terkadang letupan hati berbunyi.
Asy-Syaikh Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi berkata: “Jika benar apa
yang dinyatakan oleh kelompok-kelompok yang amat banyak ini, bahwa
mereka berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah, niscaya mereka tidak
akan berpecah belah, karena kebenaran itu hanya satu dan berbilangnya
mereka merupakan bukti yang kuat atas perselisihan di antara mereka,
suatu perselisihan yang muncul dikarenakan masing-masing kelompok
berpegang dengan prinsip yang berbeda dengan kelompok lainnya. Tatkala
keadaannya demikian, pasti terjadi perselisihan, perpecahan, dan
permusuhan.” (An-Nashrul Azis ‘Alaa Ar Raddil Waziz, karya Asy-Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al Madkhali rahimahullah, hal. 46)
Pertanyaan Penting
1.Bagaimanakah masuk menjadi anggota kelompok-kelompok yang ada dengan tujuan ingin memperbaiki dari dalam ?
Asy-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baaz rahimahullah berkata: “Adapun
berkunjung untuk mendamaikan di antara mereka, mengajak dan mengarahkan
kepada kebaikan dan menasehati mereka, dengan tetap berpijak di atas
jalan Ahlus Sunnah Wal Jamaah maka tidak apa-apa. Adapun menjadi
anggota mereka, maka tidak boleh. Dan jika mengunjungi Ikhwanul
Muslimin atau Firqah Tabligh dan menasehati mereka karena Allah seraya
berkata: ‘Tinggalkanlah oleh kalian fanatisme, wajib bagi kalian
(menerima) Al Qur’an dan As Sunnah, berpegang teguhlah dengan keduanya,
bergabunglah kalian bersama orang-orang yang baik, tinggalkanlah
perpecahan dan perselisihan’, maka ini adalah nasehat yang baik.”
(At-Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, hal. 15-16)
2. Bukankah dengan adanya peringatan terhadap kelompok-kelompok yang
ada dan para tokohnya, justru semakin membuat perpecahan dan tidak akan
terwujud persatuan?
Asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim Al-‘Utsman berkata: “Kebanyakan
orang-orang awam dari kaum muslimin kebingungan dalam permasalahan ini,
mereka mengatakan: ‘Mengapa sesama ulama kok saling memperingatkan satu
dari yang lain?!’ Di kalangan terpelajar pun demikian, mereka meminta
agar bantahan dan peringatan terhadap orang-orang yang salah dan
ahlulbid’ah dihentikan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan umat.
Mereka tidak mengetahui bahwa bid’ah-bid’ah, kesalahan-kesalahan dan
jalan yang berbeda-beda (dalam memahami agama ini, pen) justru
merupakan faktor utama penyebab perpecahan, dan faktor utama yang dapat
mengeluarkan manusia dari jalan yang lurus. Dengan tetap adanya
jalan-jalan yang menyimpang itu, tidak akan terwujud persatuan
selama-lamanya.” (Zajrul Mutahaawin bi Dharari Qa’idah Al-Ma’dzirah
Watta’aawun, hal. 98)
Nasehat dan Ajakan
Asy-Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah Al-Jabiri berkata: “Tidak ada solusi
dari perpecahan, tercabik-cabiknya kekuatan dan rapuhnya barisan
kecuali dengan dua perkara:
Pertama: Menanggalkan segala macam bentuk penyandaran (atau
keanggotaan) yang dibangun di atas ikatan kelompok-kelompok nan sempit,
yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan.
Kedua: Kembali kepada jamaah Salafiyyah (yang bermanhaj salaf,
pen), karena sesungguhnya dia adalah ajaran yang lurus, dan cahaya
putih yang terang benderang, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah
ada yang tersesat darinya kecuali orang-orang yang binasa. Dia adalah
Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat, pen), dan At-Thaifah
Al-Manshurah (kelompok yang ditolong dan dimenangkan oleh Allah, pen).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ‘Tidak tercela bagi
siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar
kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati dan wajib diterima,
karena manhaj salaf pasti benar...’.” (Tanbih Dzawil ‘Uquulis Salimah
ilaa Fawaida Mustanbathah Minassittatil Ushulil ‘Azhimah, hal. 24).
Sungguh benar apa yang dinasehatkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid bin
Abdullah Al-Jabiri, karena As-Salafiyyah tidaklah sama dengan
kelompok-kelompok yang ada. As-Salafiyyah tidaklah dibatasi
(terkungkung) oleh organisasi tertentu, kelompok tertentu, daerah
tertentu, pemimpin tertentu… suatu kungkungan hizbiyyah yang sempit,
bahkan As-Salafiyyah dibangun di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman As-Salafush Shalih. Siapa
pun yang berpegang teguh dengannya maka ia adalah saudara, walaupun
dipisahkan oleh tempat dan waktu… suatu ikatan suci yang dihubungkan
oleh ikatan manhaj, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan para shahabatnya.
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala, senantiasa menjauhkan kita
semua dari perpecahan, dan menyatukan kita semua di atas persatuan
hakiki yang berasaskan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dengan pemahaman As- Salafush Shalih.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=118%20
hukum ta'ziyah
Sudah sekian lama berkembang diberbagi tempat suatu acara yang dinamakan dengan acara ta’ziyah yang bentuknya adalah dimana tuan rumah yang mereka adalah keluarga orang yang meninggal mengundang kerabat, tetangga dan handai taulan untuk menghadiri acara yang padanya diadakan ceramah yang disebut dengan ceramah ta’ziyah dan disediakan suguhan (makan dan minum). Acara ini diadakan pada hari-hari tertentu setelah kematian seseorang, baik pada hari ke-3, ke-7 dan selainnya. Keadaan ini sudah lama menjadi pertanyaan didalam hati, apakah amalan tersebut memiliki dasar didalam agama ini atau tidak. Kalau memang acara ta’ziyah tersebut disyari’atkan maka bagaimana sebenarnya aturan-aturannya, mana yang boleh dan sesuai dengan sunnah dan mana yang bertentangan dengannya. Mohon dijelaskan dengan gamblang terima kasih !
Berikut Penjelasannya, semoga Allah memberikan kemudahaan bagi kita untuk memahami agama yang agung ini, amin.
Makna Ta’ziyah
- Secara bahasa :
Kata ta’ziyah (التَّعْزِيَةُ) adalah bentuk mashdar (gerund=pembendaan kata kerja) dari fi’il (kata kerja) ‘azza (عزَّى). Sebagaimana orang Arab mengatakan :
عَزَّيْتُهُ تَعْزِيَةً = Aku menta’ziyahinya dengan suatu ta’ziyah
Kata ta’ziyah (التَّعْزِيَةُ) itu berasal dari kata Al-‘Azaa`(العَزَاءُ) mashdar dari kata عَزِيَ yang berarti bersabar/kesabaran atau bersabar atas segala yang hilang darinya.
Maka kalimatأُعَزِّيْهِ تَعْزِيَةً (aku menta’ziyahinya dengan suatu ta’ziyah) artinya : "Aku menyabarkan, menghibur dan menawarkan kesedihannya serta memerintahkannya (menganjurkannya) untuk bersabar".
(Lihat Mu’jam Maqoyis Al-Lughoh 4/310, Lisan Al-‘Arab 15/52, Tartib Mukhtar Ash-Shihah hal.524, Al-Qomus Al-Muhith 4/523)
- Secara istilah :
Para ulama mendefinisikan ta’ziyah dalam beberapa definisi yang mirip satu sama lainnya dan semuanya sejalan dengan maknanya secara bahasa.
· Berkata Al-Imam An-Nawawy : "Ta’ziyah adalah menyabarkan dan meyebutkan hal-hal yang menghibur shohibul mayyit (pemilik/keluarga mayit), mengurangi kesedihannya dan meringankan musibahnya". ( Shohih Kitab Al-Adzkar 1/400).
· Di dalam Kitab Raddul Muhtar 2/239 : "Ta’ziyah terhadap keluarga mayit adalah menyabarkan dan mendo’akan mereka"
· Di dalam kitab Syarh Al-Kharsyi : "At-Ta’ziyah itu adalah hal yang membawa kepada kesabaran dengan menyampaikan janji tentang pahala (kesabaran) dan mendo’akan bagi mayit dan bagi yang ditimpa musibah. (Sebagaimana dinukil oleh Musa’id Al-Falih dalam risalahnya At-Ta’ziyah hal.6).
· Di dalam kitab Kasyful Qona’ : "At-Ta’ziyah adalah menghibur dan mendorong orang yang ditimpa musibah untuk bersabar dengan menyampaikan janji berupa pahala (terhadap kesabarannya) dan do’a bagi mayit jika dia adalah seorang muslim". (Sebagaimana dinukil di dalam risalah At-Ta’ziyah hal.6).
· Berkata Syeikh Ibnu Utsaimin = kata عَزَّيْتُهُ (aku menta’ziayhnya/ berta’ziyah padanya) maknanya : قَوَّيْتُهُ عَلَى تَحَمُّلِ الصَّبْرِ aku menguatkannya (jiwanya) dalam memikul kesabaran (dinukil dari At-Turuq Al-Muyassarah hal.112).
http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Aqidah&article=64
Berikut Penjelasannya, semoga Allah memberikan kemudahaan bagi kita untuk memahami agama yang agung ini, amin.
Makna Ta’ziyah
- Secara bahasa :
Kata ta’ziyah (التَّعْزِيَةُ) adalah bentuk mashdar (gerund=pembendaan kata kerja) dari fi’il (kata kerja) ‘azza (عزَّى). Sebagaimana orang Arab mengatakan :
عَزَّيْتُهُ تَعْزِيَةً = Aku menta’ziyahinya dengan suatu ta’ziyah
Kata ta’ziyah (التَّعْزِيَةُ) itu berasal dari kata Al-‘Azaa`(العَزَاءُ) mashdar dari kata عَزِيَ yang berarti bersabar/kesabaran atau bersabar atas segala yang hilang darinya.
Maka kalimatأُعَزِّيْهِ تَعْزِيَةً (aku menta’ziyahinya dengan suatu ta’ziyah) artinya : "Aku menyabarkan, menghibur dan menawarkan kesedihannya serta memerintahkannya (menganjurkannya) untuk bersabar".
(Lihat Mu’jam Maqoyis Al-Lughoh 4/310, Lisan Al-‘Arab 15/52, Tartib Mukhtar Ash-Shihah hal.524, Al-Qomus Al-Muhith 4/523)
- Secara istilah :
Para ulama mendefinisikan ta’ziyah dalam beberapa definisi yang mirip satu sama lainnya dan semuanya sejalan dengan maknanya secara bahasa.
· Berkata Al-Imam An-Nawawy : "Ta’ziyah adalah menyabarkan dan meyebutkan hal-hal yang menghibur shohibul mayyit (pemilik/keluarga mayit), mengurangi kesedihannya dan meringankan musibahnya". ( Shohih Kitab Al-Adzkar 1/400).
· Di dalam Kitab Raddul Muhtar 2/239 : "Ta’ziyah terhadap keluarga mayit adalah menyabarkan dan mendo’akan mereka"
· Di dalam kitab Syarh Al-Kharsyi : "At-Ta’ziyah itu adalah hal yang membawa kepada kesabaran dengan menyampaikan janji tentang pahala (kesabaran) dan mendo’akan bagi mayit dan bagi yang ditimpa musibah. (Sebagaimana dinukil oleh Musa’id Al-Falih dalam risalahnya At-Ta’ziyah hal.6).
· Di dalam kitab Kasyful Qona’ : "At-Ta’ziyah adalah menghibur dan mendorong orang yang ditimpa musibah untuk bersabar dengan menyampaikan janji berupa pahala (terhadap kesabarannya) dan do’a bagi mayit jika dia adalah seorang muslim". (Sebagaimana dinukil di dalam risalah At-Ta’ziyah hal.6).
· Berkata Syeikh Ibnu Utsaimin = kata عَزَّيْتُهُ (aku menta’ziayhnya/ berta’ziyah padanya) maknanya : قَوَّيْتُهُ عَلَى تَحَمُّلِ الصَّبْرِ aku menguatkannya (jiwanya) dalam memikul kesabaran (dinukil dari At-Turuq Al-Muyassarah hal.112).
http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Aqidah&article=64
Rabu, 22 April 2009
adab menuntut ilmu
Adab mencari ilmu mutlak diperlukan, bahkan para Salafush Shalih mendidik anak-anaknya dengan adab sebelum membawanya ke majelis ilmu.
Berkata Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri -rahimahullah-: “Mereka dulu tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu hingga mereka belajar adab dan dididik ibadah hingga 20 tahun”. (Hilyatul-Aulia Abu Nuaim 6/361)
Berkatalah Abdullah bin Mubarak -rahimahullah-: “Aku mempelajari adab 30 tahun dan belajar ilmu 20 tahun, dan mereka dulu mempelajari adab terlebih dahulu baru kemudian mempelajari ilmu”. (Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro 1/446)
Dan beliau juga berkata: “Hampir-hampir adab menimbangi 2/3 ilmu”. (Sifatus-shofwah Ibnul-Jauzi 4/120)
Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sanadnya kepada Malik bin Anas, dia berkata bahwa Muhammad bin Sirrin berkata (-rahimahullah-): “Mereka dahulu mempelajari adab seperti mempelajari ilmu”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/49)
Berkata Abullah bin Mubarak: “Berkata kepadaku Makhlad bin Husain -rahimahullah-: “Kami lebih butuh kepada adab walaupun sedikit daripada hadits walaupun banyak”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Mengapa demikian ucapan para ulama tentang adab? Tentunya karena ilmu yang masuk kepada seseorang yang memiliki adab yang baik akan bermafaat baginya dan kaum muslimin.
Berkata Abu Zakariya Yaha bin Muhammad Al-Anbari -rahimahullah-: “Ilmu tanpa adab seperti api tanda kayu bakar sedangkan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Niat Ikhlas
Karena menuntut ilmu adalah ibadah bahkan setinggi-tingginya ibadah kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- maka kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
Allah berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus“. (Al-Bayyinah:5)
Beramal dengan Ilmu
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sangat marah kepada mereka-mereka yang berbicara tentang ilmu sedangkan dia sendiri tidak beramal, Allah sebutkan dalam Al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan“. (As-Shaff:2-3)
Sabar, Tidak Terburu-Buru
Seorang pencari ilmu seringkali terbawa semangat, sehingga ia ingin dalam waktu yang relatif singkat untuk mendapatkan semua bidang ilmu. Ingatlah bahwa ilmu ini agama yang tidak terpisah dari amal, bukan hanya sekedar mengetahui dan menghafal. Maka pelajarilah secara bertahap dari yang paling penting, kemudian berikutnya, kemudian berikutnya. Tidak mungkin dengan belajar sebulan sampai dua bulan ia menjadi ulama atau dalam waktu singkat dia menjadi pakar hadits yang menshahihkan dan mendhoifkan hadits atau menjadi ahli fiqih yang dapat mengumpulkan hukum dari ayat-ayat dan hadits.
Para Ulama terdahulu mereka belajar dari sejak kecil sampai 30 tahun baru mempelajari ilmu hadits apalagi meriwayatkan hadits.
Sumber: Risalah Dakwah MANHAJ SALAF edisi 1/th V 18 Muharram 1430H/16 Januari 2009M
Berkata Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri -rahimahullah-: “Mereka dulu tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu hingga mereka belajar adab dan dididik ibadah hingga 20 tahun”. (Hilyatul-Aulia Abu Nuaim 6/361)
Berkatalah Abdullah bin Mubarak -rahimahullah-: “Aku mempelajari adab 30 tahun dan belajar ilmu 20 tahun, dan mereka dulu mempelajari adab terlebih dahulu baru kemudian mempelajari ilmu”. (Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro 1/446)
Dan beliau juga berkata: “Hampir-hampir adab menimbangi 2/3 ilmu”. (Sifatus-shofwah Ibnul-Jauzi 4/120)
Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sanadnya kepada Malik bin Anas, dia berkata bahwa Muhammad bin Sirrin berkata (-rahimahullah-): “Mereka dahulu mempelajari adab seperti mempelajari ilmu”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/49)
Berkata Abullah bin Mubarak: “Berkata kepadaku Makhlad bin Husain -rahimahullah-: “Kami lebih butuh kepada adab walaupun sedikit daripada hadits walaupun banyak”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Mengapa demikian ucapan para ulama tentang adab? Tentunya karena ilmu yang masuk kepada seseorang yang memiliki adab yang baik akan bermafaat baginya dan kaum muslimin.
Berkata Abu Zakariya Yaha bin Muhammad Al-Anbari -rahimahullah-: “Ilmu tanpa adab seperti api tanda kayu bakar sedangkan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Niat Ikhlas
Karena menuntut ilmu adalah ibadah bahkan setinggi-tingginya ibadah kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- maka kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
Allah berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus“. (Al-Bayyinah:5)
Beramal dengan Ilmu
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sangat marah kepada mereka-mereka yang berbicara tentang ilmu sedangkan dia sendiri tidak beramal, Allah sebutkan dalam Al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan“. (As-Shaff:2-3)
Sabar, Tidak Terburu-Buru
Seorang pencari ilmu seringkali terbawa semangat, sehingga ia ingin dalam waktu yang relatif singkat untuk mendapatkan semua bidang ilmu. Ingatlah bahwa ilmu ini agama yang tidak terpisah dari amal, bukan hanya sekedar mengetahui dan menghafal. Maka pelajarilah secara bertahap dari yang paling penting, kemudian berikutnya, kemudian berikutnya. Tidak mungkin dengan belajar sebulan sampai dua bulan ia menjadi ulama atau dalam waktu singkat dia menjadi pakar hadits yang menshahihkan dan mendhoifkan hadits atau menjadi ahli fiqih yang dapat mengumpulkan hukum dari ayat-ayat dan hadits.
Para Ulama terdahulu mereka belajar dari sejak kecil sampai 30 tahun baru mempelajari ilmu hadits apalagi meriwayatkan hadits.
Sumber: Risalah Dakwah MANHAJ SALAF edisi 1/th V 18 Muharram 1430H/16 Januari 2009M
hukum oral seks
Apa hukum oral seks?
Jawab:
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhohullah menjawab sebagai berikut,
"Adapun isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral sex), maka ini adalah haram, tidak dibolehkan. Karena ia (kemaluan suami) dapat memencar. Kalau memencar maka akan keluar darinya air madzy yang dia najis menurut kesepakatan (ulama'). Apabila (air madzy itu) masuk ke dalam mulutnya lalu ke perutnya maka boleh jadi akan menyebabkan penyakit baginya.
Dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah telah berfatwa tentang haramnya hal tersebut --sebagaimana yang saya dengarkan langsung dari beliau-."
Dan dalam kitab Masa`il Nisa'iyyah Mukhtarah Min Al-`Allamah Al-Albany karya Ummu Ayyub Nurah bintu Hasan Ghawi hal. 197 (cet. Majalisul Huda AI¬Jaza'ir), Muhadits dan Mujaddid zaman ini, Asy-Syaikh AI-`Allamah Muhammad Nashiruddin AI-Albany rahimahullah ditanya sebagai berikut:
"Apakah boleh seorang perempuan mencumbu batang kemaluan (penis) suaminya dengan mulutnya, dan seorang lelaki sebaliknya?"
Beliau menjawab:
"Ini adalah perbuatan sebagian binatang, seperti anjing. Dan kita punya dasar umum bahwa dalam banyak hadits, Ar-Rasul melarang untuk tasyabbuh (menyerupai) hewan-hewan, seperti larangan beliau turun (sujud) seperti turunnya onta, dan menoleh seperti
tolehan srigala dan mematuk seperti patukan burung gagak. Dan telah dimaklumi pula bahwa nabi Shallallahu `alahi wa sallam telah melarang untuk tasyabbuh dengan orang kafir, maka diambil juga dari makna larangan tersebut pelarangan tasyabbuh dengan hewan-hewan -sebagai penguat yang telah lalu-, apalagi hewan yang telah dlketahui kejelekan tabiatnya. Maka seharusnya seorang muslim --dan keadaannya seperti ini- merasa tinggi untuk menyerupai hewan-hewan."
Dan salah seorang ulama besar kota Madinah, Asy-Syaikh AI-`Allamah `Ubaid bin 'Abdillah bin Sulaiman AI-Jabiry hafizhahullah dalam sebuah rekaman, beliau ditanya sebagai berikut,
"Apa hukum oral seks'?" Beliau menjawab:
"Ini adalah haram, karena is termasuk tasyabbuh dengan hewan-hewan. Namun banyak di kalangan kaum muslimin yang tertimpa oleh perkara-perkara yang rendah lagi ganjil menurut syari'at, akal dan fitrah seperti ini. Hal tersebut karena ia menghabiskan waktunya untuk mengikuti rangkaian film-film porno melalui video atau televisi yang rusak. Seorang lelaki muslim berkewajiban untuk menghormati istrinya dan jangan ia berhubungan dengannya kecuali sesuai dengan perintah Allah. Kalau ia berhubungan dengannya selain dari tempat yang Allah halalkan baginya maka tergolong melampaui batas dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alahi wa sallam."
Dikutip dari majalah An-Nashihah Volume 10 1427H/2006M
Jawab:
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhohullah menjawab sebagai berikut,
"Adapun isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral sex), maka ini adalah haram, tidak dibolehkan. Karena ia (kemaluan suami) dapat memencar. Kalau memencar maka akan keluar darinya air madzy yang dia najis menurut kesepakatan (ulama'). Apabila (air madzy itu) masuk ke dalam mulutnya lalu ke perutnya maka boleh jadi akan menyebabkan penyakit baginya.
Dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah telah berfatwa tentang haramnya hal tersebut --sebagaimana yang saya dengarkan langsung dari beliau-."
Dan dalam kitab Masa`il Nisa'iyyah Mukhtarah Min Al-`Allamah Al-Albany karya Ummu Ayyub Nurah bintu Hasan Ghawi hal. 197 (cet. Majalisul Huda AI¬Jaza'ir), Muhadits dan Mujaddid zaman ini, Asy-Syaikh AI-`Allamah Muhammad Nashiruddin AI-Albany rahimahullah ditanya sebagai berikut:
"Apakah boleh seorang perempuan mencumbu batang kemaluan (penis) suaminya dengan mulutnya, dan seorang lelaki sebaliknya?"
Beliau menjawab:
"Ini adalah perbuatan sebagian binatang, seperti anjing. Dan kita punya dasar umum bahwa dalam banyak hadits, Ar-Rasul melarang untuk tasyabbuh (menyerupai) hewan-hewan, seperti larangan beliau turun (sujud) seperti turunnya onta, dan menoleh seperti
tolehan srigala dan mematuk seperti patukan burung gagak. Dan telah dimaklumi pula bahwa nabi Shallallahu `alahi wa sallam telah melarang untuk tasyabbuh dengan orang kafir, maka diambil juga dari makna larangan tersebut pelarangan tasyabbuh dengan hewan-hewan -sebagai penguat yang telah lalu-, apalagi hewan yang telah dlketahui kejelekan tabiatnya. Maka seharusnya seorang muslim --dan keadaannya seperti ini- merasa tinggi untuk menyerupai hewan-hewan."
Dan salah seorang ulama besar kota Madinah, Asy-Syaikh AI-`Allamah `Ubaid bin 'Abdillah bin Sulaiman AI-Jabiry hafizhahullah dalam sebuah rekaman, beliau ditanya sebagai berikut,
"Apa hukum oral seks'?" Beliau menjawab:
"Ini adalah haram, karena is termasuk tasyabbuh dengan hewan-hewan. Namun banyak di kalangan kaum muslimin yang tertimpa oleh perkara-perkara yang rendah lagi ganjil menurut syari'at, akal dan fitrah seperti ini. Hal tersebut karena ia menghabiskan waktunya untuk mengikuti rangkaian film-film porno melalui video atau televisi yang rusak. Seorang lelaki muslim berkewajiban untuk menghormati istrinya dan jangan ia berhubungan dengannya kecuali sesuai dengan perintah Allah. Kalau ia berhubungan dengannya selain dari tempat yang Allah halalkan baginya maka tergolong melampaui batas dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alahi wa sallam."
Dikutip dari majalah An-Nashihah Volume 10 1427H/2006M
Langganan:
Postingan (Atom)