Oleh : Widi A. Pratikto dan Daniel M. Rosyid *
Krisis ekonomi global saat ini yang terbukti lebih parah daripada Depresi 1930-an dan krisis ekonomi 1997 memerlukan respons sungguh-sungguh secara mendasar. Walaupun stimulus fiskal penting, ini bersifat jangka pendek dan ad hoc.
Krisis ini dapat dibaca sebagai peluang untuk menimbang kembali paradigma pembangunan nasional kita. Di samping kita perlu menimbang kembali sistem ekonomi kapitalistik yang kedodoran saat ini, kita juga perlu menimbang kembali paradigna pembangunan "pulau besar" (benua) yang kita warisi dari Belanda dan kita gunakan sampai sekarang.
Belanda berhasil menjajah Indonesia hingga 300 tahun lebih dengan melalukan politik devide at impera melalui pemaksaan paradigma "pulau besar" ini. Paradigma itu berciri inward-looking, statis, agraris, dan laut dianggap penuh misteri yang menakutkan. Indonesia menjadi sekadar kumpulan "pulau-pulau besar" yang terpisah-pisah sehingga mudah ditaklukkan. Namun, segera perlu dicatat bahwa seperti juga pilihan individualitas dan sosialitas bukanlah pilihan yang eksklusif secara mutual, pilihan paradigma pulau besar dan paradigma "kelautan" juga bukan dua pilihan eksklusif secara mutual.
Jika pardigma pulau besar menggambarkan cara pandang manusia yang seolah tidak pernah melihat laut, paradigma kelautan adalah paradigma water world, yakni paradigma manusia yang tidak pernah melihat darat. Paradigma kelautan itu tidak realistis karena manusia akan tetap menjadi makhluk daratan. Paradigma kelautan yang telah diupayakan sebagai antitesa selama 10 tahun terakhir ini terbukti tidak dapat diterima oleh banyak pihak di Indonesia karena kita bergerak kesisi ekstremitas yang lain.
Paradigma kepulauan ialah paradigma "jalan tengah" yang menyeimbangkan dimensi "pulau besar" dan water world, namun lebih inklusif, cukup dinamis, dan lebih outward looking dibandingkan dengan paradigma "pulau kecil" (paradigma Robinson Crusoe) yang isolasionis, tertutup, tidak ramah kepada pendatang, dan in-breeding.
Ketegangan Kreatif
Paradigma kepulauan juga memanfaatkan ketegangan kreatif antara paradigma pulau besar dan paradigma kelautan. Dari segi instrumen perumusan kebijakan pembangunan, paradigma kepulauan memiliki implikasi dinamika sistem dan gaming yang berbeda. Interaksi dan kecepatan proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan politik negara kepulauan dengan keragaman yang amat kaya memerlukan kerangka pemahaman baru dan lebih segar dari kerangka "pulau besar" ataupun "kelautan" yang kita kenal saat ini.
Paradigma pulau besar saat ini terbukti tidak cocok bagi Indonesia. Suprastruktur nasional kita gagal membangun kapasitas memerintah di laut kepulauan secara efektif. Saat ini banyak pulau kecil di Indonesia yang merupakan kantong-kantong kemiskinan. Beberapa pulau terluar bahkan terancam lepas ke negara tetangga karena kita gagal melakukan pendudukan yang efektif atas pulau-pulau tersebut. Laut yang tidak dikelola dengan baik bahkan tempat beragam tindak kejahatan seperti pembajakan di laut, illegal fishing, mining, trafficking, bahkan pembuangan limbah beracun. Laut "tak bertuan" itu juga mengurangi kepercayaan internasional atas kemampuan Indonesia menangani berbagai kecelakaan di laut yang membutuhkan kapasitas search and rescue yang memadai.
Setelah prinsip-prinsip negara kepulauan yang dideklarasikan Ir Djuanda pada 1957 diterima oleh UNCLOS pada 1982 melalui perjuangan panjang Muchtar Kusumatmaja dan at Hasyim Jalal, luas wilayah Indonesia bertambah secara amat berarti melalui pertambahan luasan laut dan perairan yang merupakan bagian kedaulatan dan kewenangan pemerintah RI. Wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke menjadi seluas Eropa dengan bentangan seluas London hingga Istanbul. Implikasi dari penerimaan UNCLOS itu belum sepenuhnya disadari banyak kalangan, termasuk para pengambil keputusan strategis di berbagai bidang.
Kepulauan adalah satu kesatuan ruang gugusan pulau beserta laut di antaranya. Sumber daya kepulauan adalah sumberdaya pulau, pesisir, dan laut, serta dasar dan bawah laut. Untuk memanfaatkan sumber daya alam kepulauan diperlukan infrastruktur transportasi laut dan udara yang memadai agar kegiatan di kepulauan dapat dilakukan dengan aman dan efektif. Kebijakan yang mendorong pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kepulauan (antara lain, small craft tecnology, teknologi energi terbarukan dan air bersih, serta pengembangan indutrinya akan menentukan keberhasilan kita memanfaatkan sumber daya kepulauan bagi kesejahteraan masyarakat. Sayang, sampai saat ini infrastruktur iptek kepulauan yang diperlukan Indonesia masih jauh dari memadai.
Dari aspek legal, negara kepulauan Indonesia telah ditegaskan dalam UUD '45 yang diamandemen, kemudian dilengkapi engan produk perundang-undangan yang mendukung pengelolaan sumber daya kepulauan.
Produk perundang-undangan tersebut, antara lain, UU No 17/1985 tentang UNCLOS, UU No 31/2004 tentang Perikanan, dan UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU 17/2008 tentang Pelayara nasional.
Segera harus dicatat bahwa masih banyak regulasi dan aturan pelaksanaan yang dibutuhkan untuk mengelola sumberaya kepulauan Indonesia secara efektif.
Tantangan lain dalam pengembangan kepulauan adalah kerawanan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap bencana alam dan perubahan iklim global. Kenaikan permukaan air laut dan bencana tsunami telah menjadi ancaman bagi lingkungan hidup di wilayah-wilayah tersebut.
Kondisi itu membutuhkan pendekatan yang komprehensif untuk menciptakan tata ruang wilayah kepulauan yang mampu menjamin kelestarian sumber daya, aktivitas manusia, dan infrastruktur yang dibangun.
Krisis global yang memengaruhi Indonesia saat ini perlu direspons dengan sikap yang lebih sungguh-sungguh dan mendasar melalui paradigma pembangunan nasional yang dipijakkan pada takdir alamiah bangsa ini sebagai negara kepulauan. Jika kita hanya terjebak pada skema stimulus fiskal belaka, kita bakal kehilangan sebuah peluang besar membuat terobosan strategis di tengah krisis.
*. Widi A. Pratikto PhD dan Daniel M. Rosyid PhD, masing-masing Sekjen Departemen Kelauatan dan Perikanan dan dosen teknik Kelautan ITS, Surabaya
jam

Sabtu, 28 Maret 2009
perikanan
ARAH KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA,
SESUAI DENGAN SIKAP DUNIA
Kebijakan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mengendalikan penangkapan ikan dan menggenjot perikanan budidaya merupakan langkah tepat. Ini terungkap dalam Sidang Committee on Fisheries (COFI) ke-28 di Roma, Italia, pada awal Maret 2009 lalu. Masa depan perikanan dunia tergantung kepada perikanan budidaya, mengingat perikanan tangkap produksinya makin menurun, sementara kebutuhan ikan dunia makin meningkat. Status perikanan dunia pada saat ini berdasarkan statistik tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat keempat dalam produksi. Peringkat diatasnya yaitu RRC, Peru dan USA. Apabila peringkat ini dijadikan acuan menggunakan angka statistik akhir tahun 2008, dimungkinkan Indonesia dapat naik peringkat menjadi ketiga.
Citra Indonesia dalam fora perikanan internasional maupun regional semakin baik bila dilihat dari produksi, pengelolaan dan keanggotaannya.Issue yang menonjol dalam sidang dan berkait dengan kepentingan Indonesia ada 5 (lima) yaitu: 1). IUU Fishing; 2) Fishing Capacity, atau tingkat ketersediaan stock sumberdaya ikan; 3) Small Scale Fisheries, atau perikanan skala kecil; 4) Fish Trade, atau perdagangan internasional; dan 5) Aquaculture, atau budidaya perikanan. Pengelolaan perikanan ke depan memerlukan upaya bersama dan serius dalam mengendalikan penangkapan (fishing capacity) dan pemberantasan IUU fishing melalui berbagai instrumen antara lain, Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau tatanan perikanan yang bertanggung jawab, Port State Measure, Global Record, yaitu system pencatatan semua data kapal yang ada, serta fish trade. Dibandingkan dengan negara-negara lain, tampaknya Indonesia cukup siap dalam melaksanakan intsrumen tersebut.
Kerjasama regional dalam pengelolaan perikanan akan semakin penting terutama dalam pengelolaan ikan di high seas atau perikanan samodera. Oleh karenanya keanggotaan Indonesia dalam Regional Fisheries Management Organization (RFMO),baik di Samodera Pasifik maupun Samodera Hindia, merupakan keharusan. Demikian pula kerjasama regional dalam pemberantasan IUU fishing menjadi sangat penting. Inisiatif Indonesia bersama Australia dalam membentuk Regional Plan of Action (RPOA) merupakan model pertama FAO yang akan ditiru kawasan lain.
Ke depan, jelas merupakan tantangan yang sangat besar bagi Indonesia. Komitmen dalam pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab harus diwujudkan dengan mengendalikan perikanan tangkap untuk menjamin kelestarian sumberdaya. Berbagai Wilayah Pengelolaan Perikanan sudah sangat padat, seperti Laut Jawa, Laut Arafura, Selat Karimata, atau Laut Sulawesi. Penambahan kapal harus dihindari, bila perlu malah harus dikurangi. Waktu penangkapan ikan serta peralatan yang digunakan harus diatur secara ketat. Itu semua harus didukung oleh pelaksanaan riset yang mengkaji kondisi atau stock sumberdaya ikan.
Upaya meningkatkan perikanan budidaya harus dilakukan secara signifikan. Pantai yang panjang dan iklim tropis yang hangat sepanjang tahun merupakan kelebihan komparatif yang tidak boleh diabaikan. Ketersediaan modal harus diperjuangkan, dengan tidak lupa tetap memperhatikan kelestarian lingkugan.
Perdagangan produk ikan antar negara akan semakin ketat pengaturannya, karena FAO akan mengadopsi berbagai ketentuan fish trade, baik yang dikehendaki oleh negara pengimpor maupun kolaborasi dengan aturan (WTO), serta ketentuan catch certification dan ecolabeling. Adapula yang sudah diketahui sangat luas mengenai food safey, seperti HACCP, traceability, Good Manufacturing Practice, ataupun Good Aquaculture Practice.***
Jakarta, 27 Maret 2009
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi
ttd
Soen’an H. Poernomo
SESUAI DENGAN SIKAP DUNIA
Kebijakan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mengendalikan penangkapan ikan dan menggenjot perikanan budidaya merupakan langkah tepat. Ini terungkap dalam Sidang Committee on Fisheries (COFI) ke-28 di Roma, Italia, pada awal Maret 2009 lalu. Masa depan perikanan dunia tergantung kepada perikanan budidaya, mengingat perikanan tangkap produksinya makin menurun, sementara kebutuhan ikan dunia makin meningkat. Status perikanan dunia pada saat ini berdasarkan statistik tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat keempat dalam produksi. Peringkat diatasnya yaitu RRC, Peru dan USA. Apabila peringkat ini dijadikan acuan menggunakan angka statistik akhir tahun 2008, dimungkinkan Indonesia dapat naik peringkat menjadi ketiga.
Citra Indonesia dalam fora perikanan internasional maupun regional semakin baik bila dilihat dari produksi, pengelolaan dan keanggotaannya.Issue yang menonjol dalam sidang dan berkait dengan kepentingan Indonesia ada 5 (lima) yaitu: 1). IUU Fishing; 2) Fishing Capacity, atau tingkat ketersediaan stock sumberdaya ikan; 3) Small Scale Fisheries, atau perikanan skala kecil; 4) Fish Trade, atau perdagangan internasional; dan 5) Aquaculture, atau budidaya perikanan. Pengelolaan perikanan ke depan memerlukan upaya bersama dan serius dalam mengendalikan penangkapan (fishing capacity) dan pemberantasan IUU fishing melalui berbagai instrumen antara lain, Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau tatanan perikanan yang bertanggung jawab, Port State Measure, Global Record, yaitu system pencatatan semua data kapal yang ada, serta fish trade. Dibandingkan dengan negara-negara lain, tampaknya Indonesia cukup siap dalam melaksanakan intsrumen tersebut.
Kerjasama regional dalam pengelolaan perikanan akan semakin penting terutama dalam pengelolaan ikan di high seas atau perikanan samodera. Oleh karenanya keanggotaan Indonesia dalam Regional Fisheries Management Organization (RFMO),baik di Samodera Pasifik maupun Samodera Hindia, merupakan keharusan. Demikian pula kerjasama regional dalam pemberantasan IUU fishing menjadi sangat penting. Inisiatif Indonesia bersama Australia dalam membentuk Regional Plan of Action (RPOA) merupakan model pertama FAO yang akan ditiru kawasan lain.
Ke depan, jelas merupakan tantangan yang sangat besar bagi Indonesia. Komitmen dalam pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab harus diwujudkan dengan mengendalikan perikanan tangkap untuk menjamin kelestarian sumberdaya. Berbagai Wilayah Pengelolaan Perikanan sudah sangat padat, seperti Laut Jawa, Laut Arafura, Selat Karimata, atau Laut Sulawesi. Penambahan kapal harus dihindari, bila perlu malah harus dikurangi. Waktu penangkapan ikan serta peralatan yang digunakan harus diatur secara ketat. Itu semua harus didukung oleh pelaksanaan riset yang mengkaji kondisi atau stock sumberdaya ikan.
Upaya meningkatkan perikanan budidaya harus dilakukan secara signifikan. Pantai yang panjang dan iklim tropis yang hangat sepanjang tahun merupakan kelebihan komparatif yang tidak boleh diabaikan. Ketersediaan modal harus diperjuangkan, dengan tidak lupa tetap memperhatikan kelestarian lingkugan.
Perdagangan produk ikan antar negara akan semakin ketat pengaturannya, karena FAO akan mengadopsi berbagai ketentuan fish trade, baik yang dikehendaki oleh negara pengimpor maupun kolaborasi dengan aturan (WTO), serta ketentuan catch certification dan ecolabeling. Adapula yang sudah diketahui sangat luas mengenai food safey, seperti HACCP, traceability, Good Manufacturing Practice, ataupun Good Aquaculture Practice.***
Jakarta, 27 Maret 2009
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi
ttd
Soen’an H. Poernomo
Kamis, 19 Maret 2009
PNPM untuk nelayan
PNPM MANDIRI-KELAUTAN UNTUK ATASI KEMISKINAN NELAYAN
Dalam rangka mendukung program penanggulangan kemiskinan yang sedang digalakkan pemerintah, khususnya bagi masyarakat kelautan dan perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 2009 luncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri-Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP) sebesar Rp 116 Milyar. Program ini mengintegrasikan program pemberdayaan pada berbagai Direktorat Jenderal dalam wadah PNPM Mandiri-KP. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi pada acara Lounching PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, di Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, (17/3-2009)
Departemen KP berupaya mengurangi kemiskinan, dengan memberikan bantuan bagi pengembangan usaha perikanan dan kelautan skala kecil. Hal ini diwujudkan melalui beberapa program pemberdayaan yang telah dilakukan sejak tahun 2000. Inisiatif untuk memberdayakan masyarakat melalui PNPM Mandiri KP. merupakan bagian dari proses pemberdayaan nasional yang bermuara untuk menjadikan masyarakat sejahtera dan mandiri, serta mengurangi ketergantungan pada bantuan-bantuan pemerintah. Sebelumnya, DKP sejak berdiri telah melaksanakan beberapa program pemberdayaan masyarakat, antara lain: 1) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir; 2) Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Skala Kecil melalui Dana Penguatan Modal; 3) Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap melalui Program Optimalisasi Usaha; dan 4) Pengembangan Usaha Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan melalui Program Klasterisasi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah melalui kegiatan pengembangan perekonomian berbasis kerakyatan yang dilakukan berupa pemberdayaan masyarakat berbasis sumberdaya lokal. Kemiskinan yang terjadi pada 32 persen dari 16,42 juta masyarakat pesisir dan nelayan, diharapkan dapat diatasi melalui pemberdayaan masyarakat. Program PNPM Mandiri KP akan dilaksanakan pada 120 (seratus dua puluh) kabupaten/kota.
PNPM Mandiri KP, yang mulai dilaksanakan tahun 2009 ini akan meliputi 4 (empat) komponen yaitu: (1) perencanaan pembangunan wilayah dan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis desa, (2) pembangunan infrastruktur desa dan lingkungan, (3) penguatan kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan dan aparat, serta (4) pemberdayaan masyarakat. Sasaran program adalah masyarakat kelautan dan perikanan dengan skala usaha mikro.
Kegiatan dalam PNPM Mandiri KP dilaksanakan melalui mekanisme Tugas Pembantuan (TP) mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2008. Lokasi penerima harus memenuhi kriteria dengan prioritas sasaran desa miskin. PNPM Mandiri KP diarahkan untuk memanfaatkan secara optimal kelembagaan masyarakat yang terbentuk melalui beberapa program sebelumnya, antara lain Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan), Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan, Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-11M3), kelompok pengolah dan pemasar, kelompok pengolahan hasil perikanan, serta Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP).
PNPM Mandiri KP merupakan awal proses integrasi program-program pemberdayaan di lingkup Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Keberhasilan program akan sangat bergantung dukungan dan kontribusi pemerintah daerah dalam bentuk kebijakan, peraturan dan perencanaan serta pendanaan.
Dalam rangka mendukung program penanggulangan kemiskinan yang sedang digalakkan pemerintah, khususnya bagi masyarakat kelautan dan perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 2009 luncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri-Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP) sebesar Rp 116 Milyar. Program ini mengintegrasikan program pemberdayaan pada berbagai Direktorat Jenderal dalam wadah PNPM Mandiri-KP. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi pada acara Lounching PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, di Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, (17/3-2009)
Departemen KP berupaya mengurangi kemiskinan, dengan memberikan bantuan bagi pengembangan usaha perikanan dan kelautan skala kecil. Hal ini diwujudkan melalui beberapa program pemberdayaan yang telah dilakukan sejak tahun 2000. Inisiatif untuk memberdayakan masyarakat melalui PNPM Mandiri KP. merupakan bagian dari proses pemberdayaan nasional yang bermuara untuk menjadikan masyarakat sejahtera dan mandiri, serta mengurangi ketergantungan pada bantuan-bantuan pemerintah. Sebelumnya, DKP sejak berdiri telah melaksanakan beberapa program pemberdayaan masyarakat, antara lain: 1) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir; 2) Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Skala Kecil melalui Dana Penguatan Modal; 3) Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap melalui Program Optimalisasi Usaha; dan 4) Pengembangan Usaha Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan melalui Program Klasterisasi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah melalui kegiatan pengembangan perekonomian berbasis kerakyatan yang dilakukan berupa pemberdayaan masyarakat berbasis sumberdaya lokal. Kemiskinan yang terjadi pada 32 persen dari 16,42 juta masyarakat pesisir dan nelayan, diharapkan dapat diatasi melalui pemberdayaan masyarakat. Program PNPM Mandiri KP akan dilaksanakan pada 120 (seratus dua puluh) kabupaten/kota.
PNPM Mandiri KP, yang mulai dilaksanakan tahun 2009 ini akan meliputi 4 (empat) komponen yaitu: (1) perencanaan pembangunan wilayah dan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis desa, (2) pembangunan infrastruktur desa dan lingkungan, (3) penguatan kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan dan aparat, serta (4) pemberdayaan masyarakat. Sasaran program adalah masyarakat kelautan dan perikanan dengan skala usaha mikro.
Kegiatan dalam PNPM Mandiri KP dilaksanakan melalui mekanisme Tugas Pembantuan (TP) mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2008. Lokasi penerima harus memenuhi kriteria dengan prioritas sasaran desa miskin. PNPM Mandiri KP diarahkan untuk memanfaatkan secara optimal kelembagaan masyarakat yang terbentuk melalui beberapa program sebelumnya, antara lain Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan), Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan, Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-11M3), kelompok pengolah dan pemasar, kelompok pengolahan hasil perikanan, serta Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP).
PNPM Mandiri KP merupakan awal proses integrasi program-program pemberdayaan di lingkup Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Keberhasilan program akan sangat bergantung dukungan dan kontribusi pemerintah daerah dalam bentuk kebijakan, peraturan dan perencanaan serta pendanaan.
Minggu, 15 Maret 2009
ISLAM
Apa Itu Islam?
Makna Islam sebagaimana didefinisikan para ulama adalah
االأِسْتِسْلامُ لِلَّهِ بِالتّوحيدد
al istislamu lillahi bit tauhid
و الأنقياد له بالطاعة
wal inqiyaadu lahu bit too’ah
و البراءة من الشرك و أهله
wal barooatu minasyirki wa ahlihi
Mari kita perjelas satu persatu definisi tersebut.
1. Berserah diri kepada Allah dengan cara hanya beribadah kepada-Nya dan tidak kepada selain-Nya.
Artinya kita benar-benar melakukan peribadatan dan segala bentuk penghambaan hanya kepada Allah.
“Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Qs. Al Ikhlas [112]: 1-4)
Sebagai contoh, sebagian besar dari saudara kita masih sulit meninggalkan kepercayaan pada ramalan bintang (zodiak) dan penentuan nasib baik dan buruk berdasarkan hal ini (artinya ia menggantungkan urusannya dan pengharapannya pada sesuatu selain Allah). Padahal perkara ghaib hanyalah Allah yang mengetahui dan hanya kepada Allah-lah seseorang menggantungkan segala urusannya selain usaha yang dilakukannya.
Akhirnya, dari perkara yang sulit ditinggalkan ini merambat ke hal-hal lain yang juga merupakan bentuk-bentuk kesyirikan yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Maka untuk poin pertama ini, kita harus memperbaiki ilmu tentang tauhid. Dan janganlah merasa aman dan merasa pintar sehingga mengatakan “Ah, bosan bahasannya tauhid terus.” Bukankah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdakwah di Mekah selama 13 tahun untuk menanamkan pondasi penting ini kepada para sahabat? Begitu pentingnya tauhid, karena menjadi dasar untuk peribadahan yang lain. Dan begitu pentingnya tauhid ini, agar segala amal ibadah tercatat sebagai amalan ibadah dan tidak terhapus begitu saja oleh kesyirikan.
Sebagai contoh pentingnya tauhid, tidak akan ada kemenangan besar dalam jihad fi sabilillah jika di dalamnya terdapat hal-hal yang merusak tauhid, seperti jimat, bergantung pada jin, aji tolak bala dan sebagainya.
2. Menundukkan ketaatan
Artinya, seorang muslim menundukkan segala bentuk ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya. Mungkin kita tidak sadar, bahwa selama ini kita bukan taat kepada Allah dan Rasul sebagaiman yang diperintahkan oleh syari’at. Bahkan kita terjatuh pada perilaku orang-orang jahiliyyah yang lebih mengedepankan ketaatan kepada tetua yang jika ditelusuri ternyata tidak mengajarkan hal-hal yang sesuai dengan syari’at-Nya.
َاوَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
“Apabila dikatakan kepada mereka: Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (Qs. Al Maaidah [5]: 104)
Sebagai contoh kecil, karena sudah dari kecil diajarkan merayakan maulid nabi, isra mi’raj dan hari-hari besar yang bahkan dijadikan libur nasional, maka kita menganggap bahwa kita harus tunduk dan ikut merayakannya. Padahal jika benar kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kita tunduk dan pasrah tidak merayakan hari-hari tersebut karena memang hari-hari tersebut tidak disyari’atkan (tidak diperintahkan) oleh Allah dan Rasul-Nya.
3. Berlepas diri dari syirik dan pelakunya
Jika seseorang berserah diri hanya kepada Allah dan tidak kepada yang lain, maka ia akan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Karena sungguh sia-sialah seluruh amalan seorang muslim jika ia melakukan kesyirikan.
وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“…Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Al An’am [6]: 88}
Contoh dalam masalah ini adalah ucapan selamat natal kepada kaum nasrani. Padahal jelas-jelas natal dirayakan oleh mereka dalam rangka ‘kelahiran’ yesus (yang dianggap tuhan). Maka jika kita memberi ucapan selamat kepada mereka, ini dapat diartikan menyetujui hari tersebut dan berarti mengakui adanya tuhan selain Allah.
Begitulah kesyirikan, kadang samar sekali tak terlihat secara langsung, namun sungguh sangat membinasakan. Oleh sebab itulah, kaum muslimin disarankan membaca do’a sebagai berikut agar segala bentuk kesyirikan yang mungkin secara tidak sadar dilakukan, diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
اللهمَّ إنّي أعوذُ بكَ أنْ أُشْركَ بكَ وَ انا أعْلمُ و أستغفرُك لما لا اعْلمُِ
Allahuma inni ‘a udzu bika an usyrika bika wa ana a’lamu wa astaghfiruka limaa laa a’ lam.
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dari berbuat kesyirikan kepadamu yang aku ketahui, dan aku memohon ampunanmu dari kesyirikan yang aku tidak ketahui.” (HR. Ahmad)
Semoga menjadi pengenalan singkat tentang Islam yang bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Maraji’:
Majalah Al Furqon edisi 5 tahun ke-8 1429/2008
Syarah Tsalatsatul Ushul (terjemah) Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Pustaka Al Qowam cetakan ke-6 2005
Makna Islam sebagaimana didefinisikan para ulama adalah
االأِسْتِسْلامُ لِلَّهِ بِالتّوحيدد
al istislamu lillahi bit tauhid
و الأنقياد له بالطاعة
wal inqiyaadu lahu bit too’ah
و البراءة من الشرك و أهله
wal barooatu minasyirki wa ahlihi
Mari kita perjelas satu persatu definisi tersebut.
1. Berserah diri kepada Allah dengan cara hanya beribadah kepada-Nya dan tidak kepada selain-Nya.
Artinya kita benar-benar melakukan peribadatan dan segala bentuk penghambaan hanya kepada Allah.
“Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Qs. Al Ikhlas [112]: 1-4)
Sebagai contoh, sebagian besar dari saudara kita masih sulit meninggalkan kepercayaan pada ramalan bintang (zodiak) dan penentuan nasib baik dan buruk berdasarkan hal ini (artinya ia menggantungkan urusannya dan pengharapannya pada sesuatu selain Allah). Padahal perkara ghaib hanyalah Allah yang mengetahui dan hanya kepada Allah-lah seseorang menggantungkan segala urusannya selain usaha yang dilakukannya.
Akhirnya, dari perkara yang sulit ditinggalkan ini merambat ke hal-hal lain yang juga merupakan bentuk-bentuk kesyirikan yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Maka untuk poin pertama ini, kita harus memperbaiki ilmu tentang tauhid. Dan janganlah merasa aman dan merasa pintar sehingga mengatakan “Ah, bosan bahasannya tauhid terus.” Bukankah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdakwah di Mekah selama 13 tahun untuk menanamkan pondasi penting ini kepada para sahabat? Begitu pentingnya tauhid, karena menjadi dasar untuk peribadahan yang lain. Dan begitu pentingnya tauhid ini, agar segala amal ibadah tercatat sebagai amalan ibadah dan tidak terhapus begitu saja oleh kesyirikan.
Sebagai contoh pentingnya tauhid, tidak akan ada kemenangan besar dalam jihad fi sabilillah jika di dalamnya terdapat hal-hal yang merusak tauhid, seperti jimat, bergantung pada jin, aji tolak bala dan sebagainya.
2. Menundukkan ketaatan
Artinya, seorang muslim menundukkan segala bentuk ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya. Mungkin kita tidak sadar, bahwa selama ini kita bukan taat kepada Allah dan Rasul sebagaiman yang diperintahkan oleh syari’at. Bahkan kita terjatuh pada perilaku orang-orang jahiliyyah yang lebih mengedepankan ketaatan kepada tetua yang jika ditelusuri ternyata tidak mengajarkan hal-hal yang sesuai dengan syari’at-Nya.
َاوَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
“Apabila dikatakan kepada mereka: Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (Qs. Al Maaidah [5]: 104)
Sebagai contoh kecil, karena sudah dari kecil diajarkan merayakan maulid nabi, isra mi’raj dan hari-hari besar yang bahkan dijadikan libur nasional, maka kita menganggap bahwa kita harus tunduk dan ikut merayakannya. Padahal jika benar kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kita tunduk dan pasrah tidak merayakan hari-hari tersebut karena memang hari-hari tersebut tidak disyari’atkan (tidak diperintahkan) oleh Allah dan Rasul-Nya.
3. Berlepas diri dari syirik dan pelakunya
Jika seseorang berserah diri hanya kepada Allah dan tidak kepada yang lain, maka ia akan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Karena sungguh sia-sialah seluruh amalan seorang muslim jika ia melakukan kesyirikan.
وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“…Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Al An’am [6]: 88}
Contoh dalam masalah ini adalah ucapan selamat natal kepada kaum nasrani. Padahal jelas-jelas natal dirayakan oleh mereka dalam rangka ‘kelahiran’ yesus (yang dianggap tuhan). Maka jika kita memberi ucapan selamat kepada mereka, ini dapat diartikan menyetujui hari tersebut dan berarti mengakui adanya tuhan selain Allah.
Begitulah kesyirikan, kadang samar sekali tak terlihat secara langsung, namun sungguh sangat membinasakan. Oleh sebab itulah, kaum muslimin disarankan membaca do’a sebagai berikut agar segala bentuk kesyirikan yang mungkin secara tidak sadar dilakukan, diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
اللهمَّ إنّي أعوذُ بكَ أنْ أُشْركَ بكَ وَ انا أعْلمُ و أستغفرُك لما لا اعْلمُِ
Allahuma inni ‘a udzu bika an usyrika bika wa ana a’lamu wa astaghfiruka limaa laa a’ lam.
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dari berbuat kesyirikan kepadamu yang aku ketahui, dan aku memohon ampunanmu dari kesyirikan yang aku tidak ketahui.” (HR. Ahmad)
Semoga menjadi pengenalan singkat tentang Islam yang bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Maraji’:
Majalah Al Furqon edisi 5 tahun ke-8 1429/2008
Syarah Tsalatsatul Ushul (terjemah) Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Pustaka Al Qowam cetakan ke-6 2005
Langganan:
Postingan (Atom)