Syubhat : "Salafy mengira hanya dirinya yang benar"
Jawaban :
Kita harus membuat suatu pembedaan antara yang dianggap berasal/dinisbahkan di atas –jalan/metode Salaf– serta seseorang yang menisbahkan dirinya padanya (manhaj Salaf).
Dalam terminologi absolut, seseorang yang menisbahkan – pada metode Salaf - maka tidak lain pembenaran secara lahiriah saja.
Adapun dalam terminologi spesifik, yang dipermasalahkan masalah Aqidah dan Manhaj, Ushul (pokok) dan Furu’ (cabang) – maka tak seorangpun menyangkal atau menolak, bahwa (mengesampingkan hal ini) dapat membikin bid’ah (cara baru dalam berIslam).
Permasalahannya, seseorang yang menisbahkan dirinya atas jalannya Salafy, kemudian dalam prinsipnya (Salafy) – yang mana dia tidak berbuat kesalahan (sesuai prinsip Salaf)– lalu dia konsisten diatasnya, maka apa yang bertentangan dengan ini, tidak lain merupakan kesesatan dan perihal yang menyimpang.
Adapun yang kami maksud disini, (metode Salaf) dalam memahami secara menyeluruh Aqidah dan Manhaj dan pokok dari agama (Islam) ini. Hal ini dikarenakan Aqidah dan Manhaj dan pokok/prinsip Salaf (Islam) dalam setiap zaman tidak pernah berubah, (sehingga) mereka (Salafy) dipersatukan di atas hal tadi.
Karenanya, seseorang (yang disebut) Salafy dan dia jujur di atas (jalannya) Salaf dan berilmu dan beramal dengannya, mengikuti jejak mereka (Salafus Sholih), maka dia dapat dikatakan benar dengannya, Insya ALLAH. Maka orang ini akan berupaya (untuk) mengetahui metode Salaf secara garis besarnya, agar ia mengetahui (Islam) dengan benar.
Sungguhpun ia mungkin tidak mengerti tentangnya (Salaf) secara detailnya, namun ia terus mengoreksi untuk mengikuti jalan mereka (Salaf) – dan mengikuti jalannya dan meniti jejaknya – untuk menapaki kebenaran dan menjauhi apa yang bertentangan dengannya, yang akan menyesatkannya.
Atau ia berupaya mengetahui jalan Salaf, baik secara umum dan secara spesifik, dalam hal Aqidah dan Manhaj dan pokok (Ushul) dan Furu’ (cabang) sehingga dia ia akan beramal dengan tepat, dan dia berkeyakinan dan beramal yang sesuai diatasnya, dan akhir dari semua ini, tergantung ketulusan dalam belajarnya, semangatnya dalam memperoleh ilmu (Islam) dan beramal di atasnya.
Adapun untuk pribadi yang selalu (dianggap) benar tiap-tiap hal dalam seluruh masalah/cabangnya, maka bila ada seseorang mengklaim demikian, maka dia dalam kekeliruan yang nyata. Karena tidak mungkin setiap orang selalu benar (sifat ma’shum/terlepas dari kesalahan sama sekali) di dalam tiap-tiap cabang agama, karena -pertama-tama- , tidaklah mungkin untuk dia mempunyai pengetahuan dari semua (menyangkut Dienul Islam) itu, dan - yang kedua - , ketika bahwa para Imam (Ulama Islam) masa lalu juga tidak pernah meraihnya, demikian juga oleh semua peniti jejaknya (Salaf) di masa datang, akan susah mencapainya.
Maka dari itu, dalam beberapa hal/cabang sangat mungkin seorang pengikut Salaf (Salafy) berbuat kesalahan (hal ini diperkuat hadits, “Setiap Bani Adam tidak terlepas dari kesalahan”, red). Namun hal itu tidak membikin dirinya lupa mengoreksi Aqidah dan Manhajnya, serta (Dienul Islam) secara menyeluruh, untuk menjadikannya keluar dari dalam jalannya 72 sekte yang menyimpang dan di atas petunjuk yang salah..
Bagaimanapun, kasus ini sangat sering muncul, seseorang yang menisbahkan (seakana-akan) atas metode Salaf, lalu menyatakan secara nyata bahwa (Salaf) merupakan metodologi yang keliru, bahkan dia menyatakan kekolotan yang perihal Aqidah dan Manhaj (belaka).
Meskipun dia mengikuti seruan Aqidah (yang benar), akan tetapi manhajnya telah tercemar. Di dalam kasus ini, maka seseorang yang sepertinya tidak benar atau tidak jujur dalam penisbahan dirinya (atas Salaf), karena dia telah memiliki suatu manhaj selain Salaf, maka hal ini dapat ditentukan dengan melihat pandangannya : Apakah ia mempertahankan dan membela Sayyid Qutb? Apakah ia mengambil perbuatan memalukan dan pandangan Abdur-Rahmaan Abdul-Khaaliq? Apakah ia memuji Muhammad Qutb dan mengambil dia sebagai pembimbing dan pemimpin. Apakah ia mempertahankan dan menyepakati Hasan Al-Banna? Apakah ia berbicara dengan istilah dan ungkapan bid’ah, " Al-Ummah Al-Ghaa’Ibah", " Shabaab Us-Sahwah", " Tauhid ul-Haakimiyyah", " Al-Muwazanah" dan lain yang semisalnya, ungkapan yang sudah menjadi semboyan pembaharu (ahlul bid’ah) tadi.
Maka kita lihat dan perhatikan, apakah dia mengamalkan yang mereka miliki, siapa bergaul dengan siapa, siapa berdiskusi dengan siapa, apakah buku yang ia acuannya, dan cara ini yang dipakai untuk mengenali kebenaran manhajnya Dan dari sini kita mengenali apakah ia adalah suatu pengikut, mengklaim mengikuti metode Salaf, sementara dia diatas selainnya (Salaf).
jam

Sabtu, 20 September 2008
dakwah salaf
Sesungguhnya istilah salaf atau dakwah salaf bukanlah istilah baru. Istilah ini sudah dikenal sejak masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana yang telah disinggung pada edisi perdana Risalah Dakwah ini. Yaitu ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Fathimah:
فَاتَّقِى اللهَ وَاصْبِرِيْ فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ. (رواه مسلم، فضائل فاطمة 2/245حديث 98)
Aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu. (HR. Muslim)
Para shahabatpun sering menggunakan istilah salaf untuk menyebutkan tentang mereka-mereka yang sudah mendahuluinya. Seperti ucapan Anas bin Malik -seorang shahabat yang paling akhir meninggal. Tatkala beliau melihat kerusakan-kerusakan kaum muslimin ketika itu, beliau berkata: “Kalau saja ada seseorang dari kalangan salaf yang pertama dibangkitkan hari ini, maka dia tidak akan mengenali Islam sekarang sedikitpun kecuali shalat ini”. (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, juz 1 hal 34)
Demikian pula para ulama sepeninggal beliau. Mereka pun sering menyebut istilah salaf untuk menerangkan bahwa jalan yang benar adalah jalan salaf, yakni jalannya para shahabat. Berkata Maimun bin Mahram meri-wayatkan dari ayahnya: “Kalau saja ada sese-orang dari kalangan salaf dibangkitkan di antara kalian niscaya dia tidak mengenali keislaman kecuali kiblat ini (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, Juz 1 hal 34).
Oleh karena itu istilah salaf dikenal oleh para ulama untuk menunjukkan generasi per-tama dan utama dari umat ini seperti yang pernah diucapkan oleh Imam Bukhari, Ibnu Hajar al-Atsqalani dan selainnya. Simaklah apa yang dinasehatkan oleh Abu Amr al-Auza’i: “Sabarkanlah dirimu di atas jalan sunnah. Berhentilah kamu di mana kaum itu berhenti. Ucapkanlah apa yang mereka ucap-kan. Tinggalkanlah apa yang telah mereka tinggalkan dan jalanilah jalan salafmu yang shalih.” Beliau juga berkata: “Wajib bagi kali-an untuk berpegang dengan jejak-jejak sa-laf walaupun manusia menolakmu. Dan hati-hatilah kalian dari pendapat-pendapat ma-nusia walaupun mereka mengindahkan uca-pannya untukmu.” Dan masih banyak ucapan ulama yang lainnya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah berpesan kepada kita untuk tetap berpegang dengan sunnahnya dan sunnah para shahabatnya:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. (أخرجه الترمذي وحسنه الشيخ الألباني)
Wajib atas kalian berpegang dengan sun-nahku dan sunnahnya para khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu. (HR. Tirmidzi dan diha-sankan oleh Al-Albani)
Dengan demikian dakwah salaf adalah dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya. Sedangkan dakwah beliau adalah dakwah yang menyeru manusia kepada Tauhdi serta tegak di atas sunnah Nabi-Nya. Dengan sendirinya dakwah ini tidak memberikan tempat bagi kemusyrikan dan kebid’ahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِيْ أَدْعُوْا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. ]يوسف: 108[
Katakanlah (Muhammad): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. (Yusuf: 108)
Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan nabi-Nya untuk menyatakan inilah dakwah dan jalan yang aku menyeru dan berpijak di atas-nya, yaitu menyeru manusia untuk berTauhdi, dan beribadah hanya kepada-Nya semata, yang berujung pada ketaatan kepadaNya dan tidak bermaksiat kepadaNya. Aku dan orang-orang yag mengikutiku menyeru hanya kepada Allah dengan hujjah yang dibimbing di atas ilmu dan keyakinan.
Berkata imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy: “Dalam ayat ini terdapat beberapa faedah yang dapat kita ambil di antaranya:
1. Adanya peringatan untuk mengikhlaskan diri dalam beramal, karena kebanyakan da’i walaupun (seakan-akan) dia mendakwahkan pada kebenaran, akan tetapi pada hakekatnya ia mendakwahkan kepada dirinya sendiri.
2. Memiliki بَصِيْرَةٍ “ilmu” adalah kewajiban bagi seorang da’i.
3. Termasuk dari bukti kebenaran Tauhdi adalah adanya pensucian bagi Allah Ta’ala dari sifat-sifat tercela.
4. Termasuk dari bukti kejelekan syirik ialah bahwa syirik itu merupakan celaan bagi Allah Ta’ala.
5. Seorang muslim tidak termasuk dari kaum musyrikin manakala ia tidak bergabung dengan kaum musyrikin walaupun tidak berbuat syirik.
Inilah perbedaan dakwah salaf dengan dakwah-dakwah lainnya yang memiliki kecenderungan mengesampingkan Tauhdi dengan berbagai macam alasan.
Sebagian di antaranya menganggap Tauhdi dan Sunnah merupakan ilmu masa’il yang akan membikin ikhtilaf (perselisihan) dan perpecahan umat. Mereka hanya mau berbi-cara tentang ilmu fadhail (tentang keuta-maan-keutamaan ibadah).
Sebagian lagi mencela dakwah Tauhid ini dengan alasan menyeru umat kepada Tauhid hanya buang-buang waktu saja, tidak memahami fenomena yang sedang terjadi. Bukan-kah musuh-musuh Islam kini telah siap untuk menerkam umat dari segenap penjuru dan dari segala bidang?
Semua alasan yang diusung untuk menolak dakwah Tauhid menjadi cukup bagi kita untuk menilai dakwah model apa yang mereka kehendaki. Semua tidak bergeser dari ke-pentingan politik dan duniawi semata.
Mengapa mereka menjadi heran tatkala didahulukannya permasalahan Tauhid dalam dakwah salaf? Bukankah hak Allah Ta’ala untuk di-Esa-kan dalam segala peribadatan kepada-Nya adalah lebih utama dan lebih berhak untuk didahulukan?!
Perhatikan wasiat Nabi kepada Mu’ad bin Jabbal tatkala beliau mengutusnya ke negeri Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. (رواه البخاري ومسلم)
Wahai Mu’adz, sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab. Jika engkau telah datang kepada mereka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (HR. Bukhari Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka hendaklah yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka ialah عِبَادَةِ الله “beribadah kepada Allah (semata)”. Dan dalam riwayat lainnya disebutkan: أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ “agar mengesakan Allah”
Mengapa para juru dakwah sekarang justru meremehkan hak Allah ini?! Bukankah hak Allah lebih utama untuk didahulukan? Bukankah dakwah Tauhid merupakan kunci dakwahnya para rasul sebagaimana yang telah Allah abadikan dalam banyak ayat-Nya?.
Kita bisa perhatikan bagaimana nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya, nabi Hud kepada kaum ‘Ad, nabi Shalih kepada kaum Tsamud, demikian pula nabi Syuaib berdak-wah kepada kaum Madyan. Mereka –seluruh-nya- mendakwahkan Tauhid dengan menga-takan kepada kaumnya:
يَا قَوْمِ اعْبُدُوا للهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِهِ.
Wahai kaumku, beribadahlah (hanya) ke-pada Allah yang mana tidak ada satu dzat pun yang berhak diibadahi kecuali Dia.
Demikian halnya pada diri Nabi Ibrahin –kekasih Allah, bapaknya para Nabi dan sekaligus sebagai imam bagi orang-orang yang berTauhid-. Beliau mengkhawatirkan kesyirikan akan menimpa pada dirinya dan keturunannya, sehingga beliau beliau berdoa kepada Allah dengan menyatakan:
رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ رَبِّ إِنَّهُنَّ أَ ضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِنَ النَاسِ... ]ابراهيم: 35-36[
Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Me-kah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Wahai Rabb-ku, sesungguh-nya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia (Ibrahim: 35-36).
Jika nabi Ibrahim mengkhawatirkan dirinya dan keturunannya dari tertimpa kemusyrikan, maka siapakah orangnya yang bisa menjamin dirinya terlepas dari bahaya kesyirikan? Dan siapakah orangnya yang me-rasa lebih baik wasiatnya daripada wasiatnya para nabi yang telah disampaikan kepada kaumnya?
Demikianlah mereka –para nabi- dalam berdakwah! Meskipun mereka menghadapi budaya yang beraneka ragam dan problem yang bermacam-macam, akan tetapi dakwah mereka yang utama adalah dakwah kepada Tauhid.
Walaupun problem yang mereka hadapi adalah masalah perekonomian –sebagaimana yang terjadi pada kaum Madyan- ataupun problemnya adalah masalah politik, sosial, akhlaq dan lain-lain. Mereka tetap memulainya dengan mendakwahkan Tauhid kepada kaumnya.
Yang demikian itu karena perbaikan Tauhid dalam masalah agama ini adalah seperti memperbaiki jantung pada badan manusia. Tidak akan bermanfaat mengobati anggota badan, jika jantungnya telah berhenti berdetak. Demikian pula tidak akan diterima amalan ibadah apapun jika Tauhid telah rusak dengan perbuatan syirik-syirik besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ.
]الزمر: 65[
Jika kamu mempersekutukan (Rabb-mu), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (az-Zumar: 65)
Dalam sebuah hadits riwayat Nu’man bin Basyir Radiyallahu ‘anhu , Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
أَلاَ إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. (رواه البخاري ومسلم)
Ketahuilah bahwasanya dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika baik segumpal daging itu, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan jika rusak segumpal daging segumpal daging tersebut, maka rusak pula seluruh tu-buhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. (HR. Bukhari Muslim). Hadits ini merupakan hujjah, bahwa perbaikan hati dalam arti perbaikan aqidah dan keyakinan memiliki prioritas utama.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunan, maka hendaklah ia memantapkan fondasinya, menguatkan dan harus lebih memperhatikannya. Karena sesungguhnya tingginya bangunan itu sesuai dengan kuatnya fondasi dan kemantapannya. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 13).
Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang bijaksana akan lebih memperhatikan perbaikan fondasinya. Sedangkan orang-orang yang bodoh akan meninggikan bangunan tanpa memperhatikan kondisi pondasinya, sehingga tidak berapa lama lagi bangunan itu akan runtuh”. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِى نَارِ جَهَنَّمَ... [التوبة: 109]
Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunan-nya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? (At-Taubah: 109).
Ayat ini berkenaan dengan perbuatan kaum munafiqin ketika membangun masjid dalam keadaan hati mereka tidak memiliki aqidah dan keimanan yang benar. Apa yang dikerjakannya merupakan pekerjaan sia-sia. Adapun yang membangun di atas fondasi Tauhid dan ketaqwaan, maka bangunannya akan kokoh.
Tauhid bagaikan akar pada sebuah pohon. Jika akar itu menghunjam ke bumi dengan mantap, maka pohon itu akan tegak berdiri menjulang ke langit.
Berkata Ibnul Qayyim: “Tahun adalah ibarat sebuah pohon, bulan adalah cabang-cabangnya, hari adalah ranting-rantingnya, saat demi saat adalah daun-daunnya dan nafas merupakan buahnya. Barangsiapa yang memakai waktunya dalam ketaatan kepada Allah, maka buahnya manis. Dan barangsiapa yang menggunakannya dalam kemaksiatan, maka buahnya pahit dan hasil buahnya kelak akan dipanen pada hari kiamat. Manusia akan mendapatkan manisnya hasil amalannya di dunia atau pahitnya buah yang dia rasakan.
Tauhid adalah pohon yang tumbuh dalam hati dan cabangnya adalah amalan, ada pun buahnya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan kenikmatan yang kekal di akhirat. Sedangkan kesyirikan, kekufuran dan riya’ juga merupakan pohon yang tumbuh dalam hati, buahnya di dunia berupa ketakutan, gundah gulana, sempit dada dan kegelapan hati. Sedangkan buahnya di akhirat berupa Zaqum yang tidak mengenyangkan dan tidak pula menghilangkan rasa haus. Buah ini bahkan akan merobek tenggorokan dan menghancurkan seluruh tubuhnya, dan buahnya adalah kekekalan adzab di akhirat.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى السَّمَآءِ.... وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيْثَةٍ كَشَجَرَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ اْلأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ. [ابراهيم: 24-26]
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat Tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya………. Dan perumpamaan kalimat yang buruk (kalimat kufur, syirik) adalah seperti pohon yang buruk,yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (Ibrahim: 24-25). Wallahu a’lam.
فَاتَّقِى اللهَ وَاصْبِرِيْ فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ. (رواه مسلم، فضائل فاطمة 2/245حديث 98)
Aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu. (HR. Muslim)
Para shahabatpun sering menggunakan istilah salaf untuk menyebutkan tentang mereka-mereka yang sudah mendahuluinya. Seperti ucapan Anas bin Malik -seorang shahabat yang paling akhir meninggal. Tatkala beliau melihat kerusakan-kerusakan kaum muslimin ketika itu, beliau berkata: “Kalau saja ada seseorang dari kalangan salaf yang pertama dibangkitkan hari ini, maka dia tidak akan mengenali Islam sekarang sedikitpun kecuali shalat ini”. (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, juz 1 hal 34)
Demikian pula para ulama sepeninggal beliau. Mereka pun sering menyebut istilah salaf untuk menerangkan bahwa jalan yang benar adalah jalan salaf, yakni jalannya para shahabat. Berkata Maimun bin Mahram meri-wayatkan dari ayahnya: “Kalau saja ada sese-orang dari kalangan salaf dibangkitkan di antara kalian niscaya dia tidak mengenali keislaman kecuali kiblat ini (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, Juz 1 hal 34).
Oleh karena itu istilah salaf dikenal oleh para ulama untuk menunjukkan generasi per-tama dan utama dari umat ini seperti yang pernah diucapkan oleh Imam Bukhari, Ibnu Hajar al-Atsqalani dan selainnya. Simaklah apa yang dinasehatkan oleh Abu Amr al-Auza’i: “Sabarkanlah dirimu di atas jalan sunnah. Berhentilah kamu di mana kaum itu berhenti. Ucapkanlah apa yang mereka ucap-kan. Tinggalkanlah apa yang telah mereka tinggalkan dan jalanilah jalan salafmu yang shalih.” Beliau juga berkata: “Wajib bagi kali-an untuk berpegang dengan jejak-jejak sa-laf walaupun manusia menolakmu. Dan hati-hatilah kalian dari pendapat-pendapat ma-nusia walaupun mereka mengindahkan uca-pannya untukmu.” Dan masih banyak ucapan ulama yang lainnya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah berpesan kepada kita untuk tetap berpegang dengan sunnahnya dan sunnah para shahabatnya:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. (أخرجه الترمذي وحسنه الشيخ الألباني)
Wajib atas kalian berpegang dengan sun-nahku dan sunnahnya para khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu. (HR. Tirmidzi dan diha-sankan oleh Al-Albani)
Dengan demikian dakwah salaf adalah dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya. Sedangkan dakwah beliau adalah dakwah yang menyeru manusia kepada Tauhdi serta tegak di atas sunnah Nabi-Nya. Dengan sendirinya dakwah ini tidak memberikan tempat bagi kemusyrikan dan kebid’ahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِيْ أَدْعُوْا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. ]يوسف: 108[
Katakanlah (Muhammad): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. (Yusuf: 108)
Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan nabi-Nya untuk menyatakan inilah dakwah dan jalan yang aku menyeru dan berpijak di atas-nya, yaitu menyeru manusia untuk berTauhdi, dan beribadah hanya kepada-Nya semata, yang berujung pada ketaatan kepadaNya dan tidak bermaksiat kepadaNya. Aku dan orang-orang yag mengikutiku menyeru hanya kepada Allah dengan hujjah yang dibimbing di atas ilmu dan keyakinan.
Berkata imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy: “Dalam ayat ini terdapat beberapa faedah yang dapat kita ambil di antaranya:
1. Adanya peringatan untuk mengikhlaskan diri dalam beramal, karena kebanyakan da’i walaupun (seakan-akan) dia mendakwahkan pada kebenaran, akan tetapi pada hakekatnya ia mendakwahkan kepada dirinya sendiri.
2. Memiliki بَصِيْرَةٍ “ilmu” adalah kewajiban bagi seorang da’i.
3. Termasuk dari bukti kebenaran Tauhdi adalah adanya pensucian bagi Allah Ta’ala dari sifat-sifat tercela.
4. Termasuk dari bukti kejelekan syirik ialah bahwa syirik itu merupakan celaan bagi Allah Ta’ala.
5. Seorang muslim tidak termasuk dari kaum musyrikin manakala ia tidak bergabung dengan kaum musyrikin walaupun tidak berbuat syirik.
Inilah perbedaan dakwah salaf dengan dakwah-dakwah lainnya yang memiliki kecenderungan mengesampingkan Tauhdi dengan berbagai macam alasan.
Sebagian di antaranya menganggap Tauhdi dan Sunnah merupakan ilmu masa’il yang akan membikin ikhtilaf (perselisihan) dan perpecahan umat. Mereka hanya mau berbi-cara tentang ilmu fadhail (tentang keuta-maan-keutamaan ibadah).
Sebagian lagi mencela dakwah Tauhid ini dengan alasan menyeru umat kepada Tauhid hanya buang-buang waktu saja, tidak memahami fenomena yang sedang terjadi. Bukan-kah musuh-musuh Islam kini telah siap untuk menerkam umat dari segenap penjuru dan dari segala bidang?
Semua alasan yang diusung untuk menolak dakwah Tauhid menjadi cukup bagi kita untuk menilai dakwah model apa yang mereka kehendaki. Semua tidak bergeser dari ke-pentingan politik dan duniawi semata.
Mengapa mereka menjadi heran tatkala didahulukannya permasalahan Tauhid dalam dakwah salaf? Bukankah hak Allah Ta’ala untuk di-Esa-kan dalam segala peribadatan kepada-Nya adalah lebih utama dan lebih berhak untuk didahulukan?!
Perhatikan wasiat Nabi kepada Mu’ad bin Jabbal tatkala beliau mengutusnya ke negeri Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. (رواه البخاري ومسلم)
Wahai Mu’adz, sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab. Jika engkau telah datang kepada mereka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (HR. Bukhari Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka hendaklah yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka ialah عِبَادَةِ الله “beribadah kepada Allah (semata)”. Dan dalam riwayat lainnya disebutkan: أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ “agar mengesakan Allah”
Mengapa para juru dakwah sekarang justru meremehkan hak Allah ini?! Bukankah hak Allah lebih utama untuk didahulukan? Bukankah dakwah Tauhid merupakan kunci dakwahnya para rasul sebagaimana yang telah Allah abadikan dalam banyak ayat-Nya?.
Kita bisa perhatikan bagaimana nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya, nabi Hud kepada kaum ‘Ad, nabi Shalih kepada kaum Tsamud, demikian pula nabi Syuaib berdak-wah kepada kaum Madyan. Mereka –seluruh-nya- mendakwahkan Tauhid dengan menga-takan kepada kaumnya:
يَا قَوْمِ اعْبُدُوا للهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِهِ.
Wahai kaumku, beribadahlah (hanya) ke-pada Allah yang mana tidak ada satu dzat pun yang berhak diibadahi kecuali Dia.
Demikian halnya pada diri Nabi Ibrahin –kekasih Allah, bapaknya para Nabi dan sekaligus sebagai imam bagi orang-orang yang berTauhid-. Beliau mengkhawatirkan kesyirikan akan menimpa pada dirinya dan keturunannya, sehingga beliau beliau berdoa kepada Allah dengan menyatakan:
رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ رَبِّ إِنَّهُنَّ أَ ضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِنَ النَاسِ... ]ابراهيم: 35-36[
Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Me-kah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Wahai Rabb-ku, sesungguh-nya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia (Ibrahim: 35-36).
Jika nabi Ibrahim mengkhawatirkan dirinya dan keturunannya dari tertimpa kemusyrikan, maka siapakah orangnya yang bisa menjamin dirinya terlepas dari bahaya kesyirikan? Dan siapakah orangnya yang me-rasa lebih baik wasiatnya daripada wasiatnya para nabi yang telah disampaikan kepada kaumnya?
Demikianlah mereka –para nabi- dalam berdakwah! Meskipun mereka menghadapi budaya yang beraneka ragam dan problem yang bermacam-macam, akan tetapi dakwah mereka yang utama adalah dakwah kepada Tauhid.
Walaupun problem yang mereka hadapi adalah masalah perekonomian –sebagaimana yang terjadi pada kaum Madyan- ataupun problemnya adalah masalah politik, sosial, akhlaq dan lain-lain. Mereka tetap memulainya dengan mendakwahkan Tauhid kepada kaumnya.
Yang demikian itu karena perbaikan Tauhid dalam masalah agama ini adalah seperti memperbaiki jantung pada badan manusia. Tidak akan bermanfaat mengobati anggota badan, jika jantungnya telah berhenti berdetak. Demikian pula tidak akan diterima amalan ibadah apapun jika Tauhid telah rusak dengan perbuatan syirik-syirik besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ.
]الزمر: 65[
Jika kamu mempersekutukan (Rabb-mu), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (az-Zumar: 65)
Dalam sebuah hadits riwayat Nu’man bin Basyir Radiyallahu ‘anhu , Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
أَلاَ إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. (رواه البخاري ومسلم)
Ketahuilah bahwasanya dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika baik segumpal daging itu, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan jika rusak segumpal daging segumpal daging tersebut, maka rusak pula seluruh tu-buhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. (HR. Bukhari Muslim). Hadits ini merupakan hujjah, bahwa perbaikan hati dalam arti perbaikan aqidah dan keyakinan memiliki prioritas utama.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunan, maka hendaklah ia memantapkan fondasinya, menguatkan dan harus lebih memperhatikannya. Karena sesungguhnya tingginya bangunan itu sesuai dengan kuatnya fondasi dan kemantapannya. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 13).
Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang bijaksana akan lebih memperhatikan perbaikan fondasinya. Sedangkan orang-orang yang bodoh akan meninggikan bangunan tanpa memperhatikan kondisi pondasinya, sehingga tidak berapa lama lagi bangunan itu akan runtuh”. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِى نَارِ جَهَنَّمَ... [التوبة: 109]
Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunan-nya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? (At-Taubah: 109).
Ayat ini berkenaan dengan perbuatan kaum munafiqin ketika membangun masjid dalam keadaan hati mereka tidak memiliki aqidah dan keimanan yang benar. Apa yang dikerjakannya merupakan pekerjaan sia-sia. Adapun yang membangun di atas fondasi Tauhid dan ketaqwaan, maka bangunannya akan kokoh.
Tauhid bagaikan akar pada sebuah pohon. Jika akar itu menghunjam ke bumi dengan mantap, maka pohon itu akan tegak berdiri menjulang ke langit.
Berkata Ibnul Qayyim: “Tahun adalah ibarat sebuah pohon, bulan adalah cabang-cabangnya, hari adalah ranting-rantingnya, saat demi saat adalah daun-daunnya dan nafas merupakan buahnya. Barangsiapa yang memakai waktunya dalam ketaatan kepada Allah, maka buahnya manis. Dan barangsiapa yang menggunakannya dalam kemaksiatan, maka buahnya pahit dan hasil buahnya kelak akan dipanen pada hari kiamat. Manusia akan mendapatkan manisnya hasil amalannya di dunia atau pahitnya buah yang dia rasakan.
Tauhid adalah pohon yang tumbuh dalam hati dan cabangnya adalah amalan, ada pun buahnya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan kenikmatan yang kekal di akhirat. Sedangkan kesyirikan, kekufuran dan riya’ juga merupakan pohon yang tumbuh dalam hati, buahnya di dunia berupa ketakutan, gundah gulana, sempit dada dan kegelapan hati. Sedangkan buahnya di akhirat berupa Zaqum yang tidak mengenyangkan dan tidak pula menghilangkan rasa haus. Buah ini bahkan akan merobek tenggorokan dan menghancurkan seluruh tubuhnya, dan buahnya adalah kekekalan adzab di akhirat.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى السَّمَآءِ.... وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيْثَةٍ كَشَجَرَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ اْلأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ. [ابراهيم: 24-26]
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat Tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya………. Dan perumpamaan kalimat yang buruk (kalimat kufur, syirik) adalah seperti pohon yang buruk,yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (Ibrahim: 24-25). Wallahu a’lam.
salaf.....
Salafy bukan Sekte Baru
Penulis: Situs SalafiPublications.Com - Berbagai Sumber - Article ID : SLF010005 [1364]
Manhaj, 19 - Juli - 2003, 04:23:54
Syaikh Shalih al-Fauzan telah ditanya, "Apakah Salafiyyah adalah suatu hizbi [aliran/sekte] di antara aliran-aliran yang ada. Dan apakah menisbahkan diri (merujuk/mengacu) kepada mereka ( yaitu. Salafy) termasuk hal yang keliru ?"
Ditanya demikian, beliau menjawab, "As-Salafiyyah ( yaitu. pengikut Salafy) adalah golongan yang diselamatkan (Firqatun Najiyah), dan mereka adalah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah. Mereka bukanlah suatu hizbi ( [aliran/sekte]) dari di antara berbagai sekte/aliran, yang saat ini sedang marak. Melainkan mereka adalah Jamaa’ah, Jama’ah yang berada di atas Sunnah dan di atas Dienul Islam ( Agama Islam). Mereka adalah Ahlusunnah Wal-Jama’ah. Nabi ( Shallallahu ‘alaihi wasalam) telah bersabda, "Selalu ada terus-menerus (tidak akan musnah) kelompok dari ummatku menjelma dan mereka berada diatas kebenaran (al haq), (mereka) tidak dirugikan oleh yang meninggalkan mereka, juga oleh oleh mereka yang menentangnya".
Dan beliau (Shallallahu ‘alaihi wasalam) juga bersabda, " Dan ummat ini akan terpecah menjadi 73 sekte/golongan, semua dari mereka di dalam siksa Neraka kecuali satu". Mereka (Shahabat) bertanya, Siapakah yang satu adalah ini, wahail Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasalam) ? Beliau menjawab, " Mereka adalah mereka yang berada di atas apa yang aku (Rasulullah) dan sahabatku ada di atasnya hari ini". Karenanya, Salafiyyah adalah suatu kelompok orang ( yaitu. Salafy) yang berada di atas madzhab Salaf, yang berada diatas apa yang Nabi (Shallallahu ‘alaihi wasalam) dan Shahabatnya di atasnya.
Dan jelas, mereka bukanlah suatu hizb di antara hizbi/kelompok yang muncul tampil pada zaman ini. (Salafy) tidak lain termasuk Al-Jama’ah yang telah berumur sangat tua, semenjak masa Nabi (Shallallahu ‘alaihi wasalam , (Salaf) yang menerima warisan jalan ini dan berkesinambungan, yang tidak pernah musnah selalu di atas kebenaran sampai datangnya hari yang ditentukan (Hari Kiamat). Sebagaimana beliau (Shallallahu ‘alaihi wasalam) telah memberi tahu kepada kita" (Kaset: " at-Tahdzir min al-Bid’ah" kaset kedua, dalam ceramah kuliah di Hautah Sadir, 1416H).
Syaikh Shalih Alusy-Syaikh, Menteri urusan Agama Islam Saudi Arabia menyatakan,"Muslim terbagi menjadi dua kelompok: pengikut Salaf dan pengikut Khalaf. Mengenai Salafy, merekalah para pengikut Salafus-Shalih (Tiga yang pertama generasi muslim – Shahabat Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in,red). Dan adapun pengikut Khalaf, mereka adalah para pengikut pemahaman Khalaf (generasi baru) dan mereka adalah juga disebut sebagai Pembaharu (Ahli Bid’ah)- mencakup seluruh orang yang tidak menyukai dan tidak merasa dicukupi dengan jalannya Salafus Shalih, dalam hal ilmu dan amalan, pemahaman dan fikih, sehingga dia menjadi seorang khalafi, seorang pembaharu (Ahli bid’ah)" ( Hadzihi Mafahimuna, Bab Penisbahan atas Salaf Dan Salafiyyah).
Dalam keputusan Majelis Ulama (Saudi Arabia), No 1361 (1/165) disana terdapat pernyataan, " Salafiyyah adalah suatu penisbahan kepada Salaf, dan Salaf adalah Shahabat Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasalam) dan di bawah bimbingan Imam dari tiga yang pertama generasi (semoga ALLAH meridloi mereka), kebaikan mereka telah disaksikan oleh Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasalam), "Yang terbaik adalah ummat generasiku (Shahabat Nabi), kemudian mereka yang mengikuti setelahnya (Tabi’in), kemudian mereka yang mengikuti setelah mereka (Tabi’iut Tabi’in), kemudian akan ada ummat yang datang, kesaksian mereka mendahului sumpah mereka dan sumpah mereka akan mendahului kesaksian mereka." Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad nya dan juga oleh al-Bukhari dan Muslim. Dan " Salafy" ( Salafiyyun) adalah yang jamak dari Salafi", yang mereka menisbahkan kepada Salaf, dan berarti yang mendahului. Dan mereka yang berpegang diatas manhaj Salaf, diantara para pengikut Kitab (Al Quran) dan Sunnah, atau mereka yang berdakwah diatas keduanya dan serta yang bertindak sesuai mereka disebut [mereka/nya] kedua-duanya, dan beramal diatasnya (Al Quran dan Sunnah), maka mereka jelas termasuk dalam golongan Ahlus-Sunnah Wal-Jama’Ah."
Sebagaimana dinyatakan ‘ Abdul Aziz bin Abdurahman Al As-Sa’ud, " Tentu saja aku adalah Salafy, Aqidahku adalah Salafiyyah, dengannya (pernyataan ini) aku memerlukan untuk berpegang di atas Kitab (Al Quran) dan Sunnah". (yang dinyatakan saat berhaji th 1965, ‘ Al-Mushaf Was-Saif’ Hal.135).
Penulis: Situs SalafiPublications.Com - Berbagai Sumber - Article ID : SLF010005 [1364]
Manhaj, 19 - Juli - 2003, 04:23:54
Syaikh Shalih al-Fauzan telah ditanya, "Apakah Salafiyyah adalah suatu hizbi [aliran/sekte] di antara aliran-aliran yang ada. Dan apakah menisbahkan diri (merujuk/mengacu) kepada mereka ( yaitu. Salafy) termasuk hal yang keliru ?"
Ditanya demikian, beliau menjawab, "As-Salafiyyah ( yaitu. pengikut Salafy) adalah golongan yang diselamatkan (Firqatun Najiyah), dan mereka adalah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah. Mereka bukanlah suatu hizbi ( [aliran/sekte]) dari di antara berbagai sekte/aliran, yang saat ini sedang marak. Melainkan mereka adalah Jamaa’ah, Jama’ah yang berada di atas Sunnah dan di atas Dienul Islam ( Agama Islam). Mereka adalah Ahlusunnah Wal-Jama’ah. Nabi ( Shallallahu ‘alaihi wasalam) telah bersabda, "Selalu ada terus-menerus (tidak akan musnah) kelompok dari ummatku menjelma dan mereka berada diatas kebenaran (al haq), (mereka) tidak dirugikan oleh yang meninggalkan mereka, juga oleh oleh mereka yang menentangnya".
Dan beliau (Shallallahu ‘alaihi wasalam) juga bersabda, " Dan ummat ini akan terpecah menjadi 73 sekte/golongan, semua dari mereka di dalam siksa Neraka kecuali satu". Mereka (Shahabat) bertanya, Siapakah yang satu adalah ini, wahail Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasalam) ? Beliau menjawab, " Mereka adalah mereka yang berada di atas apa yang aku (Rasulullah) dan sahabatku ada di atasnya hari ini". Karenanya, Salafiyyah adalah suatu kelompok orang ( yaitu. Salafy) yang berada di atas madzhab Salaf, yang berada diatas apa yang Nabi (Shallallahu ‘alaihi wasalam) dan Shahabatnya di atasnya.
Dan jelas, mereka bukanlah suatu hizb di antara hizbi/kelompok yang muncul tampil pada zaman ini. (Salafy) tidak lain termasuk Al-Jama’ah yang telah berumur sangat tua, semenjak masa Nabi (Shallallahu ‘alaihi wasalam , (Salaf) yang menerima warisan jalan ini dan berkesinambungan, yang tidak pernah musnah selalu di atas kebenaran sampai datangnya hari yang ditentukan (Hari Kiamat). Sebagaimana beliau (Shallallahu ‘alaihi wasalam) telah memberi tahu kepada kita" (Kaset: " at-Tahdzir min al-Bid’ah" kaset kedua, dalam ceramah kuliah di Hautah Sadir, 1416H).
Syaikh Shalih Alusy-Syaikh, Menteri urusan Agama Islam Saudi Arabia menyatakan,"Muslim terbagi menjadi dua kelompok: pengikut Salaf dan pengikut Khalaf. Mengenai Salafy, merekalah para pengikut Salafus-Shalih (Tiga yang pertama generasi muslim – Shahabat Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in,red). Dan adapun pengikut Khalaf, mereka adalah para pengikut pemahaman Khalaf (generasi baru) dan mereka adalah juga disebut sebagai Pembaharu (Ahli Bid’ah)- mencakup seluruh orang yang tidak menyukai dan tidak merasa dicukupi dengan jalannya Salafus Shalih, dalam hal ilmu dan amalan, pemahaman dan fikih, sehingga dia menjadi seorang khalafi, seorang pembaharu (Ahli bid’ah)" ( Hadzihi Mafahimuna, Bab Penisbahan atas Salaf Dan Salafiyyah).
Dalam keputusan Majelis Ulama (Saudi Arabia), No 1361 (1/165) disana terdapat pernyataan, " Salafiyyah adalah suatu penisbahan kepada Salaf, dan Salaf adalah Shahabat Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasalam) dan di bawah bimbingan Imam dari tiga yang pertama generasi (semoga ALLAH meridloi mereka), kebaikan mereka telah disaksikan oleh Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasalam), "Yang terbaik adalah ummat generasiku (Shahabat Nabi), kemudian mereka yang mengikuti setelahnya (Tabi’in), kemudian mereka yang mengikuti setelah mereka (Tabi’iut Tabi’in), kemudian akan ada ummat yang datang, kesaksian mereka mendahului sumpah mereka dan sumpah mereka akan mendahului kesaksian mereka." Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad nya dan juga oleh al-Bukhari dan Muslim. Dan " Salafy" ( Salafiyyun) adalah yang jamak dari Salafi", yang mereka menisbahkan kepada Salaf, dan berarti yang mendahului. Dan mereka yang berpegang diatas manhaj Salaf, diantara para pengikut Kitab (Al Quran) dan Sunnah, atau mereka yang berdakwah diatas keduanya dan serta yang bertindak sesuai mereka disebut [mereka/nya] kedua-duanya, dan beramal diatasnya (Al Quran dan Sunnah), maka mereka jelas termasuk dalam golongan Ahlus-Sunnah Wal-Jama’Ah."
Sebagaimana dinyatakan ‘ Abdul Aziz bin Abdurahman Al As-Sa’ud, " Tentu saja aku adalah Salafy, Aqidahku adalah Salafiyyah, dengannya (pernyataan ini) aku memerlukan untuk berpegang di atas Kitab (Al Quran) dan Sunnah". (yang dinyatakan saat berhaji th 1965, ‘ Al-Mushaf Was-Saif’ Hal.135).
Senin, 01 September 2008
ramadhan udah dateng nih.....
alhamdulillah........... bulan yang ku tunggu2 telah datang juga.....
terima kasih y ALLOH, Engkau masih mempertemukan diriku dengan bulan yang telah Engkau rahmati..............................
terima kasih y ALLOH, Engkau masih mempertemukan diriku dengan bulan yang telah Engkau rahmati..............................
cinta perikanan wajib baca......
Marak Pengeboman Ikan di Laut Pulau Petong
Pengeboman telah terjadi lagi di Laut Pulau Petong Kelurahan Pulau Abang telah terjadi Salah satu site Coremap II Kota Batam. Pengeboman berlangsung di terumbu Mentigi di dekat Kampung Baru Pulau Petong Kelurahan Pulau Abang.
Pelaku diperkirakan delapan orang menggunakan mesin dobel 200 PK. Kejadian ini berulang lagi setelah di tahun sebelumnya pernah terjadi.
Fasilitator lapangan mendapat informasi dari anggota kelompok pengawas masyarakat Pulau Petong tentang kejadian ini. Informasi ini diteruskan oleh Senior fasilitator Pulau Abang ke Tim MCS (Monitoring Control and Survailence) dengan membuatkan berita acara kejadiannya. Menurut Koordinatornya informasi ini akan ditindaklanjuti.
Sedangkan di lapangan Kelompok pengawas mendapat intimidasi oleh para pengebom. Kelompok pengawas bersembunyi ke hutan di Pulau Petong karena diancam dengan bom. Kapal yang mereka tumpangi hanya 40 Pk sedangkan pelaku menggunakan mesin yang jauh lebih cepat.
Belum ada keterangan lebih jauh tentang kejadian ini, namun kejadian ini meresahkan masyarakat di Pulau Petong, padahal Kelompok pengawas baru saja mendapat pengarahan dari tim MCS pusat dari Departemen Kelautan dan Perikanan.
Kejadian seperti ini seharusnya segera cepat ditanggapi oleh pihak berwenang seperti kepolisian, dll. Pengeboman tidak hanya merusak kelestarian alam tetapi juga dapat membahayakan nyawa orang lain.
Masyarakat di lapangan menjadi bingung ketika mereka harus berhadapan dengan pelaku pengeboman. Mereka dilarang untuk melakukan penangkapan namun kenyataannya kejadian seperti ini karena tiadanya patroli akhirnya mereka harus memerankan penangkapan yang memungkinkan terjadinya tindakan anarkis. Padahal mereka hanya sebagai informan bagi aparat terkait. Selayaknyalah ini menjadi tanggung jawab pihak yang berwenang.
Keragu-raguan itulah akhirnya yang membuat kelompok pengawas mudah diintimidasi. Semoga hal ini dapat segera diatasi oleh aparat terkait. Sehingga kekayaan laut kita dapat terus terjaga dan kita semua dapat memperoleh manfaatnya. (Pulau Petong, 28 Agustus 2008)
Pengeboman telah terjadi lagi di Laut Pulau Petong Kelurahan Pulau Abang telah terjadi Salah satu site Coremap II Kota Batam. Pengeboman berlangsung di terumbu Mentigi di dekat Kampung Baru Pulau Petong Kelurahan Pulau Abang.
Pelaku diperkirakan delapan orang menggunakan mesin dobel 200 PK. Kejadian ini berulang lagi setelah di tahun sebelumnya pernah terjadi.
Fasilitator lapangan mendapat informasi dari anggota kelompok pengawas masyarakat Pulau Petong tentang kejadian ini. Informasi ini diteruskan oleh Senior fasilitator Pulau Abang ke Tim MCS (Monitoring Control and Survailence) dengan membuatkan berita acara kejadiannya. Menurut Koordinatornya informasi ini akan ditindaklanjuti.
Sedangkan di lapangan Kelompok pengawas mendapat intimidasi oleh para pengebom. Kelompok pengawas bersembunyi ke hutan di Pulau Petong karena diancam dengan bom. Kapal yang mereka tumpangi hanya 40 Pk sedangkan pelaku menggunakan mesin yang jauh lebih cepat.
Belum ada keterangan lebih jauh tentang kejadian ini, namun kejadian ini meresahkan masyarakat di Pulau Petong, padahal Kelompok pengawas baru saja mendapat pengarahan dari tim MCS pusat dari Departemen Kelautan dan Perikanan.
Kejadian seperti ini seharusnya segera cepat ditanggapi oleh pihak berwenang seperti kepolisian, dll. Pengeboman tidak hanya merusak kelestarian alam tetapi juga dapat membahayakan nyawa orang lain.
Masyarakat di lapangan menjadi bingung ketika mereka harus berhadapan dengan pelaku pengeboman. Mereka dilarang untuk melakukan penangkapan namun kenyataannya kejadian seperti ini karena tiadanya patroli akhirnya mereka harus memerankan penangkapan yang memungkinkan terjadinya tindakan anarkis. Padahal mereka hanya sebagai informan bagi aparat terkait. Selayaknyalah ini menjadi tanggung jawab pihak yang berwenang.
Keragu-raguan itulah akhirnya yang membuat kelompok pengawas mudah diintimidasi. Semoga hal ini dapat segera diatasi oleh aparat terkait. Sehingga kekayaan laut kita dapat terus terjaga dan kita semua dapat memperoleh manfaatnya. (Pulau Petong, 28 Agustus 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)