jam

Sabtu, 24 Mei 2008

MASA DEPAN ISLAM

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai". [At-Taubah : 33].

Kita patut merasa gembira dengan janji yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui firman-Nya itu, bahwa Islam dengan kearifan dan kebijkasanaannya mampu mengalahkan agama-agama lain. Namun tidak sedikit yang mengira bahwa janji tersebut telah terwujud pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, masa Khulafaur Rasyidin, dan pada masa-masa khalifah sesudahnya yang bijaksana. Padahal kenyataannya tidak demikian. Yang sudah terealisasi saat itu hanyalah sebagian kecil dari janji di atas, sebagaimana di isyaratkan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, melalui sabdanya :

"Artinya : Malam dan siang tidak akan sirna sehingga Al-Lata dan Al-Uzza telah disembah. Lalu Aisyah bertanya : 'Wahai Rasul, sungguh aku mengira bahwa tatkala Allah menurunkan firman-Nya : "Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai, hal ini itu telah sempurna (realisasinya)". Beliau menjawab : "Hal itu akan terealisasi pada saat yang ditentukan oleh Allah".

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam-Imam yang lain. Saya telah mentakhrijnya di dalam kitab saya Tahdzirus Sajid Min Ittkhadzil Qubur Masajida [Peringatan Bagi Yang Sujud Untuk Tidak Menjadikan Makam Sebagai Masjid, hal : 122].

Banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan masa kemenangan Islam dan tersebarnya ke berbagai penjuru. Dari hadits-hadits itu tidak diragukan lagi bahwa kemenangan Islam di masa depan semata-mata atas izin pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan catatan harus tetap kita perjuangkan, itu yang penting. Berikut ini akan saya tampilkan beberapa hadits yang saya harapkan dapat membakar semangat para pejuang Islam dan dapat dijadikan argumentasi untuk menyadarkan mereka yang fatalis tanpa mau berjuang sama sekali.

"Artinya : Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menghimpun (mengumpulkan dan menyatukan) bumi ini untukku. Oleh karena itu, aku dapat menyaksikan belahan bumi Barat dan Timur. Sungguh kekuasaan umatku akan sampai ke daerah yang dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku itu".

Hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim (8/171), Imam Abu Daud (4252), Imam Turmudzi (2/27) yang menilainya sebagai hadits shahih. Imam Ibnu Majah (2952) dan Imam Ahmad dengan dua sanad. Pertama berasal dari Tsaubah (5/278) dan kedua dari Syaddad bin Aus (4/132), jika memang haditsnya mahfuzh (terjaga).

Ada hadits-hadits lain yang lebih jelas dan luas yaitu :

"Artinya : Sungguh agama Islam ini akan sampai ke bumi yang dilalui oleh malam dan siang. Allah tidak akan melewatkan seluruh kota dan pelosok desa, kecuali memasukkan agama ini ke daerah itu, dengan memuliakan yang mulia dan merendahkan yang hina. Yakni memuliakan dengan Islam dan merendahkannya dengan kekufuran".

Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok Imam yang telah saya sebutkan di dalam kitab At-Tahdzir (hal. 121). Sementara Imam Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab Shahih-nya (1631, 1632). Sedang Imam Abu 'Arubah meriwayatkannya di dalam kitab Al-Muntaqa minat-Thabaqat (2/10/1).

Tidak diragukan lagi bahwa tersebarnya agama Islam kembali kepada umat Islam sendiri. Oleh karena itu mereka harus memiliki kekuatan moral, material dan persenjataan hingga mampu melawan dan mengalahkan kekuatan orang-orang kafir dan orang-orang durhaka. Inilah yang dijanjikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Qubai. Ia menuturkan : "(Pada suatu ketika) kami bersama Abdullah Ibnu Amer Ibnu Al-Ash. Dia ditanya tentang mana yang akan terkalahkan lebih dahulu, antara dua negeri. Konstantinopel atau Rumawi. Kemudian ia meminta petinya yang sudah agak lusuh. Lalu ia mengeluarkan sebuah kitab." Abu Qubail melanjutkan kisahnya : Lalu Abdullah menceritakan : [1] "Suatu ketika, kami sedang menulis di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiba-tiba beliau ditanya : "Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Rumawi ?. " Beliau menjawab : "Kota Heraclius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu". Maksudnya adalah Konstantinopel".

Hadit ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (II/176), Ad-Darimi (I/126), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Muhson (II/47, 153), Abu Amer Ad-Dani di dalam As-Sunanul Waridah fil-Fitan (hadits-hadits tentang fitnah), Al-Hakim (III/422 dan IV/508) dan Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam Kitabul Ilmi (II/30). Abdul Ghani bahwa hadits ini hasan sanadnya. Sedangkan Imam Hakim menilainya sebagai hadits shahih. Penilaian Al-Hakim itu juga disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi.

Kata Rumiyyah dalam hadits di atas maksudnya adalah Roma, ibu kota Italia sekarang ini, sebagaimana bisa kita lihat di dalam Mu'jamul Buldan (Ensiklopedi Negara).

Sebagaiman kita ketahui, bahwa kemenangan pertama ada di tangan Muhammad Al-Fatih Al-Utsmani. Hal itu terjadi lebih dari delapan ratus tahun setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyabdakan hadits di atas. Kemenangan keduapun akan segera terwujud atas seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firman-Nya.

"Artinya : Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur'an setelah beberapa waktu lagi". [Shaad : 88]

Tidak diragukan lagi bahwa kemenangan kedua mendorong adanya kebutuhan terhadap Khalifah yang tangguh. Hal inilah yang telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui sabdanya.

"Artinya : Kenabian telah terwujud di antara kamu sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian Dia akan menghilangkannya sesuai dengan kehendak-Nya, setelah itu ada Khilafah yang sesuai dengan kenabian tersebut, sesuai dengan kehendak-Nya pula. Kemudian Dia akan menghapusnya juga sesuai dengan kehendak-Nya. lalu ada Raja yang gigih (berpegang teguh dalam memperjuangkan Islam), sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu ada seorang Raja diktator bertangan besi, dan semua berjalan sesuai dengan kehendak-Nya pula. Lalu Dia akan menghapusnya jika menghendaki untuk menghapusnya. Kemudian ada Khilafah yang sesuai dengan tuntunan Nabi. Lalu Dia diam".

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/273). Kami mendapatkan riwayat dari Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi, juga dari Dawud bin Ibrahim Al-Wasithi, Hubaib bin Salim, dan Nu'man bin Basyir yang mengisahkan, "kami sedang duduk di masjid. Basyir adalah seorang yang sering menyembunyikan haditsnya. Lalu datanglah Abu Tsa'labah Al-Khasyafi dan bertanya : Wahai Basyir bin Sa'id, apakah engkau menghafal hadits Rasul tentang Umara ? Tetapi kemudian, Khudzaifahlah yang justru menjawab : "Saya menghafal khutbahnya".

Mendengar itu kemudian Abu Tsa'labah duduk, sementara Khudzaifah selanjutnya meriwayatkan hadits itu secara marfu'.

Hubaib mengomentarai dengan menceritakan : "Tatkala Umar bin Abdul Aziz mulai tampil dan saya mengetahui bahwa Yazid bin Nu'am bin Basyir menjadi pengikutnya, maka saya menulis surat kepadanya, berisikan tentang hadist ini. Saya memperingatkan dengan mengatakan kepadanya : Saya berharap agar beliau (Umar bin Abdul Aziz) benar-benar bisa menjadi Amirul Mu'minin setelah adanya raja yang gigih memperjuangkan agama sebelum dia naik tahta. Lalu surat saya itu disampaikan kepada Umar bin Abdul Aziz. Dia merasa gembira dan mengaguminya.

Melalui sanad Ahmad, hadist itu juga dirwayatkan oleh Al-Hafidzh Al-Iraqi di dalam Mahajjatul-Ghurab ila Mahabbatil-Arab (II/17). Selanjutnya Al-Hafidz mengatakan :

"Status hadits ini shahih. Ibrahim bin Dawud Al-Wasithi dinilai tsiqah (baik akhlaknya dan kuat ingatannya) oleh Abu Dawud, Ath-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Sedangkan perawi-perawi yang lain bisa dibuat hujjah di dalam menetapkan hadits shahih".

Yang dimaksud Al-Hafidzh ini adalah yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim, tetapi mengenai Hubaib oleh Al-Bukhari dinilainya dengan "fihi nadharun" (ungkapan yang menunjukkan masih diragukannya keabsahan seorang perawi). Sedanglan Ibnu Addi mengatakan : Dalam matan hadits yang diriwayatkannya (Hubaib) tidak terdapat hadits munkar (hadits yang ditolak), tetapi ia telah memutarbalik sanadnya (mudhtharib). Akan tetapi Abu Hatim, Abu Dawud dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah. Oleh karena itu, setidak-tidaknya nilai haditsnya adalah hasan. Bahkan Al-Hafidzh menialinya La ba'sa bihi (Lafazh ta'dil tingkat ke empat). Perawi yang dinilai dengan lafazh pada tingkat ini haditsnya bisa dipakai, tetapi harus dilihat kesesuainya dengan perawi-perawi lain yang dhabit (kuat ingatannya), sebab lafazh itu tidak menunjukkan ke-dhabit-an seorang perawi. (penerjemah).

Hadits yang senada (Asy-Syahid) disebutkan di dalam musnad karya Ath-Thayalis (Nomor : 438) : "Saya diberi riwayat oleh Dawud Al-Wasithi -ia adalah orang yang tsiqah-, ia menceritakan : "Saya mendengar hadits itu dari Hubaib bin Salim. Tetapi dalam matan hadits tersebut ada yang tercecer matannya. Tapi kemudian ditutup (dilengkapi) dengan hadits dari Musnad Ahmad.

Al-Haitsami di dalam kitabnya Al-Majma' (V/189) menjelaskan : "Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sedangkan Al-Bazzar juga meriwayatkan, namun lebih sempurna lagi. Imam Ath-Thabrani juga meriwayatkan sebagian dalam kitabnya Al-Ausath dan perawi-perawinya adalah tsiqah".

Dengan demikian menurut saya, kecil sekali kemungkinannya hadits tersebut diriwayatkan oleh Umar bin Abdul Aziz, sebab masa pemerintahannya adalah setelah masa Khulafaur Rasyidin, yang jaraknya setelah dua masa pemerintahan dua orang raja. [2].

Selanjutnya hadits yang berisi tentang berita gembira dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai kembalinya kekuasaan kepada kaum Muslimin dan tersebarnya pemeluk Islam di seluruh penjuru dunia hingga dapat membantu tercapainya tujuan Islam dan menciptakan masa depan yang prospektif dan membanggakan hingga meliputi bidang ekonomi dan pertahanan. Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum tanah Arab menjadi tanah lapang yang banyak menghasilkan komoditas penting dan memiliki pengairan yang memadai".

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim (3/84), Imam Ahmad (2/703, 417), dan Imam Hakim (4/477), dari hadits Abu Hurairah.

Berita-berita gembira itu mulai terealisasi di beberapa kawasan Arab yang telah diberi karunia oleh Allah berupa alat-alat untuk menggali sumber air di dalam gurun pasir. Di sana bisa kita lihat adanya inisiatif untuk mengalirkan air dari sungai Eufrat ke Jazirah Arab. Saya membaca berita ini dari beberapa surat kabar lokal. Hal itu mungkin akan menjadi kenyataan. Dan selang beberapa waktu kelak, akan benar-benar terwujud dan bisa kita buktikan.

Selanjutnya yang perlu diketahui dalam hubungannya dengan masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Tidak akan datang kepadamu suatu masa, kecuali masa sesudahnya akan lebih buruk, sampai kalian bertemu dengan Tuhanmu, (yakni datangnya kiamat)".

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al-Fitan, dari hadits Anas, secara marfu'.

Hadits ini selayaknya dipahami dengan membandingkan hadits-hadits lain yang terdahulu dan hadits lain (yang ada hubungannya). Seperti halnya hadits-hadits tentang Al-Mahdi dan turunnya Nabi Isa 'Alaihis sallam. Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa hadits ini tidak mempunyai arti secara umum, tetapi mempunyai arti khusus (sempit). Oleh karena itu, kita tidak boleh memahaminya secara umum (apa adanya), sehingga menimbulkan keputusasaan yang merupakan sifat yang harus dibuang jauh dari orang mukmin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya, dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". [Yusuf : 87].

Saya senantiasa memohon ke haribaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, semoga Dia berkenan menjadikan kita sebagai orang-orang yang benar-benar mukmin.

[Disalin dari buku Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah wa Syaiun Min Fiqhiha wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 17-24, terbitan CV Pustaka Mantiq, penerjemah Drs.H.M.Qodirun Nur]
_________
Foote Note
[1] Perkataan Abdullah ini juga diriwayatkan oleh Abu Zur'ah di dalam bukunya Tarikhu Damsyiq (Sejarah Damaskus I/96). Di situ juga ditunjukkan bahwa hadits tersebut juga ditulis pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
[2] Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitabnya Al-Ausath yang bersumber dari Mua'adz bin Jabal secara marfu' adalah dha'if. Bunyinya adalah "Tiga puluh kenabian dan satu orang raja, dan tiga puluh raja dan satu Jaburut (raja bertangan besi) sedangkan setelah itu tidak ada kebaikan sama sekali".

Rabu, 21 Mei 2008

penegakkan hujjah

Apakah disyaratkan dalam menegakkan hujjah, (adanya) pemahaman yang jelas dan memadai (dari orang yang ditegakkan hujjah tersebut ?pent.) atau apakah cukup hanya dengan sekedar menyampaikannya saja, kami mohon perincian permasalahan tersebut beserta penyebutan dalilnya?

Jawaban:
Adalah wajib menegakkan hujjah pada orang yang memiliki syubhat dan demikian pula orang musyrik, apabila telah ditegakkan hujjah atasnya maka sungguh telah hilang 'udzurnya dengan makna: disampaikan padanya dalil dan dia mengetahui bahwa perkara ini padanya terdapat dalil dari Al-Kitab (Al-Qur`an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dan tidak disyaratkan (adanya) pemahaman terhadap hujjah tersebut, karena sesungguhnya Allah telah mengkhabarkan bahwasanya orang-orang musyrik itu telah tegak hujjah atas mereka dan bersamaan dengan itu mereka tidak memahaminya dengan pemahaman yang jelas, akan tetapi telah tegak hujjah atas mereka dengan (semata-mata) sampainya hujjah tersebut. Telah turun Al-Qur`an dan mereka telah mendengarnya dan telah datang kepada mereka "An-Nadziir" (yang memberi peringatan) yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan (Rasulullah) telah memberikan peringatan kepada mereka, akan tetapi mereka tetap (terus-menerus) dalam kekafirannya, maka mereka tidak maafkan. Dan karena inilah Allah Ta'ala berfirman :
"Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul." (QS Al-Israa`:15) dan sungguh telah diutus seorang rasul.
Dan Allah Ta'ala (juga) berfirman:
"Dan telah diwahyukan kepadaku Al-Qur`an ini, agar aku dengannya memberikan peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang telah sampai Al-Qur`an (kepadanya)." (QS Al-An'aam:19), maka syarat dalam iqaamatul hujjah (menegakkan hujjah) adalah al-balaagh (semata-mata sampainya hujjah).
Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, tidaklah seseorang yang mendengar tentangku dari ummat ini, baik Yahudinya maupun Nasraninya, kemudian dia tidak beriman padaku, kecuali masuk neraka."
Dan Allah Ta'ala berfirman dalam mensifati orang-orang kafir:
"Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja, mereka tuli, bisu, dan buta maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti." (QS Al Baqarah:171)
[Dalam ayat ini orang kafir disamakan dengan binatang yang tidak mengerti arti panggilan gembalanya.]
Dan bersamaan dengan itu, telah tegak hujjah atas mereka, maka Allah telah mengkhabarkan bahwasanya permisalan mereka (orang-orang kafir) seperti orang yang mendengarkan suara tetapi tidak memahami ma'nanya adalah seperti kambing yang diseru oleh penggembalanya lalu (kambing tersebut) mendengar suara (seruan tersebut); dan bersamaan dengan itu telah tegak hujjah atas mereka.
Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi." (QS At Taubah:115) dan Allah tidak berfirman "hattaa yatabayyana" (sampai jelas) bahkan Allah menyatakan "hattaa yubayyina" (sampai dijelaskan) dan inilah yang dinamakan penegakan hujjah. Maka jika telah dipahamkan Al-Haq dan dia mengetahui dalil ini dan mengetahui hujjah maka telah tegak hujjah atasnya walaupun dia tidak memahaminya. Maka tidak disyaratkan adanya pemahaman (terhadap hujjah). Dan inilah yang ditunjukkan oleh nash-nash, dan hal inilah yang telah ditetapkan oleh ahlul 'ilmi.
(Dinukil dari Kitab: As`ilah wa Ajwibah fil iiman wal Kufr, Karya: Asy-Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah Ar-Rajihiy. Judul Iqaamatul Hujjah.)

Manhaj Salaf

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramdhani Al-Jazairi ditanya : Sesungguhnya kami memuji Allah Ta’ala atas nikmatnya berupa majelis yang diberkahi ini, insya Allah, bersama Syaikh Al Fadhil Abdul Malik Ramdhani. Kami katakan pada permulaan majelis ini, “Wahai Syaikh –semoga Allah memelihara anda- tentunya sudah tersembunyi bagi antum mengenai kondisi dakwah Salafiyah zaman ini yang terus menyaring dan membersihkan barisannya. Kami sangat menginginkan antum memberikan (membekali) kami dengan sebuah nasihat yang berarti, menjelaskan kewajiban seorang Salafi terhadap penyaringan dan pemurniaan dakwah ini, serta penyebab terjatuhnya para da’i dari dakwah Salafiyah ini. Semoga Allah memberkahi antum.

Jawaban.
Segala puji hanya milik Allah, kami memujinya memohon pertolongan dan ampunan-Nya, berlindung kepada-Nya dari kejahatan dari-diri kami dan kejelekan-kejelekan perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tiada seorangpun yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan maka tiada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk kepadanya.

Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk disembah, kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasannya, Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, Amma ba’du.

Sebagaimana telah disebutkan dalam pertanyaan, merupakan suatu yang sangat jelas dalam pandangan kita. Pada zaman ini, banyak para da’i yang menisbatkan dirinya kepada ‘dakwah Salafiyah’ telah berjatuhan dalam barisan ini. Telah terang dan jelas pula aib yang ada pada kebanyakan mereka. Juga menjelaskan kepada kita, bahwa penisbatan mereka kepada dakwah ini yang pernah mereka lakukan mengandung dakhan (kekeruhan).

Tidak diragukan lagi, bahwa kejadian ini sangat membekas dalam diri dan sangat menyedihkan mereka yang ikhlas dalam dakwah ini, yang mencintai merebaknya kebaikan dan benci kepada kebatilan yang terus menerus menampakkan dirinya. Karena seorang yang berpegang teguh dengan sunnah, ia mencintai sunnah dan pengikutnya, serta menolongnya dan membela pengikutnya.

Bukankah cinta yang hakiki adalah cinta karena Allah, dan murka yang hakiki adalah murka karena Allah. Bahkan tali keimanan yang paling kokoh adalah cinta karena Allah, dan benci karenaNya. Sebagaimana telah digambarkan oleh Rasulullah.

Apa yang kita saksikan pada zaman ini, banyaknya para da’i yang menisbatkan diri mereka pada dakwah Salafiyah telah terpengaruh pada manhaj-manhaj asing dan aneh. Lalu meninggalkan manhaj serta dakwah Salaf yang lurus dan penuh berkah ini. Pada hakikatnya pengaruh yang ada pada diri mereka itu merupakan sari dari hawa nafsu yang selalu menyuruh kepada kejelekan.

Ada dua hal pada seseorang, ia menyalahkan atau disalahkan. Jika disalahkan
tentunya kita mengajak orang yang menyalahkannya untuk (memberikan kesempatan agar ia) bertobat, serta memaafkannya agar ia meninggalkan kesalahannya yang telah lalu, dan segera kembali ke jalan Allah. Hendaknya juga ia mengetahui pula, bahwa segala urusan adalah sebagaimana yang difirmankan Allah.

"Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun, pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan". (Al-Anbiya’:47).

Dengan demikian jelaslah, bahwa pada hari kiamat urusannya besar dan tidak remeh. Manusia, pada hari itu akan dihisab karena segala yang pernah dilakukannya. Yang paling besar pada perhitungan tersebut ialah antara dua orang, yang menzhalimi dan dizhalimi, yang menganiaya dan dianiaya. Allah berfirman :

"Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang dzalim itu menggigit dua tangannya, seraya berkata: “aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan (yang lurus) bersama Rasul". (Al-Furqan:27)

Kezhaliman yang paling besar adalah kesyirikan, menyekutukan Allah. Termasuk kezhaliman, yaitu seseorang yang menzhalimi saudaranya. Rasulullah telah mengabarkan, bahwa padea hari kiamat kelak akan diqishash atas seekor kambing yang bertanduk oleh seekor kambing yang tidak bertanduk.

Subhanallah, Maha Suci Allah. Kalau saja pada binatang ternak dituntut qishash (tindakan pembalasan), yaitu seekor kambing yang menanduk kambing lainnya tanpa hak, akan dibalas. Maka bagaimana halnya dengan manusia?

Allah telah menganugerahi manusia akal pikiran. Menurunkan kitab dan menjelaskan kepada mereka syariatNya. Firman Allah:

"Dan kami telah menunjukannya dua jalan" (Al-Balad : 10)

Yakni, memperkenalkan kebaikan dan kejelekan.

Dan Allah berfirman:

"Dan kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk agar mereka kembali (kepada kebenaran)". (Al-A’raf : 168)

Nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadist dalam masalah ini banyak sekali. Kezhaliman adalah sebuah padang rumput yang menumbuhkan kejelakan. Rasulullah bersabda:

"Takutlah kamu kepada kezhaliman, karena kezhaliman adalah kegelapan pada hari kiamat". (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun orang yang berbuat salah, hendaknya ia bertaubat dan meninggalkan kesalahannya.

Yang perlu dicermati pada saat ini, bahwa banyak da’i yang menisbatkan kepada diri mereka dalam kepemimpinan dakwah ini telah berjatuhan. Adapun jatuhnya mereka tidak ditindak-lanjuti dengan sebuah kebangkitan. Penyebabnya, karena gengsi dan keengganan untuk bertaubat dan kembali kepada kebenaran.

Saya sebutkan kepada kalian sesuatu yang saya anggap sangat penting. Bahwasanya generasi Salaf pengemban dakwah yang diberkahi ini telah banyak
yang pergi di panggil Allah, dan kita selalu berprasangka baik baik kepada mereka. Bahwa mereka berada di atas kemurnian dan kejernihan.

Insya Allah sangat gamblang dan setiap orang bias mengetahui, bahwa keberkahan dakwan mereka tampak jelas. Mereka telah pergi meninggalkan dunia, sedangkan dakwah Salafiyah dalam keadaan menang, tampak dengan jelas dan ditolong oleh Allah. Walhamdulillah, kemudian barulah nampak kemunafikan orang yang jauh dan asing dari dakwah ini. Dia berbasa-basi kepada pengikut dakwah ini dan berpura-pura, bahwa ia seolah-olah merupakan bagian dari dakwah ini. Itulah yang kalian dengar dengan istilah Quthubiyyah Salafiyah (Salafiyah versi pemikiran Sayyid Quthb), Sururiyah Salafiyah (Salafiyah versi Muhammad Surur Naif Zainal abidin) dan Bannaiyah Salafiyah (Salafiyah versi Hasan Al Banna). Sungguh hal yang aneh tapi nyata. Ketika Allah menampakkan dakwah Salafiyah, mereka tidak memiliki keleluasaan kecuali dengan berbasa-basi dan menggabungkan diri kepadanya. Padahal dakwah Salafiyah berkata kepada mereka, “biarkanlah aku!”….. “tinggalkanlah aku!”.

Inilah realita yang kita saksikan pada zaman sekarang. Terungkap realita ini, tentunya karena karunia Allah, kemudian karena kesungguhan mereka –para ulama dakwah- yang diberkahi ini.


[Sumber : Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun VI/1423H/2002M, hal 47 Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Ma'had Al-Irsyad Surabaya]

Jumat, 09 Mei 2008

khusnul khatimah

Meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan husnul khatimah merupakan dambaan setiap insan yang beriman, karena hal itu sebagai bisyarah, kabar gembira dengan kebaikan untuknya. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyebutkan beberapa tanda husnul khatimah dalam kitabnya yang sangat bernilai Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha. Berikut ini kami nukilkan secara ringkas untuk pembaca yang mulia, disertai harapan dan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kita termasuk orang-orang yang mendapatkan husnul khatimah dengan keutamaan dan kemurahan dari-Nya. Amin!
Pertama: mengucapkan syahadat ketika hendak meninggal, dengan dalil hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang akhir ucapannya adalah kalimat ‘La ilaaha illallah’ ia akan masuk surga.” (HR. Al-Hakim dan selainnya dengan sanad yang hasan1)
Kedua: meninggal dengan keringat di dahi.
Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu ketika berada di Khurasan menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Didapatkannya saudaranya ini menjelang ajalnya dalam keadaan berkeringat di dahinya. Ia pun berkata, “Allahu Akbar! Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِيْنِ
“Meninggalnya seorang mukmin dengan keringat di dahi.” (HR. Ahmad, An-Nasa`i, dll. Sanad An-Nasa`i shahih di atas syarat Al-Bukhari)
Ketiga: meninggal pada malam atau siang hari Jum’at, dengan dalil hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, beliau menyebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi. Hadits ini memiliki syahid dari hadits Anas, Jabir bin Abdillah g dan selain keduanya, maka hadits ini dengan seluruh jalannya hasan atau shahih)
Keempat: syahid di medan perang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ. فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلاَّ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ. يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللهَ لاَ يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171)
Dalam hal ini ada beberapa hadits:
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ
“Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih)
2. Salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً
“Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)
Kelima: meninggal di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَعُدُّوْنَ الشَّهِيْدَ فِيْكُمْ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ. قَالَ: إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيْلٌ. قَالُوْا: فَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فيِ الطَّاعُوْنَ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terhitung syahid menurut anggapan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Beliau menanggapi, “Kalau begitu, syuhada dari kalangan umatku hanya sedikit.” “Bila demikian, siapakah mereka yang dikatakan mati syahid, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit tha’un2 maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit perut maka ia syahid, dan siapa yang tenggelam ia syahid.” (HR. Muslim)
Keenam: meninggal karena penyakit tha’un. Selain disebutkan dalam hadits di atas juga ada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
“Tha’un adalah syahadah bagi setiap muslim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tha’un, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadanya:
إِنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلىَ مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُوْنُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ
“Tha’un itu adalah adzab yang Allah kirimkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Maka Allah jadikan tha’un itu sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Siapa di antara hamba (muslim) yang terjadi wabah tha’un di tempatnya berada lalu ia tetap tinggal di negerinya tersebut dalam keadaan bersabar, dalam keadaan ia mengetahui tidak ada sesuatu yang menimpanya melainkan karena Allah telah menetapkan baginya, maka orang seperti ini tidak ada yang patut diterimanya kecuali mendapatkan semisal pahala syahid.” (HR. Al-Bukhari)
Ketujuh: meninggal karena penyakit perut, karena tenggelam, dan tertimpa reruntuhan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Syuhada itu ada lima, yaitu orang yang meninggal karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Kedelapan: meninggalnya seorang ibu dengan anak yang masih dalam kandungannya, berdasarkan hadits Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu ‘anhu. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa syuhada dari umatnya di antaranya:
الْمَرْأَةُ يَقْتُلُهَا وَلَدُهَا جَمْعَاءَ شَهَادَةٌ، يَجُرُّهَا وَلَدُهَا بِسَرَرِهِ إِلَى الْجَنَّةِ
“Wanita yang meninggal karena anaknya yang masih dalam kandungannya adalah mati syahid, anaknya akan menariknya dengan tali pusarnya ke surga.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, dan Ath-Thayalisi dan sanadnya shahih)
Kesembilan: meninggal dalam keadaan berjaga-jaga (ribath) fi sabilillah.
Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu menyebutkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ، وَأًُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتّاَنَ
“Berjaga-jaga (di jalan Allah) sehari dan semalam lebih baik daripada puasa sebulan dan shalat sebulan. Bila ia meninggal, amalnya yang biasa ia lakukan ketika masih hidup terus dianggap berlangsung dan diberikan rizkinya serta aman dari fitnah (pertanyaan kubur).” (HR. Muslim)

Kesepuluh: meninggal dalam keadaan beramal shalih.
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ الله ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang mengucapkan La ilaaha illallah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang berpuasa sehari karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang bersedekah dengan satu sedekah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad, sanadnya shahih)
Kesebelas: meninggal karena mempertahankan hartanya yang ingin dirampas orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia syahid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu bila datang seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Ia bertanya lagi, “Apa pendapatmu jika orang itu menyerangku?” “Engkau melawannya,” jawab beliau. “Apa pendapatmu bila ia berhasil membunuhku?” tanya orang itu lagi. Beliau menjawab, “Kalau begitu engkau syahid.” “Apa pendapatmu jika aku yang membunuhnya?” tanya orang tersebut. “Ia di neraka,” jawab beliau. (HR. Muslim)
Keduabelas: meninggal karena membela agama dan mempertahankan jiwa/membela diri.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang meninggal karena mempertahankan hartanya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela keluarganya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela agamanya maka ia syahid, dan siapa yang meninggal karena mempertahankan darahnya maka ia syahid.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, dan At Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu dan sanadnya shahih)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Penghukuman hadits ini dari Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam kitab yang sama.
2 Satu pendapat menyebutkan bahwa tha’un adalah luka-luka semacam bisul bernanah yang biasa muncul di siku, ketiak, tangan, jari-jari dan seluruh tubuh, disertai dengan bengkak serta sakit yang sangat. Luka-luka itu keluar disertai rasa panas dan menghitam daerah sekitarnya, atau menghijau ataupun memerah dengan merah lembayung (ungu) yang suram. Penyakit ini membuat jantung berdebar-debar dan memicu muntah. (Lihat Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 14/425)
Penjelasan lain tentang tha’un bisa dilihat dalam Fathul Bari, 10/222,223) -pent.

ingat mati

Hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Akan datang masanya kita berpisah dengan dunia berikut isinya. Perpisahan itu terjadi saat kematian menjemput, tanpa ada seorang pun yang dapat menghindar darinya. Karena Ar-Rahman telah berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati, dan Kami menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan sebagai satu fitnah (ujian), dan hanya kepada Kami lah kalian akan dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

“Di mana saja kalian berada, kematian pasti akan mendapati kalian, walaupun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa`: 78)

Kematian akan menyapa siapa pun, baik ia seorang yang shalih atau durhaka, seorang yang turun ke medan perang ataupun duduk diam di rumahnya, seorang yang menginginkan negeri akhirat yang kekal ataupun ingin dunia yang fana, seorang yang bersemangat meraih kebaikan ataupun yang lalai dan malas-malasan. Semuanya akan menemui kematian bila telah sampai ajalnya, karena memang:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ

“Seluruh yang ada di atas bumi ini fana (tidak kekal).” (Ar-Rahman: 26)

Mengingat mati akan melembutkan hati dan menghancurkan ketamakan terhadap dunia. Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hasungan untuk banyak mengingatnya. Beliau bersabda dalam hadits yang disampaikan lewat shahabatnya yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذمِ اللَّذَّاتِ

“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no. 1824, Ibnu Majah no. 4258. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Hasan shahih.”)

Dalam hadits di atas ada beberapa faedah:

- Disunnahkannya setiap muslim yang sehat ataupun yang sedang sakit untuk mengingat mati dengan hati dan lisannya, serta memperbanyak mengingatnya hingga seakan-akan kematian di depan matanya. Karena dengannya akan menghalangi dan menghentikan seseorang dari berbuat maksiat serta dapat mendorong untuk beramal ketaatan.

- Mengingat mati di kala dalam kesempitan akan melapangkan hati seorang hamba. Sebaliknya, ketika dalam kesenangan hidup, ia tidak akan lupa diri dan mabuk kepayang. Dengan begitu ia selalu dalam keadaan bersiap untuk “pergi.” (Bahjatun Nazhirin, 1/634)

Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah ucapan yang singkat dan ringkas, “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (kematian).” Namun padanya terkumpul peringatan dan sangat mengena sebagai nasihat, karena orang yang benar-benar mengingat mati akan merasa tiada berartinya kelezatan dunia yang sedang dihadapinya, sehingga menghalanginya untuk berangan-angan meraih dunia di masa mendatang. Sebaliknya, ia akan bersikap zuhud terhadap dunia. Namun bagi jiwa-jiwa yang keruh dan hati-hati yang lalai, perlu mendapatkan nasihat panjang lebar dan kata-kata yang panjang, walaupun sebenarnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ

“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).”

disertai firman Allah k:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati,” sudah mencukupi bagi orang yang mendengar dan melihat.

Alangkah bagusnya ucapan orang yang berkata:

اذْكُرِ الْمَوْتَ تَجِدُ رَاحَةً، فِي إِذْكَارِ الْمَوْتِ تَقْصِيْرُ اْلأَمَلِ

“Ingatlah mati niscaya kau kan peroleh kelegaan, dengan mengingat mati akan pendeklah angan-angan.”

Adalah Yazid Ar-Raqasyi rahimahullahu berkata kepada dirinya sendiri, “Celaka engkau wahai Yazid! Siapa gerangan yang akan menunaikan shalat untukmu setelah kematianmu? Siapakah yang mempuasakanmu setelah mati? Siapakah yang akan memintakan keridhaan Rabbmu untukmu setelah engkau mati?”

Kemudian ia berkata, “Wahai sekalian manusia, tidakkah kalian menangis dan meratapi diri-diri kalian dalam hidup kalian yang masih tersisa? Duhai orang yang kematian mencarinya, yang kuburan akan menjadi rumahnya, yang tanah akan menjadi permadaninya dan yang ulat-ulat akan menjadi temannya… dalam keadaan ia menanti dibangkitkan pada hari kengerian yang besar. Bagaimanakah keadaan orang ini?” Kemudian Yazid menangis hingga jatuh pingsan. (At-Tadzkirah, hal. 8-9)

Sungguh, hanya orang-orang cerdas cendikialah yang banyak mengingat mati dan menyiapkan bekal untuk mati. Shahabat yang mulia, putra dari shahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’

‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:

أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ

“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa yang banyak mengingat mati, ia akan dimuliakan dengan tiga perkara: bersegera untuk bertaubat, hati merasa cukup, dan giat/semangat dalam beribadah. Sebaliknya, siapa yang melupakan mati ia akan dihukum dengan tiga perkara: menunda taubat, tidak ridha dengan perasaan cukup dan malas dalam beribadah. Maka berpikirlah, wahai orang yang tertipu, yang merasa tidak akan dijemput kematian, tidak akan merasa sekaratnya, kepayahan, dan kepahitannya. Cukuplah kematian sebagai pengetuk hati, membuat mata menangis, memupus kelezatan dan menuntaskan angan-angan. Apakah engkau, wahai anak Adam, mau memikirkan dan membayangkan datangnya hari kematianmu dan perpindahanmu dari tempat hidupmu yang sekarang?” (At-Tadzkirah, hal. 9)

Bayangkanlah saat-saat sakaratul maut mendatangimu. Ayah yang penuh cinta berdiri di sisimu. Ibu yang penuh kasih juga hadir. Demikian pula anak-anakmu yang besar maupun yang kecil. Semua ada di sekitarmu. Mereka memandangimu dengan pandangan kasih sayang dan penuh kasihan. Air mata mereka tak henti mengalir membasahi wajah-wajah mereka. Hati mereka pun berselimut duka. Mereka semua berharap dan berangan-angan, andai engkau bisa tetap tinggal bersama mereka. Namun alangkah jauh dan mustahil ada seorang makhluk yang dapat menambah umurmu atau mengembalikan ruhmu. Sesungguhnya Dzat yang memberi kehidupan kepadamu, Dia jugalah yang mencabut kehidupan tersebut. Milik-Nya lah apa yang Dia ambil dan apa yang Dia berikan. Dan segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang telah ditentukan.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata, “Tidaklah hati seorang hamba sering mengingat mati melainkan dunia terasa kecil dan tiada berarti baginya. Dan semua yang ada di atas dunia ini hina baginya.”

Adalah ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bila mengingat mati ia gemetar seperti gemetarnya seekor burung. Ia mengumpulkan para ulama, maka mereka saling mengingatkan akan kematian, hari kiamat dan akhirat. Kemudian mereka menangis hingga seakan-akan di hadapan mereka ada jenazah. (At-Tadzkirah, hal. 9)

Tentunya tangis mereka diikuti oleh amal shalih setelahnya, berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersegera kepada kebaikan. Beda halnya dengan keadaan kebanyakan manusia pada hari ini. Mereka yakin adanya surga tapi tidak mau beramal untuk meraihnya. Mereka juga yakin adanya neraka tapi mereka tidak takut. Mereka tahu bahwa mereka akan mati, tapi mereka tidak mempersiapkan bekal. Ibarat ungkapan penyair:

Aku tahu aku kan mati namun aku tak takut

Hatiku keras bak sebongkah batu

Aku mencari dunia seakan-akan hidupku kekal

Seakan lupa kematian mengintai di belakang

Padahal, ketika kematian telah datang, tak ada seorangpun yang dapat mengelak dan menundanya.

فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ

“Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka dapat mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)

وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila telah datang ajal/waktunya.” (Al-Munafiqun: 11)

Wahai betapa meruginya seseorang yang berjalan menuju alam keabadian tanpa membawa bekal. Janganlah engkau, wahai jiwa, termasuk yang tak beruntung tersebut. Perhatikanlah peringatan Rabbmu:

وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدْ


“Dan hendaklah setiap jiwa memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan lihatlah amal shalih apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sebagai bekal di hari kebangkitan dan hari diperhadapkannya kalian kepada Rabb kalian.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1388)

Janganlah engkau menjadi orang yang menyesal kala kematian telah datang karena tiada berbekal, lalu engkau berharap penangguhan.

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلاَ أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kalian, lalu ia berkata, ‘Wahai Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat hingga aku mendapat kesempatan untuk bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih?’.” (Al-Munafiqun: 10)

Karenanya, berbekallah! Persiapkan amal shalih dan jauhi kedurhakaan kepada-Nya! Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.